Penulisan Ulang Sejarah Indonesia dan Penolakan Narasi Tunggal | IVoox Indonesia

June 8, 2025

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia dan Penolakan Narasi Tunggal

050625-Menulis Ulang sejarah1
ILUSTRASI - . Sebuah sejarah yang ditulis tanpa mempertimbangkan konteks politik dan sosial akan menjadi sejarah yang hampa dan kehilangan maknanya. IVOOX.ID/AI

IVOOX.id - Pada Mei 2025, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) mengeluarkan manifesto yang menentang upaya pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia menjadi satu narasi tunggal yang dikendalikan oleh kekuasaan.

Aliansi mengingatkan bahwa sejarah bukan milik pemerintah, tetapi milik rakyat.

Bagi mereka, penyeragaman sejarah yang dipaksakan tidak hanya membungkam suara-suara kritis dari rakyat, tetapi juga berpotensi menghilangkan identitas dan memori kolektif bangsa.

Diketahui, rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia menjadi tema utama dalam wacana publik yang bergulir belakangan ini.

Pada 26 Mei 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkapkan bahwa pemerintah membuka ruang untuk diskusi publik terkait penulisan ulang buku sejarah Indonesia yang sedang disusun.

"Ya tunggu dulu bukunya, atau sampai progress, saya sampaikan tadi mungkin 70 persen, 80 persen. Sekarang sudah di atas 50 persen," katanya di kompleks parlemen, Jakarta, Senin, dikutip dari Antara.

Draf buku sejarah ini dirancang dengan melibatkan 113 penulis, 20 editor jilid, dan tiga editor umum dari kalangan sejarawan dan akademisi lintas disiplin ilmu, termasuk arkeologi dan geografi.

Menurut Fadli Zon, meskipun penulisan buku sejarah ini telah mencapai progres lebih dari 50 persen, pemerintah masih akan membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan setelah draf selesai. 

Namun, meski pemerintah mengklaim keterlibatan berbagai pihak, ada potensi bahwa penulisan sejarah yang terlalu terpusat di tangan kekuasaan. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar, mengingat sejarah Indonesia selama ini telah banyak dipengaruhi oleh dinamika politik yang tidak selalu memperhatikan keragaman perspektif.

Sebab, sejarah adalah cerita tentang masa lalu yang memiliki banyak dimensi. Karena itu, penulisan sejarah yang ideal adalah yang mampu mengakomodasi berbagai perspektif dan pengalaman.

Dalam hal ini, para ahli dari AKSI menegaskan pentingnya penulisan sejarah yang bersifat terbuka dan inklusif, bukan yang dipaksakan atau dijadikan alat politik oleh kekuasaan. Hal ini ditegaskan dalam Manifesto AKSI yang menolak sejarah yang hanya menggambarkan satu narasi tunggal.

Dalam pandangan AKSI, penulisan sejarah harus menghargai keragaman suara, bukan menyamakan atau menyingkirkan mereka yang memiliki pengalaman berbeda.

"Kita harus menolak sejarah resmi yang teramat dipaksakan, yang membungkam suara-suara kritis, menghilangkan identitas dan memori kolektif rakyat. Kita harus menolak sejarah tunggal karena itu berarti meniadakan kompleksitas dan keragaman pengalaman manusia," demikian Manifesto AKSI.

"Kita harus berjuang untuk sebuah sejarah yang egaliter, demokratis, dan berkeadilan. Kita harus berjuang untuk bisa memastikan bahwa suara-suara rakyat didengar, bahwa pengalaman-pengalaman mereka dihormati, dan bahwa kebenaran tentang masa lalu diungkapkan. Kita harus berjuang untuk memastikan bahwa sejarah tidak lagi digunakan sebagai alat penopang struktur kekuasaan, tapi sebagai cermin kebenaran dan keadilan," lanjut Manifesto AKSI.

Penulisan Sejarah yang Demokratis dan Berkeadilan

Gagasan menulis ulang sejarah bukan hal baru. Sejarawan Abdul Wahid, dalam sebuah diskusi pada 2018, mengkritik fenomena ahistoris dan apolitis yang terkadang muncul dalam penulisan sejarah Indonesia. “Sebagian besar ilmu sejarah di Indonesia itu apolitis, tapi sebagian kecilnya tidak,” ucap Abdul Wahid, diakses dari laman UGM.

Wahid menegaskan bahwa setiap pilihan topik dalam penulisan sejarah sesungguhnya adalah pilihan politik, yang tidak bisa dilepaskan dari konteks ekonomi-politik yang melatarbelakanginya.

Menurutnya, sejarah yang tidak mempertimbangkan latar belakang politik dan sosial seringkali hanya akan menghasilkan narasi yang terdistorsi dan jauh dari realitas.

Salah satu usulan penting yang dikemukakan oleh para pakar sejarah, seperti yang dipaparkan dalam diskusi publik tentang Ilmu Sejarah dan Perkembangan Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia, adalah pentingnya menjaga independensi dalam penulisan sejarah.

Dalam diskusi tersebut, Lambang Trijono, dosen FISIPOL UGM, mengungkapkan bahwa ilmu sosial, termasuk sejarah, tidak boleh kehilangan daya kritisnya terhadap realitas sosial-politik yang ada. Sebuah sejarah yang ditulis tanpa mempertimbangkan konteks politik dan sosial akan menjadi sejarah yang hampa dan kehilangan maknanya

Sejarawan harus mampu menghindari konstruk-konstruk yang manipulatif dan mengembalikan sejarah pada akar-akarnya yang lebih riil, sesuai dengan kenyataan yang terjadi.

Abdul Wahid juga menambahkan bahwa sejarah Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan dalam empat periode besar: periode kolonial, masa pembangunan negara pasca-kemerdekaan, periode pembangunan ekonomi di era Orde Baru, dan masa reformasi setelah 1998. Dalam setiap periode tersebut, penulisan sejarah tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik, tetapi juga oleh kepentingan pihak-pihak yang berkuasa.

Wahid menegaskan bahwa penulisan sejarah Indonesia harus berfokus pada kebenaran dan fakta, bukan pada kepentingan politik tertentu.

Penulis: Diana

Kontributor

0 comments

    Leave a Reply