Sastra BRICS dalam Pertarungan Hegemoni Kultural | IVoox Indonesia

November 9, 2025

Sastra BRICS dalam Pertarungan Hegemoni Kultural

ChatGPT Image Nov 5, 2025, 08_00_03 PM
ILUSTRASI - Di tangan penulis Selatan, bahasa menjadi alat perlawanan. Cerita menjadi bentuk diplomasi. Imajinasi menjadi alat negosiasi global. IVOOX.ID/AI

IVOOX.id – Sastra kini telah menjadi "senjata lunak" dalam arena persaingan kubu negara-negara. Di ruang simbolik ini, perang tidak lagi memakai peluru, melainkan paragraf.

Lewat buku, puisi, dan naskah, identitas sebagai negara Global Selatan pun berusaha ditegaskan. Di situlah politik dan estetika saling berpelukan.

Maka, hadirnya penghargaan sastra BRICS bukan pula sekadar acara seremonial. Ia adalah deklarasi kultural. Ia menyiratkan bahwa kisah tentang dunia tidak boleh hanya ditulis oleh Barat.

Selama berabad-abad, narasi global dikendalikan dari London, Paris, dan New York. Dunia Selatan hanya menjadi latar, bukan tokoh utama. Kini, lewat ajang penghargaan sastra BRICS, negara-negara Global South mencoba membalik posisi. Penulis dari Brasil, India, Tiongkok, Rusia, Afrika Selatan, maupun Indonesia diberi panggung untuk menulis dunia dari arah Selatan.

Di sinilah relevansi pemikiran Antonio Gramsci menemukan nafas baru. Dalam teori hegemoni kultural, Gramsci menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja lewat kekerasan atau ekonomi, tapi lewat kendali atas kesadaran dan nilai.

Barat selama ini mempertahankan dominasinya bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan makna. Sastra, film, dan media menjadi alat membentuk citra bahwa modernitas, rasionalitas, dan kemajuan adalah milik mereka.

Melawan hegemoni itu berarti merebut narasi, bukan sekadar merebut pasar. Negara-negara BRICS mencoba melakukan hal itu. Lewat diplomasi sastra, mereka memperjuangkan kebebasan simbolik. Mereka ingin menunjukkan bahwa kebijaksanaan, modernitas, dan nilai kemanusiaan juga lahir di Selatan.

Di tangan penulis Selatan, bahasa menjadi alat perlawanan. Cerita menjadi bentuk diplomasi. Imajinasi menjadi alat negosiasi global.

Kebangkitan sastra Global South ini tentu saja bukan kebetulan. Ia bagian dari gelombang besar, yakni dekolonisasi makna. Setelah sumber daya alam, kini nilai dan imajinasi ikut direbut kembali.

Negara-negara BRICS sadar, kekuatan sejati tidak hanya diukur dari cadangan devisa atau jumlah rudal. Ia juga diukur dari kemampuan menciptakan narasi yang dipercaya dunia. Narasi yang membuat orang percaya bahwa Selatan juga mampu memimpin arah sejarah.

Selama ini, jagad sastra memang selalu menjadi medan tarik-menarik kekuasaan. Dari kolonialisme hingga pascakolonialisme, sastra menjadi ruang legitimasi dan perlawanan.

Ketika Barat menulis tentang Selatan dengan cara menyepelekan, penulis Selatan membalas dengan cara menertawakan. Dalam setiap cerita, ada ideologi yang tersembunyi. Dalam setiap kalimat, ada perlawanan yang halus. Itulah kekuatan sastra sebagai alat politik yang senyap.

Sejauh ini, penghargaan sastra global dikuasai oleh lembaga Barat. Nobel, Booker, Pulitzer. Semua menetapkan standar universal yang berpihak pada estetika Eropa.

Bahasa dan nilai-nilai Selatan dianggap eksotis, bukan penting. Tema kemiskinan dan spiritualitas dipuji, tapi struktur berpikir Barat tetap dipertahankan. Nah, negara-negara BRICS ingin membalik tafsir itu, bahwa estetika tidak tunggal. Keindahan tidak harus lahir dari Eropa.

Penghargaan sastra BRICS memberi ruang bagi bahasa lokal. Penulis dari Kerala, Bahia, Vladivostok, Cape Town hingga Jakarta bisa tampil dengan gaya masing-masing. Dalam konteks ini, sastra menjadi bagian dari diplomasi budaya. Ia memperluas jangkauan pengaruh tanpa harus menaklukkan secara fisik. Ia membangun pengakuan, bukan dominasi.

Diplomasi sastra adalah bagian dari strategi besar Global South. Ia bekerja perlahan, lewat pertukaran imajinasi dan makna. Ketika penulis Selatan dibaca di Selatan, solidaritas tumbuh. Ketika mereka dibaca di Utara, stereotip mulai runtuh. Diplomasi ini tak membutuhkan perjanjian formal, cukup lewat rasa saling memahami. Dan itu kekuatan yang jauh lebih tahan lama.

