Menata Hubungan Negara-Rakyat, Belajar dari Tragedi Affan Kurniawan

IVOOX.id - Negara sedang dihadapkan pada ujian empati dan kepercayaan publik.
Peristiwa yang menimpa Affan Kurniawan, seorang driver ojek online yang meninggal dalam aksi massa pada 25 Agustus 2025 dengan sangat tragis, menjadi pengingat tentang pentingnya perlindungan negara terhadap warga negaranya. Terutama mereka yang berada di lapisan terdepan dalam dinamika kehidupan perkotaan.
Setelah ditelisik lebih jauh, berdasarkan keterangan saksi, nyatanya Affan bukanlah bagian dari kerusuhan, melainkan seorang pekerja yang tengah menjalankan tugasnya. Kepergiannya memunculkan kesedihan yang mendalam dan membuka ruang refleksi tentang peran negara dalam memastikan keselamatan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Para driver ojek online memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari, menjadi bagian dari denyut nadi kota dan penopang roda perekonomian. Mereka membantu memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat, dari mengantarkan obat untuk keluarga yang sakit hingga memastikan anak-anak sekolah mendapatkan bekal tepat waktu.
Namun, di balik peran besar itu, posisi mereka kerap berada pada titik yang rentan. Peristiwa yang menimpa Affan mengingatkan bahwa perlindungan terhadap kelompok pekerja seperti mereka perlu menjadi perhatian bersama, agar mereka dapat bekerja dengan aman dan tenang.
Tragedi ini juga mengangkat kembali perbincangan tentang bagaimana negara dan lembaga perwakilan rakyat merespons aspirasi publik. Ketika peristiwa besar terjadi, masyarakat berharap mendapatkan informasi yang jelas, transparan, dan menumbuhkan rasa empati.
Sayangnya, kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif masih menjadi tantangan. Survei Litbang Kompas pada 2023 menunjukkan tingkat kredibilitas DPR cenderung menurun. Salah satu penyebabnya adalah kesenjangan antara ekspektasi masyarakat dan praktik politik yang berjalan, di mana kepentingan publik kerap terasa belum sepenuhnya menjadi prioritas.
Ruang Representasi
Dalam sistem demokrasi, parlemen seharusnya menjadi ruang representasi, tempat suara rakyat disuarakan dan diadvokasi. Namun, realitas politik modern sering kali diwarnai oleh tantangan, termasuk proses rekrutmen politik yang lebih menonjolkan popularitas atau kekuatan modal dibandingkan rekam jejak dan kapasitas kepemimpinan.
Hal ini berpotensi memengaruhi kualitas representasi yang dihasilkan dan menimbulkan jarak antara lembaga perwakilan dengan masyarakat. Memperkuat kualitas demokrasi memerlukan upaya bersama, baik dari partai politik, lembaga negara, maupun partisipasi publik, agar keputusan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan aspirasi konstituen.
Dalam perspektif pembangunan sosial, peran negara idealnya hadir sebagai pelindung dan pemberdaya masyarakat. Amartya Sen melalui pendekatan capability menekankan bahwa pembangunan baru dapat terwujud ketika masyarakat memiliki kebebasan dasar, seperti hak bergerak, berpartisipasi, dan diakui martabatnya. Proses menuju kondisi ideal ini masih menghadapi tantangan.
Relasi kuasa dalam negara modern, sebagaimana dijelaskan Michel Foucault, seharusnya digunakan untuk menciptakan keteraturan dan kesejahteraan publik. Namun, praktik birokrasi dan tata kelola terkadang belum sepenuhnya mencerminkan prinsip tersebut.
Birokrasi yang ideal mestinya mengutamakan meritokrasi, di mana penempatan aparatur dilakukan berdasarkan kompetensi dan profesionalisme, bukan semata kedekatan politik. Sistem ini memastikan kebijakan dan layanan publik berjalan lebih efektif, adil, dan sesuai kebutuhan masyarakat.
