Krisis China-Jepang: Spionase, Propaganda Digital, dan Perang Narasi | IVoox Indonesia

December 22, 2025

Krisis China-Jepang: Spionase, Propaganda Digital, dan Perang Narasi

111225-Konflik Cina-Jepang tentang Taiwan1_AI
ILUSTRASI - Perang siber menjadi lapisan baru dalam konflik China-Jepang terkait Taiwan, di mana perebutan keunggulan tidak hanya terjadi di laut, udara, atau ruang diplomatik, tetapi juga dalam infrastruktur digital. IVOOX.ID/AI

IVOOX.id – Ketegangan antara China dan Jepang mengenai masa depan Taiwan bukan hanya bagian dari dinamika geopolitik yang berlangsung di atas permukaan.

Di balik sorotan publik terhadap manuver militer, pernyataan diplomatik, atau latihan angkatan bersenjata, terdapat dimensi lain yang tidak kalah menentukan yakni spionase, operasi siber, dan propaganda digital. Ketiganya menciptakan arsitektur narasi yang memengaruhi cara dunia memahami konflik ini.

Untuk membaca bagaimana pemberitaan terbentuk, Teori Framing dari Robert Entman (1993) menjadi kaca pembesar yang relevan. Teori ini menjelaskan bahwa media memilih aspek tertentu dari realitas, menonjolkannya, menafsirkan penyebabnya, menilai moralitas aktor yang terlibat, dan menawarkan solusi tertentu. Dengan kata lain, media tidak hanya memberitakan, tetapi secara aktif menyusun bingkai interpretasi.

Dalam konteks krisis China-Jepang terkait Taiwan, teori tersebut memperlihatkan bagaimana spionase, propaganda digital, dan kepentingan nasional berkelindan membentuk persepsi publik. Tulisan ini mencoba menguraikan dinamika tersebut dengan pendekatan naratif yang runut dan mudah diikuti.

Panggung ketegangan

Taiwan bukan sekadar pulau yang terletak di antara Laut China Timur dan Laut China Selatan. Ia adalah simpul strategis yang menghubungkan jalur perdagangan global, pusat manufaktur semikonduktor dunia, dan kepentingan keamanan dua negara besar Asia.

Bagi China, Taiwan adalah simbol utama integritas teritorial dan proyek peradaban yaitu “reunifikasi nasional”. Bagi Jepang, stabilitas Selat Taiwan adalah syarat kelangsungan jalur energi yang melewati Okinawa serta perlindungan rantai pasok teknologi domestik.

Konsekuensinya, setiap pergerakan kapal, perubahan kebijakan, atau pernyataan pejabat mengenai Taiwan selalu menjadi berita yang tidak hanya dikonsumsi publik, melainkan dibingkai secara spesifik oleh media masing-masing negara.

Melalui Teori Framing Entman, kita dapat melihat bagaimana media China menonjolkan Jepang sebagai negara yang kembali “remiliterisasi”, sementara media Jepang menyoroti aktivitas militer dan intelijen China sebagai ancaman langsung. Dengan demikian, pemberitaan tidak hanya menggambarkan keadaan, tetapi mengarahkan publik pada kesimpulan tertentu.

Spionase dimensi senyap

Konflik mengenai Taiwan memicu peningkatan aktivitas intelijen kedua negara. Isu yang disampaikan media sering kali berakar pada informasi yang diperoleh lewat operasi spionase yang berlangsung di ruang-ruang tersembunyi, jauh dari pantauan publik.

China mengerahkan jejaring aktor sipil mulai dari pebisnis, akademisi, hingga jurnalis untuk mengumpulkan data mengenai strategi Jepang, termasuk hubungan pertahanannya dengan Amerika Serikat serta kesiapan militernya di Okinawa. Informasi yang dikumpulkan dilebur menjadi narasi yang menampilkan Jepang sebagai pihak yang memicu ketegangan dan mendukung agenda geopolitik Barat di kawasan.

