Kenapa Bawang Putih Masih Impor, Ini Penjelasannya

IVOOX.id, Jakarta - Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Hortikultura, Dr. Moh Ismail Wahab menjelaskan Indonesia sekitar tahun 1994-1995 pernah berhasil memenuhi kebutuhan bawang putih sendiri.
Pada saat itu kita memiliki pertanaman bawang putih mencapai sekitar 22.000 hektar. Produksinya mencapai 150.000 ton, cukup memenuhi kebutuhan karena jumlah penduduk yang tidak sebanyak saat ini.
Namun demikian, lanjut Ismail, seiring dengan adanya krisis moneter dan dibukanya keran impor yang saat itu harganya relatif lebih murah, sehingga akhirnya produksi bawang putih dalam negeri tidak bisa bersaing dengan bawang putih yang di datangkan dari luar.
Dampaknya adalah harga bawang putih dalam negeri setiap tahun terus menurun sampai terakhir pada tahun 2016.
“Jadi 25 tahun lebih, atau menteri-menteri sebelumnya tidak pernah menyinggung tentang bawang putih ini. Tapi di jaman Menteri Pertanian Amran Sulaiman setelah tahun kedua pertanaman bawang putih menjadi salah satu komoditas unggulan yang harus digenjot produksinya dan ditargetkan harus swasembada,” jelasnya.
“Waktu itu beliau hadir pada acara di Temanggung dalam acara pertanaman cabai. Saat itu ada yang menyampaikan bahwa dulu lahan itu adalah lahan bawang putih. Di situlah terus bawang putih mulai diprogramkan oleh Kementerian Pertanian,dan kita menargetkan capaian untuk swasembada bawang putih pada tahun 2021,” sambung Ismail.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, Yasid Taufik menambahkan guna meningkatkan luas tanam bawang putih dan jaminan ketersediaan benih, Kementan sejauh ini telah menerapkan wajib tanam bagi importir sebanyak 5 persen dari total rekomendasi impornya.
Kementan menerbitkan Rekomendasi Izin Produk Hortikultura (RIPH) 2017 kepada 81 importir dengan luas wajib tanam seluas 8.335 hektar dengan realisasi tanam seluas 2.438 hektar.
Selanjutnya, RIPH 2018 diterbitkan kepada 82 importir dengan luas wajib tanam seluas 7.884 hektar, realisasi tanam seluas 2.892 hektar.
“Sampai dengan tanggal 29 Mei 2019, RIPH 2019 telah diterbitkan bagi 30 importir dengan luas wajib tanam seluas 3.215 hektar, realisasi tanam seluas 867 hektar,” sebutnya.
“Terhadap importir yang tidak menyelesaikan kewajiban tanamnya sesuai batas waktu yang ditentukan, yaitu 1 tahun sejak tanggal penerbitan RIPH, maka tidak dilayani pengajuan RIPH periode berikutnya,” sambung Taufik.
Masih di tempat yang sama, Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Sobir mengapresiasi tekad Kementan yang menargetkan Indonesia harus mampu memenuhi bawang putih secara sendiri.
Sebab, ia merupakan salah seorang yang selama ini menginginkan tanaman bawang putih menjadi komoditas unggulan Indonesia. Selain itu, impor hanya menguntungkan petani China sehingga adanya target swasembada bawang putih, anggaran yang dikeluarkan untuk impor dapat dialihkan untuk dinikmati petani sendiri.
“Kalau kita impor setiap tahunnya 570.000 ton, berarti kita kasih China sekitar Rp 8 triliun. Tapi jika kita bisa produksi sendiri hingga kita bisa swasembada, uang ini dinikmati oleh petani kita sendiri,” ujarnya.
Untuk meningkatkan produksi bawang putih Indonesia, Prof Sobir menuturkan perlu dikembangkan varietas bawang putih yang khusus untuk dataran rendah dan menengah. Sebab untuk lahan di dataran tinggi banyak komoditas yang bersaing.
“Untuk itu kita perlu kembangkan teknologi tinggi, dengan pola budidaya agar produktivitsnya meningkat. Di luar negeri tidak prlu di dataran tinggi atau rendah, karena suhunya sudah pas,” tandasnya.

0 comments