Pakar Transportasi Sarankan Penertiban ODOL Fokus pada Pemilik Barang dan Armada, Bukan Hanya Sopir | IVoox Indonesia

July 7, 2025

Pakar Transportasi Sarankan Penertiban ODOL Fokus pada Pemilik Barang dan Armada, Bukan Hanya Sopir

antarafoto-sosialisasi-pelarangan-truk-kelebihan-dimensi-dan-muatan-1749041798-1
Petugas melakukan pemeriksaan muatan kendaraan saat sosialisasi program Zero Over Dimension and Over Loading di Jombang, Jawa Timur, Rabu (4/6/2025). Kegiatan sosialisasi program Korlantas Polri ini bertujuan untuk mencegah kendaraan dengan kelebihan dimensi dan muatan di jalan raya untuk menghindari kecelakaan lalulintas, karena berdasarkan data Korlantas Polri sebanyak 26 ribu orang meninggal dunia per tahun karena kecelakaan yang melibatkan truk melebihi muatan dan dimensi. ANTARA FOTO/Syaiful Arif

IVOOX.id – Penegakan hukum pada truk Over Dimensi Over Load (ODOL) selama ini kerap berhenti di level paling bawah yakni para sopir. Sementara aktor utama yang mengambil keputusan, seperti pemilik barang, pemilik armada, dan karoseri, tetap berada di balik layar. Pemerhati transportasi, Muhammad Akbar, menegaskan bahwa pendekatan penanganan ODOL selama ini justru memperpanjang masalah. 

“Sampai kapan kita akan terus menyalahkan sopir, sementara yang memberi perintah tetap tak tersentuh? Selama penindakan hanya menyasar mereka yang di lapangan, ODOL akan terus jadi drama tahunan. Ramai sejenak, lalu hilang tanpa perubahan nyata. Kalau sungguh ingin menuntaskannya, bukankah seharusnya kita mulai dari mereka pengambil keputusan, bukan hanya dari sopir yang menjalankan perintah?” ujarnya kepada IVOOX.id Senin (30/6/2025).

Gelombang aksi protes dari sopir truk yang kembali marak belakangan ini seharusnya dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan sistem, bukan semata penolakan aturan. Para sopir kerap dijadikan sasaran utama dalam penegakan hukum ODOL, padahal mereka tidak memiliki kendali atas muatan maupun desain truk yang mereka kemudikan. Menolak membawa muatan berlebih berarti kehilangan pekerjaan. Maka, ketika mereka turun ke jalan, itu adalah seruan keadilan.

Penindakan di jalan raya yang dilakukan aparat sering kali menimbulkan salah paham. Sosialisasi yang dilakukan langsung kepada sopir sering dipersepsikan sebagai awal razia, yang justru menimbulkan ketegangan. Ini memperkuat kesan bahwa negara hanya hadir untuk menghukum pihak paling lemah dalam mata rantai logistik.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelanggaran ODOL bukanlah insiden spontan. Truk dengan dimensi tak wajar, hasil modifikasi karoseri, tetap bisa lolos uji KIR dan beroperasi. Data bisa dimanipulasi, pengawasan bisa diakali. Sementara itu, pemilik barang dan pemilik armada terus menekan ongkos logistik dengan memaksa satu truk mengangkut dua kali kapasitas normal.

Akibatnya? Jalan rusak, anggaran infrastruktur terkuras, dan masyarakat yang menanggung. Kementerian PUPR bahkan mencatat kerugian hingga Rp 40 triliun per tahun hanya untuk memperbaiki jalan rusak akibat ODOL, uang yang seharusnya bisa dialihkan ke pendidikan, kesehatan, atau pangan.

Jika pemerintah ingin serius menuntaskan persoalan ODOL, penindakan harus menyasar aktor utama: pemilik barang, pemilik truk, dan karoseri. Bukan hanya sopir. Imbauan dan sanksi administratif tak akan cukup. Harus ada langkah menyeluruh, mulai dari audit perusahaan logistik hingga pencabutan izin usaha bagi yang membandel.

Muhammad Akbar menegaskan pentingnya membenahi sistem dari hulu. “Kunci penertiban ODOL itu ada di titik awal. Kalau kita terus sibuk di jalan, kita hanya memadamkan api yang sudah terlanjur membakar. Sumber apinya tetap menyala di tempat lain,” ujarnya.

Beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan sudah lama menerapkan sistem logistik berbasis digital yang mampu menutup celah pelanggaran. Di Jepang, setiap truk wajib terhubung dengan Freight Information Management System yang memantau rute, beban, dan durasi perjalanan secara real-time. Sementara Korea Selatan menggunakan ILIS (Integrated Logistics Information System), yang mengintegrasikan seluruh aktor logistik dalam satu sistem pengawasan digital.

Sistem seperti ini tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga menumbuhkan budaya patuh secara alami. Semua pihak bertanggung jawab sesuai perannya, tidak hanya sopir yang dijadikan kambing hitam.

Reformasi sistem logistik nasional menjadi keharusan. Penyesuaian tarif angkutan barang, pengaturan jam kerja dan upah sopir, hingga adopsi teknologi pengawasan digital harus segera diwujudkan. Pemerintah juga perlu menunjukkan ketegasan dengan menyasar pemilik barang dan armada secara langsung dalam penegakan hukum.

0 comments

    Leave a Reply