Di sisi lain, Jepang juga memperluas operasi intelijennya melalui pemantauan maritim berteknologi tinggi, analisis citra satelit, dan kerja sama intelijen dengan AS dan Taiwan. Aktivitas ini memungkinkan Jepang memahami pola pergerakan militer China, intensitas patroli di Laut China Timur, hingga potensi serangan siber yang menargetkan infrastruktur nasional.

Ketika sebagian informasi ini akhirnya muncul dalam pemberitaan, media Jepang membingkai China sebagai kekuatan yang kian ekspansif dan tidak transparan, sehingga memperkuat persepsi ancaman di ruang publik.

Melalui proses ini, operasi intelijen dan pemberitaan media saling menghidupi satu sama lain. Intelijen menyediakan bahan mentah yang memberi arah bagi narasi, sementara media memperkuat interpretasi tertentu yang relevan dengan kepentingan nasional masing-masing negara.

Akibatnya, konflik mengenai Taiwan tidak hanya tercermin dalam patroli kapal perang atau pernyataan diplomatik, tetapi juga dalam pertarungan persepsi yang memengaruhi cara masyarakat China, Jepang, dan dunia melihat situasi tersebut.

Propaganda Digital

Jika spionase adalah perang diam-diam, propaganda digital adalah perang terbuka tapi terselubung. Kedua negara menggunakannya untuk memperkuat posisi masing-masing di mata publik internasional.

China memanfaatkan kekuatan medianya yang terpusat dan terkoordinasi, mulai dari televisi nasional hingga jaringan akun digital yang bergerak secara serempak. Pesan yang disampaikan dirancang untuk menciptakan citra bahwa Beijing bertindak defensif, menjaga stabilitas, dan sekadar mempertahankan kedaulatan. Melalui narasi yang dikemas halus dan disebarkan masif, China berupaya membangun persepsi global bahwa krisis di Taiwan muncul akibat provokasi eksternal, bukan ambisi ekspansi.

Di sisi seberang, Jepang mengandalkan model propaganda yang lebih halus namun efektif, berlandaskan kredibilitas media dan transparansi kebijakan pemerintah. Media Jepang tidak beroperasi sebagai corong negara, tetapi sebagai penguat narasi keamanan nasional melalui pemilihan isu dan penyajian data yang mudah diterima publik internasional.

Laporan tahunan pertahanan, misalnya, menjadi alat diplomasi yang menyampaikan secara sistematis bagaimana aktivitas militer China dianggap mengancam keseimbangan regional. Dengan pendekatan ini, Jepang berupaya mempertahankan citra sebagai negara yang bertindak hati-hati dan berbasis aturan dalam menghadapi ketegangan Taiwan.

Hasilnya adalah kontestasi narasi yang berlangsung di berbagai platform digital, dari media sosial global hingga ruang pemberitaan arus utama. Masing-masing negara memanfaatkan karakteristik mediumnya. China dengan kekuatan amplifikasi algoritmik yang masif, Jepang dengan legitimasi institusional dan kepercayaan internasional.

Di tengah arus informasi yang semakin cepat dan tidak selalu akurat, publik global menyerap narasi yang telah dibingkai sedemikian rupa, sehingga konflik di Taiwan tidak hanya dipahami sebagai persoalan geopolitik, tetapi sebagai arena perebutan citra, legitimasi, dan pengaruh yang melampaui batas teritorial kedua negara.

Operasi Siber

Spionase dan propaganda digital tidak dapat dipisahkan dari perang siber, yang dalam beberapa tahun terakhir meningkat tajam. Serangan siber yang dilancarkan kelompok berafiliasi dengan negara menjadi instrumen yang memungkinkan pencurian data sensitif, pelemahan infrastruktur kritis, hingga infiltrasi ke sistem komunikasi strategis.

China, misalnya, diduga melakukan serangkaian penetrasi terhadap kementerian, perusahaan telekomunikasi, dan fasilitas energi Jepang untuk memetakan celah keamanan dan memperoleh informasi yang dapat digunakan dalam negosiasi geopolitik. Aksi semacam ini tidak hanya berfungsi sebagai taktik pengumpulan data, tetapi juga sebagai pesan simbolik bahwa Beijing memiliki kemampuan untuk mengganggu stabilitas digital lawannya kapan pun diperlukan.