Perlu cerita

Di banyak forum BRICS, sastra dibicarakan setara dengan ekonomi digital dan energi hijau. Karena mereka sadar, imajinasi menentukan arah pembangunan.

Narasi tentang kemajuan tak bisa hanya datang dari data. Ia perlu cerita yang menggugah. Penulis bisa melakukan hal yang tak bisa dicapai diplomat: menyentuh emosi. Dari emosi, lahir empati. Dari empati, lahir koneksi antarbangsa.

Konsep soft power yang pernah diperkenalkan Joseph Nye kini dimaknai ulang oleh BRICS. Kalau Barat menanam pengaruh lewat budaya populer, Selatan menawarnya lewat narasi solidaritas.

Dan sastra menjadi wajah ramah dari kekuatan baru dunia. Ia menolak logika dominasi dan menawarkan logika keseimbangan. Dunia tidak lagi harus punya pusat, karena setiap budaya punya nilai universalnya sendiri.

Gramsci menulis bahwa setiap perlawanan membutuhkan blok historis, aliansi sosial yang menopang perubahan nilai. Dalam konteks ini, BRICS adalah blok historis global.

Ia menyatukan kekuatan ekonomi, politik, dan budaya untuk satu tujuan, yaitu menciptakan dunia yang lebih adil secara simbolik. Sastra berperan sebagai “lem” yang merekatkan ide-ide itu. Ia menjadi ruh dari proyek politik besar.

Lewat forum atau acara sastra BRICS, negara-negara anggota mulai membangun jembatan kultural. Pertemuan penulis lintas benua ini diharapkan melahirkan jejaring ide.

Dari pertemuan itu diharapkan pula muncul kesadaran baru bahwa pengalaman kolonial, ketimpangan, dan perjuangan melawan dominasi adalah benang merah bersama. Itulah fondasi solidaritas Global South yang sejati, bukan sekadar jargon diplomatik.

Negara-negara BRICS pasti memahami, perang masa depan tidak hanya terjadi di medan ekonomi dan militer. Perang juga terjadi di ruang imajinasi. Siapa yang menguasai imajinasi, akan menguasai masa depan.

Itulah mengapa sastra perlu diperlakukan serius. Ia bukan sekadar hiburan, melainkan alat untuk menanamkan keyakinan baru bahwa Selatan juga mampu memimpin narasi global.

Dalam konteks inilah penghargaan sastra BRICS menjadi langkah strategis. Pasalnya, ia menumbuhkan kepercayaan diri kultural.

Ketika penulis Selatan memenangi panggungnya sendiri, kompleks inferioritas mulai luntur. Imajinasi kolonial mulai retak. Dan dari retakan itu, lahir kesadaran baru bahwa menjadi Selatan bukan berarti menjadi pinggiran.

Lebih seimbang

Dalam politik simbolik, pengakuan sama pentingnya dengan kekuasaan. BRICS paham hal itu. Karena itu, penghargaan sastra menjadi alat pengakuan yang damai.

Ketika Barat berhenti menjadi satu-satunya penilai, dunia menjadi lebih seimbang. Hegemoni makna mulai goyah. Nilai-nilai kemanusiaan tidak lagi dimonopoli.

Sastra BRICS memperluas horizon epistemologis. Ia mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan pun pernah bias budaya. Dan bahwa objektivitas sering kali hanyalah nama lain dari posisi dominan.

Sastra BRICS menegaskan bahwa modernitas bukan monopoli satu peradaban. Teknologi bisa netral, tapi narasi tentangnya tidak.

Perang nilai tidak bisa dimenangi dengan propaganda. Ia hanya bisa dimenangi dengan kredibilitas moral dan kekayaan gagasan. Karena itu, sastra diandalkan sebagai medan pendidikan publik.

Penulis menjadi diplomat yang bekerja lewat empati. Mereka menanamkan rasa hormat tanpa menggurui. Mereka menyebarkan nilai tanpa dogma.

Menggeliatnya sastra BRICS adalah pengingat bahwa globalisasi bisa bersuara banyak. Dunia tak perlu satu pusat untuk menjadi teratur.

Justru dalam keberagaman suara, keseimbangan lahir. Sastra menjadi bahasa diplomasi yang paling tua sekaligus paling modern dalam menghubungkan manusia lewat imajinasi.

Gramsci mungkin tersenyum jika melihat yang sedang terjadi hari ini. Ide hegemoninya menemukan bab baru di tangan para penulis Selatan. Mereka tidak menumbangkan kekuasaan dengan senjata, tapi dengan makna. Mereka tidak menghapus sejarah, tapi menulis ulang bab yang diabaikan.

Itulah bentuk revolusi yang paling halus dan sekaligus paling tahan lama.


Penulis: Djoko Subinarto

Kolumnis, alumnus Departemen Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran

Sumber: Antara

0 comments

    Leave a Reply