Dalam praktiknya, Indonesia masih berproses menuju tata kelola yang inklusif dan transparan. Tantangan ini semakin terasa di era digital, di mana masyarakat menuntut keterbukaan informasi dan respons cepat.
Era masyarakat jaringan, seperti dijelaskan Manuel Castells, menandai lahirnya ruang publik baru di mana suara masyarakat dapat terdengar lebih luas dan cepat. Reaksi publik terhadap berbagai peristiwa, termasuk tragedi yang menimpa Affan, banyak terlihat melalui media sosial.
Ungkapan aspirasi yang disampaikan publik merupakan sinyal bahwa keterlibatan warga negara semakin aktif dan perlu diakomodasi dengan pendekatan komunikasi yang lebih terbuka. Negara-negara seperti Estonia dan Korea Selatan memberikan contoh tentang bagaimana tata kelola digital dapat membangun kembali kepercayaan melalui transparansi dan partisipasi publik yang lebih luas.
Keseimbangan Peran
Selain itu, dinamika kebijakan publik di Indonesia juga menunjukkan adanya kecenderungan meningkatnya peran militer dalam ranah sipil, antara lain melalui program-program sosial seperti Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Merah Putih.
Hal ini memunculkan diskusi tentang pentingnya memastikan keseimbangan peran antara unsur sipil dan militer dalam penyelenggaraan negara. Keamanan dan kesejahteraan masyarakat tetap perlu ditempatkan dalam kerangka sipil yang demokratis agar tata kelola pemerintahan berjalan sejalan dengan prinsip-prinsip partisipasi publik.
Melihat tantangan ini, diperlukan pembaruan struktural yang berorientasi pada perbaikan kualitas demokrasi dan perlindungan masyarakat. Reformasi birokrasi berbasis meritokrasi dapat menjadi langkah awal, memastikan seleksi aparatur dilakukan secara terbuka, objektif, dan profesional.
Selain itu, penerapan sistem e-governance dengan akses data terbuka dapat meningkatkan transparansi sekaligus memperkuat akuntabilitas. Setiap proyek publik yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat dapat dipantau melalui audit real-time dan partisipasi digital, sehingga publik memiliki ruang untuk turut mengawasi dan memberikan masukan.
Di sisi lain, akuntabilitas politik juga perlu diperkuat dengan pemanfaatan teknologi. Sistem digital yang memungkinkan masyarakat memantau kinerja anggota legislatif secara berkala dapat menjadi jembatan untuk membangun kembali kepercayaan.
Evaluasi atas keterlibatan militer dalam program-program sipil juga perlu dilakukan secara proporsional, memastikan peran utama negara tetap berpijak pada kerangka sipil yang demokratis. Harapan publik terhadap negara sesungguhnya sederhana yakni kehadiran yang nyata. Negara diharapkan tidak hanya hadir secara administratif, tetapi juga substantif, dengan mendengar, melindungi, dan melayani masyarakatnya.
Pembangunan yang berkeadilan hanya dapat tercapai jika kebijakan berpijak pada kebutuhan warga, terutama kelompok rentan seperti para pekerja sektor informal. Kisah Affan Kurniawan menjadi pengingat bahwa setiap individu memiliki hak untuk bekerja dan hidup dengan aman serta bermartabat.
Membangun kembali kepercayaan publik bukanlah proses singkat, melainkan perjalanan panjang yang memerlukan kolaborasi semua pihak. Negara, parlemen, birokrasi, dan masyarakat perlu bergerak bersama untuk mewujudkan tata kelola yang inklusif, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik.
Jika upaya ini dijalankan secara konsisten, tragedi seperti yang menimpa Affan Kurniawan dapat dicegah, dan harapan bagi masa depan bangsa dapat kembali tumbuh.
Penulis: Amalia Susilowati
Kandidat Doktor Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada; pemimpin 7 perusahaan dalam ekosistem ExportHub.id; dan advokat untuk anak-anak dengan disabilitas neurologis, khususnya disleksia.
Sumber: Antara

0 comments