Sementara Jepang merespons ancaman tersebut dengan mempercepat pembangunan kemampuan pertahanan siber nasional, termasuk pembentukan unit khusus yang bertugas melakukan deteksi dini, perlindungan sistem, dan respons cepat terhadap serangan lintas negara. Upaya ini diperkuat melalui kerja sama dengan Amerika Serikat dan mitra regional lainnya, yang menyediakan dukungan teknologi serta intelijen tambahan untuk menghadapi serangan yang semakin kompleks.

Dinamika ini membuat perang siber menjadi lapisan baru dalam konflik China-Jepang terkait Taiwan, di mana perebutan keunggulan tidak hanya terjadi di laut, udara, atau ruang diplomatik, tetapi juga dalam infrastruktur digital yang menopang kehidupan modern dan memengaruhi bagaimana setiap negara menampilkan kekuatan serta kerentanannya di mata dunia.

Realitas dibingkai kepentingan

Pemberitaan mengenai krisis China-Jepang tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat kedua negara. Media global turut mengambil posisi berdasarkan kepentingan geopolitik masing-masing. Media Barat pada umumnya menonjolkan ancaman ekspansi China dan menggarisbawahi pentingnya Jepang sebagai mitra strategis dalam menjaga stabilitas Indo-Pasifik.

Sementara itu, sebagian media di Asia, Timur Tengah, dan Afrika cenderung lebih simpatik terhadap narasi China yang mengkritik dominasi Amerika Serikat serta menggambarkan ketegangan di Taiwan sebagai konsekuensi dari rivalitas kekuatan besar. Perbedaan orientasi geopolitik ini membuat pemberitaan internasional sering kali berlapis-lapis, dengan versi realitas yang berubah tergantung siapa yang melaporkan dan untuk siapa laporan itu dibuat.

Namun, polarisasi pemberitaan global ini juga membuka ruang kompetisi naratif yang semakin intens. Di tengah derasnya arus informasi digital, negara-negara besar berupaya memengaruhi wacana internasional melalui diplomasi publik, riset kebijakan yang disebarluaskan, hingga penyebaran konten strategis melalui platform media sosial. Akibatnya, konflik China-Jepang terkait Taiwan bukan lagi sekadar persoalan militer atau diplomasi, melainkan pertandingan legitimasi di panggung global.

Publik internasional menyerap narasi yang telah diformat oleh kepentingan politik masing-masing media, sehingga persepsi mengenai siapa yang agresif, siapa yang defensif, dan siapa yang paling bertanggung jawab menjadi relatif bergantung pada bingkai informasi yang mendominasi ruang pemberitaan.

Perang yang Tidak Kita Lihat, Tapi Kita Rasakan

Krisis China-Jepang terkait Taiwan memperlihatkan bahwa konflik modern tidak hanya terjadi di medan perang, tetapi juga di dunia informasi. Spionase menyediakan data, operasi siber membuka celah, dan propaganda digital menyusun narasi yang membentuk persepsi global.

Dengan menggunakan Teori Framing Entman, kita dapat melihat bahwa pemberitaan media bukan hanya cermin realitas, melainkan instrumen yang membentuk realitas. China dan Jepang masing-masing membingkai situasi untuk memperkuat posisi politik mereka, baik di tingkat domestik, regional, maupun internasional.

Perang narasi ini mungkin sunyi, tetapi dampaknya besar. Ia memengaruhi opini publik, kebijakan negara, hingga persepsi risiko yang memengaruhi stabilitas kawasan. Meskipun belum berubah menjadi konflik fisik, pertarungan informasi yang mengiringinya sudah berlangsung, dan masa depan Taiwan kini bukan hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh kekuatan framing dan kendali atas informasi.


Penulis: Safriady

Pemerhati isu strategis, akademisi, praktisi media, pengajar di Sesko TNI AL dan BAIS, dan Doktor Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjajaran.

Sumber: Antara

0 comments

    Leave a Reply