Menata Ulang Kebijakan Ketenagakerjaan di Tengah Penuaan Penduduk | IVoox Indonesia

June 5, 2025

Menata Ulang Kebijakan Ketenagakerjaan di Tengah Penuaan Penduduk

290525-Lowongan Kerja1
ILUSTRASI - pemerintah perlu mendorong skema kerja yang fleksibel dan ramah usia. IVOOX.ID/AI

IVOOX.id - Indonesia tengah memasuki fase penuaan penduduk, ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia.

Dengan harapan hidup yang telah mencapai 72 tahun, data BPS menunjukkan penduduk lansia, yang didefinisikan sebagai individu berusia 60 tahun ke atas, mencapai sekitar 12 persen dari total populasi pada tahun 2024. Angka ini diproyeksikan meningkat tajam menjadi 20,31 persen pada tahun 2045.

Transisi demografi ini bukan sekadar statistik semata, namun juga memiliki implikasi besar bagi perekonomian dan sistem sosial Indonesia. Situasi ini mendorong kita untuk menata ulang kebijakan ketenagakerjaan yang mengakui bahwa lansia tetap memiliki keterampilan, pengalaman, dan kapasitas untuk berkontribusi secara bermakna bagi masyarakat.

Penting dicatat bahwa tren penuaan ini akan bertepatan dengan visi ambisius "Indonesia Emas 2045", yang menargetkan Indonesia menjadi negara maju pada seratus tahun kemerdekaannya. Jika kebijakan ketenagakerjaan dan sosial tidak mempertimbangkan partisipasi kerja lansia, Indonesia berisiko kehilangan sumber daya manusia yang berharga, memperlebar ketimpangan ekonomi, dan sulit mencapai tujuan pembangunannya.

Indonesia memiliki perspektif paradoks terhadap penuaan, yang seringkali menghasilkan dikotomi pemikiran, apakah lansia sebaiknya pensiun atau terus bekerja. Namun, data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) per Agustus 2024 menunjukkan bahwa 56,16 persen lansia Indonesia masih aktif secara ekonomi.

Dari jumlah tersebut, 84,75 persen bekerja di sektor informal dengan rata-rata penghasilan hanya Rp2,07 juta per bulan, jauh di bawah upah minimum pemerintah. Ini mencerminkan tidak hanya partisipasi ekonomi yang terus berlangsung, tetapi juga kondisi kerja rentan yang dialami banyak lansia.

Saat ini, partisipasi lansia dalam dunia kerja lebih didorong oleh kebutuhan ketimbang pilihan. Banyak di antara mereka tidak memiliki akses terhadap pensiun formal atau tabungan hari tua, khususnya mereka yang memiliki riwayat kerja informal. Tanpa perlindungan sosial yang memadai, lansia sering kali terus bekerja di usia tua demi memenuhi kebutuhan dasar.

Di sisi lain, perubahan struktur keluarga dan berkurangnya dukungan antargenerasi membuat banyak lansia memiliki pilihan yang terbatas.

Perubahan cara pandang masyarakat terhadap penuaan menjadi langkah awal untuk menjawab tantangan ini. Penuaan kerap diasosiasikan dengan ketergantungan meskipun pada beberapa tahun terakhir telah terdapat wacana pentingnya penuaan yang produktif dan bermakna.

Kebijakan sebaiknya tidak lagi hanya berkutat pada pertanyaan apakah lansia perlu bekerja atau tidak. Kebijakan harus diarahkan untuk menjawab tantangan yang lebih besar, yaitu bagaimana menciptakan lingkungan yang memungkinkan lansia untuk dapat memilih terus bekerja atau pensiun dengan bermartabat.

Hal ini semakin mendesak karena di masa depan, populasi lansia di Indonesia akan didominasi oleh individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan mampu berkontribusi di sektor formal.

Untuk menyiapkan masyarakat terhadap penuaan sekaligus mendorong inklusi ekonomi, Indonesia harus mengadopsi kerangka kebijakan menyeluruh yang mendukung keberlanjutan, fleksibilitas, dan otonomi di usia lanjut. Kerangka tersebut mencakup perlindungan hukum, fleksibilitas kerja, pengembangan keterampilan, serta infrastruktur pendukung.

Pertama, penegakan peraturan anti-diskriminasi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang setara dalam mendapatkan pekerjaan tanpa memandang usia. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 111 melalui UU No. 21 Tahun 1999 yang melarang diskriminasi berbasis usia, implementasi dan evaluasinya masih lemah dan tidak konsisten.

Kebijakan pemanfaatan pengalaman dan keahlian lansia sebagaimana diatur dalam Stranas Kelanjutusiaan tidak akan efektif tanpa mengatasi diskriminasi berdasarkan usia terlebih dahulu. Upaya penataan regulasi yang lebih luas juga diperlukan untuk mengatasi diskriminasi interseksional yang melibatkan usia dan gender. Lansia perempuan kerap menghadapi hambatan berlapis akibat bias gender dan diskriminasi usia, terutama dalam akses kerja dan sumber daya keuangan.

Kedua, pemerintah perlu mendorong skema kerja yang fleksibel dan ramah usia—seperti pekerjaan paruh waktu, opsi kerja jarak jauh, dan skema pensiun bertahap, yang sesuai dengan kapasitas beragam para lansia, terutama perempuan yang juga memikul tanggung jawab pengasuhan. Standar ketenagakerjaan harus mengakomodasi jenis pekerjaan yang cocok bagi lansia dan memberikan perlindungan yang mencerminkan perubahan kemampuan mereka.

Ketiga, program pelatihan dan peningkatan keterampilan yang disesuaikan dengan kemampuan lansia sangat penting agar mereka dapat beradaptasi dengan perubahan pasar kerja. Pemberi kerja juga perlu didorong melalui insentif pajak atau subsidi untuk mempekerjakan atau mempertahankan karyawan lansia, terutama di sektor yang mengalami kekurangan tenaga kerja.

Terakhir, seluruh upaya ini harus ditopang oleh perbaikan infrastruktur, seperti transportasi umum yang ramah lansia dan layanan digital yang inklusif, untuk memungkinkan partisipasi penuh dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Jika diimplementasikan bersama, seluruh rekomendasi ini akan menjadi dasar bagi sistem ketenagakerjaan yang inklusif dan menghargai lansia bukan hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai kontributor kemajuan nasional.

Transisi demografi memberikan peluang bagi Indonesia untuk membuka ruang kontribusi yang lebih besar bagi para lansia, sekaligus membangun ekonomi yang lebih inklusif. Untuk itu, diperlukan kebijakan yang menjamin pilihan dan keterlibatan aktif para lansia. Menuju visi “Indonesia Emas 2045”, penerapan kebijakan ketenagakerjaan yang ramah lansia menjadi kunci agar tidak ada kelompok yang tertinggal dalam pembangunan.

 

Penulis: Ayesha Tantriana dan Pravitasari

Ayesha Tantriana adalah Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS) adapun Pravitasari adalah Perencana di Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN

 

Sumber: Antara

0 comments

    Leave a Reply