Tuntutan Buruh, dari Kenaikan Upah hingga Hapus Outsourcing

IVOOX.id – Buruh di berbagai wilayah di Indonesia menggelar aksi serentak pada Kamis, 28 Agustus 2025. Aksi tersebut diprakarsai Partai Buruh, Koalisi Serikat Pekerja, termasuk di dalamnya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan aksi dipusatkan di depan gedung DPR RI. Aksi serupa juga akan digelar secara serentak di sejumlah provinsi dan kota industri besar. Ia menegaskan, aksi ini adalah momentum untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan agar pemerintah berpihak pada kepentingan pekerja.
Ia menyebutnya gerakan Hostum (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah) dan akan dilakukan secara damai. Ada sejumlah tuntutan buruh dalam aksi tersebut.
Pertama, tolak upah murah. Buruh menuntut kenaikan upah minimum nasional sebesar 8,5–10,5 persen pada tahun 2026. Perhitungan ini berdasarkan formula resmi yang ditetapkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 168, yakni inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.
Data menunjukkan, inflasi dari Oktober 2024 hingga September 2025 diproyeksikan mencapai 3,26 persen, sementara pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 5,1-5,2 persen. Dengan demikian, kenaikan upah minimum yang layak berada pada angka 8,5-10,5 persen.
Selain itu, pemerintah sendiri mengklaim angka pengangguran menurun dan tingkat kemiskinan berkurang. Jika demikian, seharusnya ada keberanian untuk menaikkan upah agar daya beli buruh dan masyarakat meningkat, sehingga turut mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Kedua, hapus outsourcing. Putusan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa praktik outsourcing dalam UU Cipta Kerja harus dibatasi hanya pada jenis pekerjaan tertentu. Namun kenyataannya, praktik outsourcing masih meluas, termasuk di BUMN.
“Pekerjaan inti tidak boleh di-outsourcing. Outsourcing hanya untuk pekerjaan penunjang, misalnya keamanan. Karena itu, buruh menuntut agar pemerintah mencabut PP No. 35 Tahun 2021 yang melegalkan outsourcing secara luas,” tegas Said Iqbal, Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh.
Ketiga, reformasi pajak. Persoalan pajak saat ini ramai dibicarakan. Di berbagai daerah, rakyat menjerit karena beban pajak makin meningkat. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Pati, misalnya, memicu perlawanan warga karena kenaikannya pajak. Di Cirebon bahkan melonjak sampai 1000 persen.
Menurut Said Iqbal, bahkan di tengah masyarakat ada guyonan bahwa Menteri Keuangan sampai tega mengenakan pajak untuk kondangan.
“Di tengah kondisi daya beli yang terus melemah, kebijakan menaikkan pajak justru melukai masyarakat. Konsumsi rumah tangga menurun, ekonomi melambat, sementara rakyat dipaksa menanggung beban tambahan. Ironisnya, orang kaya justru diampuni lewat tax amnesty,” ujar Said Iqbal.
“Di sinilah Partai Buruh bersama koalisi serikat pekerja, termasuk KSPI, menyerukan perlunya reformasi pajak perburuhan,” katanya.
Dalam hal ini, buruh menuntut menaikkan PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak). Saat ini PTKP ditetapkan sebesar Rp 4,5 juta per bulan. Buruh menuntut agar dinaikkan menjadi Rp 7,5 juta per bulan. Dengan begitu, ada selisih sekitar Rp 3 juta yang bisa digunakan pekerja untuk kebutuhan sehari-hari. Uang itu tidak habis dipotong pajak, melainkan berputar dalam konsumsi rakyat. Konsumsi naik, daya beli meningkat, ekonomi pun bergerak.
Selain itu, Said Iqbal juga meminta hapus pajak atas THR dan pesangon. THR yang diterima buruh setiap tahun sebagian besar habis untuk ongkos mudik, biaya sekolah anak, atau kebutuhan pokok lainnya. Sayangnya, pemerintah masih memajakinya. Begitu juga dengan pesangon, padahal uang pesangon adalah hak buruh yang di-PHK untuk bertahan hidup. Memajaki pesangon sama saja memperberat penderitaan mereka yang kehilangan pekerjaan.
