Pengamat Transportasi Ingatkan Sepeda Motor Harus Diatur, Bukan Dibiarkan

IVOOX.id – Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai bahwa ketergantungan masyarakat terhadap sepeda motor telah menjadi gejala sistemik yang justru menandakan kegagalan kebijakan mobilitas perkotaan. Dalam kajiannya, MTI menyebut sepeda motor hanyalah moda antara, bukan tujuan akhir dalam sistem transportasi modern.
“Sepeda motor memang efisien dan fleksibel, tapi bukan simbol kemajuan. Negara maju justru yang warganya paling sedikit perlu motor untuk hidup produktif,” tulis Djoko Setijowarno , Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat kepada ivoox.id Rabu (5/11/2025).
Indonesia kini memiliki lebih dari 120 juta sepeda motor, dan jumlah itu terus bertambah setiap tahun. Fenomena ini membuat motor bukan lagi solusi sementara, melainkan ketergantungan massal. Kondisi tersebut berdampak serius terhadap keselamatan, kualitas udara, dan kemacetan di kota-kota besar.
MTI mencatat lebih dari 75 persen korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia merupakan pengendara motor, sebagian besar berasal dari kelompok usia produktif. “Efisiensi yang kita puja sering kali dibayar dengan keselamatan. Sepeda motor tidak punya perlindungan struktural, dan pengemudinya hidup di bawah tekanan sistem kerja berbasis algoritma,” tulis Djoko merujuk pada situasi mitra ojek daring.
Dalam konteks ekonomi, MTI juga menyoroti “kemiskinan mobilitas” yang dialami masyarakat berpenghasilan rendah. Kajian lembaga itu di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa rumah tangga miskin menghabiskan hingga setengah pendapatan bulanan hanya untuk transportasi, terutama cicilan dan biaya operasional sepeda motor.
Motor, kata MTI, menjadi bukti bahwa transportasi publik belum menyediakan pilihan yang layak. “Ketika warga miskin harus membeli kendaraan pribadi agar bisa bekerja, transportasi telah berubah dari hak menjadi beban,” ujarnya.
Pemerintah kini tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Layanan Berbasis Platform, yang juga akan mengatur penggunaan sepeda motor untuk ojek daring. Dalam rancangan itu, beberapa hal yang dibahas antara lain tarif dasar dan tarif per kilometer, batas potongan aplikator maksimal 20 persen, serta kewajiban pendaftaran mitra ke BPJS.
MTI menilai arah kebijakan tersebut positif, namun harus diperkuat secara hukum dan ekonomi agar tidak menimbulkan beban baru bagi pengemudi. “Iuran jaminan sosial tidak boleh menjadi tambahan beban di luar potongan 20 persen. Pemerintah perlu menerapkan skema berbagi biaya secara bertahap seperti model CPF di Singapura,” kata MTI.
Lembaga itu juga mengingatkan agar Perpres tidak menetapkan status hukum baru tanpa dasar undang-undang yang jelas. Fokus utamanya sebaiknya pada perlindungan minimum, transparansi algoritma, serta pengawasan terhadap potongan tersembunyi yang merugikan pengemudi.
Lebih jauh, MTI mengusulkan agar ojek daring secara bertahap hanya difungsikan untuk angkutan barang dan logistik mikro, bukan untuk mengangkut penumpang di kota besar. Langkah ini, menurut mereka, akan meningkatkan keselamatan dan efisiensi ruang jalan. Transisi menuju kebijakan tersebut diusulkan dilakukan dalam jangka waktu 3–5 tahun, bersamaan dengan penguatan transportasi umum massal.


0 comments