Pakar Sebut Lima Ancaman Serius di Balik Maraknya Impor Pakaian Bekas Ilegal | IVoox Indonesia

November 7, 2025

Pakar Sebut Lima Ancaman Serius di Balik Maraknya Impor Pakaian Bekas Ilegal

Pengunjung mengamati barang-barang bekas impor yang dijual saat acara Batam
Pengunjung mengamati barang-barang bekas impor yang dijual saat acara Batam Sunday Market di Orchard Park Batam, Kepulauan Riau, Minggu (4/5/2025). Bazar thrifting yang menjual beragam barang bekas layak pakai serta bermerek seperti baju, sepatu, topi dan jaket dengan kisaran harga puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/YU

IVOOX.id – Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, Christiantoko, menilai pemerintah perlu segera menindak tegas praktik impor pakaian bekas atau thrifting ilegal yang kini marak di pasaran. Ia menyebut, peredaran barang-barang bekas tanpa izin itu bukan hanya merugikan negara, tapi juga menekan pelaku industri kecil serta mengancam kesehatan masyarakat.

“Masuknya barang bekas tanpa izin itu tidak hanya menimbulkan hilangnya potensi pendapatan negara, tetapi juga merugikan produsen kecil di Tanah Air dan kesehatan masyarakat,” ujar Christiantoko dalam keterangan resmi yang diterima ivoox.id Kamis (30/10/2025).

Menurutnya, ada lima ancaman utama dari praktik impor pakaian bekas ilegal. Ancaman pertama adalah hilangnya potensi penerimaan negara dari bea masuk, karena barang-barang tersebut tidak tercatat secara resmi di kepabeanan. “Para importir itu tidak membayar kewajibannya yang berupa bea masuk,” katanya.

Ancaman kedua, lanjut Christiantoko, adalah dampak ekonomi terhadap industri garmen dalam negeri. Pakaian bekas impor yang dijual murah membuat pelaku usaha kecil dan menengah kesulitan bersaing. “Dari sisi produsen, yang langsung terdampak terutama usaha kecil di sektor garmen, karena kalah bersaing dengan barang ilegal,” katanya.

Ancaman ketiga berkaitan dengan pelanggaran hukum. Ia menegaskan, kegiatan impor pakaian bekas ilegal merupakan tindak pidana yang harus disikapi bukan hanya oleh Kementerian Keuangan, tetapi juga oleh aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian.

Sementara ancaman keempat adalah potensi kejahatan ekonomi berupa misinvoicing atau manipulasi faktur kepabeanan. Berdasarkan riset NEXT Indonesia Center, selama dua dekade terakhir (2005–2024), terdapat selisih pencatatan kepabeanan mencapai US$591 juta antara data impor Indonesia dan catatan ekspor negara mitra. “Catatan impor di Indonesia lebih kecil ketimbang catatan ekspor dari negara mitra atau yang dikenal dengan istilah under-invoicing,” ujarnya.

Dengan kurs rata-rata Bank Indonesia sebesar Rp12.049 per dolar AS, nilai selisih itu setara dengan sekitar Rp7,1 triliun. “Perbedaan pencatatan ini bisa bermakna dua hal: ada manipulasi faktur atau memang barangnya masuk secara ilegal. Namun yang jelas, penerimaan negara mengalami kerugian,” katanya.

Negara-negara pengekspor pakaian bekas ke Indonesia antara lain Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Australia, Prancis, Singapura, Afrika Selatan, Jerman, Hong Kong, dan Thailand. Namun, data Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Comtrade) justru mencatat Malaysia dan Tiongkok sebagai dua eksportir terbesar yang tidak tercantum dalam data resmi kepabeanan Indonesia. “Informasi itu mengisyaratkan adanya data dari negara-negara eksportir pakaian bekas ke Indonesia yang tidak tercatat secara resmi,” ujarnya.

Ancaman kelima, menurut Christiantoko, adalah aspek kesehatan. Ia mengingatkan potensi penyebaran penyakit kulit akibat penggunaan pakaian bekas yang tidak melalui proses sterilisasi. “Sudah banyak ahli kesehatan yang menyampaikan potensi infeksi kulit dari pakaian bekas. Kementerian Kesehatan perlu menyampaikan edukasi soal ini,” katanya.

0 comments

    Leave a Reply