“Jika pajak THR dan pesangon dihapus, uang itu tidak hilang dari perputaran ekonomi. Justru akan kembali ke pasar dalam bentuk konsumsi barang dan jasa, yang pada akhirnya menghasilkan PPN untuk negara. Artinya, negara tidak benar-benar kehilangan penerimaan, hanya cara pungutnya yang lebih adil,” ujarnya.
Reformasi pajak perburuhan bukan sekadar kepentingan buruh pabrik atau karyawan kantor. Ini menyangkut pekerja media, jurnalis, driver ojol, hingga pekerja informal lain yang selama ini terbebani. Ketika daya beli rakyat terjaga, produksi meningkat, PHK bisa ditekan, bahkan ada peluang penyerapan tenaga kerja baru.
Menurut Said Iqbal, dengan reformasi pajak perburuhan, keadilan fiskal bisa lebih terasa. Pajak tidak lagi sekadar alat negara menarik uang dari rakyat kecil, melainkan menjadi instrumen untuk menjaga daya beli, melindungi buruh, dan menggerakkan roda ekonomi nasional.
Keempat, mendesak RUU Ketenagakerjaan Baru. Setahun sudah berlalu sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 168/PUU-XXI/2024 yang dimenangkan oleh Partai Buruh, KSPSI Andi Gani, KSPI, dan FSPMI. Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa paling lama dalam dua tahun harus lahir undang-undang ketenagakerjaan baru yang keluar dari jeratan Omnibus Law. Namun hingga kini, meski Panja di DPR sudah terbentuk, pembahasan belum juga dimulai secara serius.
“Karena itu, dalam aksi 28 Agustus, Partai Buruh dan koalisi serikat pekerja mendesak agar DPR dan pemerintah segera mengesahkan RUU Ketenagakerjaan baru. Buruh tidak mau lagi janji hanya sebatas wacana, sementara praktik eksploitatif terus berlangsung,” ujar Said Iqbal.
Said Iqbal berharap, UU Ketenagakerjaan yang baru, setidaknya mengakomodir upah layak yang benar-benar melindungi pekerja, penghapusan sistem outsourcing yang semakin merajalela, pembatasan karyawan kontrak agar tidak selamanya dalam ketidakpastian, mekanisme dan prosedur PHK yang adil, pesangon yang layak, bukan sekadar 0,5 kali seperti dalam PP 35/2021, pembatasan tenaga kerja asing, khususnya melarang unskilled workers dari luar negeri bekerja di Indonesia, hingga hak cuti melahirkan, cuti hamil, dan cuti panjang. Buruh yang sudah bekerja 6 tahun berhak atas istirahat 2 bulan, dan berlaku kelipatan.
Isu lainnya yakni perlindungan pekerja digital platform seperti Gojek, Grab, Blibli, dan Tokopedia. Selama ini mereka disebut “mitra”, padahal bekerja penuh tanpa perlindungan layaknya pekerja. Konferensi ILO pada Juni 2025 bahkan sudah menegaskan pentingnya regulasi untuk melindungi pekerja platform.
Selanjutnya, perlindungan pekerja medis. Para perawat, bidan, dan dokter di banyak rumah sakit besar menerima upah minim dengan jam kerja tinggi, sementara beban kerja mereka sangat vital bagi keselamatan orang lain. Begitu juga pekerja transportasi yang dipaksa mengejar target dengan sistem ritase, hingga mengancam keselamatan mereka sendiri dan pengguna jalan.
Buruh juga menuntut perlindungan bagi pekerja kampus dan sekolah swasta, dosen, guru, jurnalis, hingga pekerja media yang kerap mengalami PHK sepihak dengan pesangon dicicil. Bahkan BUMN pun masih seenaknya menggunakan outsourcing. Semua ini menegaskan bahwa RUU Ketenagakerjaan baru harus hadir untuk melindungi seluruh pekerja Indonesia tanpa terkecuali.
“Kami meyakini, dua tahun adalah waktu yang cukup untuk melahirkan undang-undang baru. Kini tinggal satu tahun tersisa sebelum tenggat MK berakhir. Jika tidak, maka pemerintah dan DPR akan mencederai keadilan hukum sekaligus mengkhianati jutaan buruh,” ujar Said Iqbal.

0 comments