Komisi VII DPR Tolak Pembangunan Sarana Pariwisata di Pulau Padar Komodo

IVOOX.id – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Rahayu Saraswati menegaskan pihaknya tidak mendukung adanya pembangunan sarana pariwisata di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
"Sektor pariwisata Indonesia memang masih butuh perkembangan karena masih kalah bersaing dengan Malaysia dan Thailand, namun kami tidak ingin pembangunan pariwisata justru mengganggu area masyarakat lokal. Kami sepakat tidak dilakukan di Pulau Padar itu sendiri. Jadi, memang sebisanya lebih mendekat kepada Labuan Bajo," kata Rahayu di Jakarta, Kamis (7/8/2025), dikutip dari Antara.
Dia mengatakan bahwa masalah tersebut sudah dikomunikasikan kepada Menteri Pariwisata. Berdasarkan keterangan dari kementerian, menurut dia, izin pembangunan di Pulau Padar itu sudah ada dari beberapa tahun lalu.
Oleh karena itu, dia pun mendorong agar izin pembangunan di wilayah itu dikaji ulang. Menurut dia, pembangunan sektor wisata tetap harus memperhatikan lingkungan hidup dan masyarakat lokal.
Menurut dia, sektor pariwisata harus membantu pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada masyarakat lokal. Selain itu, dia ingin agar sektor pariwisata juga menimbulkan perputaran ekonomi bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga dari luar negeri.
"Harus ada peninjauan ulang dari segi Pemprov, Pemda, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pariwisata dan yang lain-lain, supaya betul-betul menghadirkan sesuatu yang bisa disepakati oleh semua pihak," katanya.
Sebelumnya, masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, DPRD setempat, dan berbagai pihak lainnya, menyampaikan protes terhadap rencana pembangunan resort dengan 619 fasilitas wisata oleh PT Kencana Watu Lestari (PT KWT) di Pulau Padar, serta perusahaan lain yang beroperasi di kawasan TNK.
Kemenhut Klaim Pembangunan di Pulau Padar Mengacu EIA WHC dan IUCN
Sementara, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) memastikan pembangunan fasilitas pariwisata di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo, mengacu pada Environmental Impact Assessment (EIA) sesuai standar World Heritage Centre (WHC) dan International Union for Conservation of Nature (IUCN).
“Terkait dengan rencana tersebut, saat ini masih pada tahap konsultasi publik atas dokumen EIA sesuai standar WH dan IUCN,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Luar Negeri Kemenhut Krisdianto dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (5/6/2025), dikutip dari Antara.
“Pemerintah Indonesia tidak akan mengizinkan pembangunan apa pun sebelum dokumen EIA ini disetujui oleh WHC dan IUCN, sebagai bagian dari komitmen terhadap perlindungan Outstanding Universal Value (OUV), situs warisan dunia,” imbuhnya.
Dokumen EIA merupakan respon terhadap mandat dari hasil Reactive Monitoring Mission TN Komodo 2022, serta keputusan resmi Sidang WHC ke-46 (Riyadh, 2023) dan WHC ke-47 (Paris, 2025).
Pembangunan hanya dapat dilakukan jika seluruh rekomendasi EIA dipenuhi dan tidak ada risiko terhadap integritas situs warisan dunia.
Adapun hal ini menyusul rencana pembangunan fasilitas pariwisata oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT. KWE) di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo.
Krisdianto mengatakan, pengusahaan wisata alam merupakan amanah UU 5 tahun 1990 jo UU 32 tahun 2024 yang dapat dilakukan di Zona Pemanfaatan.
PT. KWE, kata dia, merupakan pemegang izin usaha sarana pariwisata alam sejak tahun 2014 melalui SK Menteri Kehutanan No:SK.796/Menhut-II/2014, yang memiliki lokasi izin usaha sarana berada di zona pemanfaatan Pulau Padar.
“Sampai dengan saat ini belum ada aktivitas pembangunan sarana dan prasarana wisata alam,” ujarnya.
Mengacu pada rencana yang ada, luas pembangunan sangat terbatas hanya ±15,375 ha atau 5,64 persen dari 274,13 ha total perijinan berusaha di Pulau Padar, bukan 426 ha. Pembangunan dilakukan bertahap dalam lima tahap dan dibagi dalam tujuh blok lokasi.
Kemudian terkait kajian dampak, telah dilakukan secara ilmiah dan partisipatif. Dokumen EIA disusun oleh tim ahli lintas disiplin, dan telah dikonsultasikan secara terbuka bersama para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, tokoh masyarakat, LSM, pelaku usaha, dan akademisi dalam forum konsultasi publik di Labuan Bajo pada 23 Juli 2025 yang lalu.
“Pemerintah akan memastikan bahwa setiap pembangunan tidak akan berdampak negatif terhadap kelestarian komodo dan habitatnya. Evaluasi terhadap OUV, baik dari aspek ekologi, lanskap, hingga sosial-budaya, menjadi dasar utama dalam seluruh proses penilaian,” kata Krisdianto.
Ia juga memastikan Kemenhut menghargai perhatian publik terhadap keberlanjutan dan kelestarian satwa Komodo dan Pulau Padar.

0 comments