Dampak Tarif AS terhadap Petani dan UMKM Indonesia | IVoox Indonesia

August 12, 2025

Dampak Tarif AS terhadap Petani dan UMKM Indonesia

151224-Agromaritim5
ILUSTRASI - Di tengah ketidakpastian kebijakan dagang AS, dunia usaha membutuhkan kepastian aturan. IVOOX.ID/AI

IVOOX.id – Kebijakan tarif dagang Amerika Serikat terhadap Indonesia yang ditetapkan sebesar 19 persen tidak bisa dilihat sebagai keberhasilan diplomasi Indonesia, meskipun mendapatkan penurunan tarif dari sebelumnya 32 persen.

Sebaliknya, kebijakan ini dinilai sebagai potensi ancaman bagi kelompok rentan, khususnya petani dan pelaku UMKM.

Isu tersebut dibahas International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama sejumlah anggotanya melalui webinar Selasa, 22 Juli 2025. Salah satu sorotan INFID adalah dampak dari pembukaan pasar Indonesia terhadap produk-produk asal Amerika Serikat yang dibebaskan dari tarif.

Produk-produk pertanian seperti kedelai, jagung, dan kapas disebut sebagai komoditas yang sangat rentan terdampak oleh masuknya barang-barang AS tanpa bea masuk. Hal ini dikhawatirkan akan semakin melemahkan daya saing petani lokal dan memukul industri dalam negeri.

Peneliti dari Third World Network, Lutfiyah Hanim, menjelaskan bahwa petani di negara maju seperti AS mendapatkan subsidi besar dari pemerintah mereka.

Di negara maju seperti AS, para petani dan sektor pertanian mendapatkan subsidi dari Pemerintah mencapai 20 miliar USD per tahun. Menurutnya, subsidi ini membuat produksi pertanian AS melimpah sehingga mampu menurunkan harga internasional.

“Nah kalau melimpah produksi, dia akan melemahkan harga internasional. Ini sudah terbukti dengan produsen kapas dunia, produsen jagung, kedelai di negara-negara lain. Jadi produk pertanian AS bisa dijual dengan lebih murah di negara tujuan dan ini akan menggusur produk lokal,” jelas Lutfiyah, diakses dari laman resmi infid.org, Minggu (3/8/2025).

INFID menilai bahwa pemerintah Indonesia perlu menjelaskan secara terbuka langkah-langkah mitigasi atas potensi guncangan yang akan terjadi di pasar domestik. “Jadi pemerintah harus menjelaskan, bukan cuma turun dari 32 persen ke 19 persen. Nggak begitu. Apa sih langkah mitigasinya?” ujar Direktur Eksekutif INFID, Siti Khoirun Ni’mah.

Lebih lanjut, Ni’mah menekankan pentingnya perlindungan sosial jangka pendek bagi kelompok rentan jika terjadi lonjakan produk impor di pasar domestik.

“Tapi yang jangka pendek mestinya ada suatu upaya-upaya model-model perlindungan sosial misalnya terjadi shock ya. Misalnya tadi kemudian membanjiri (pasar domestik dengan produk luar negeri) dan petani-petani kita gak mampu bersaing di pasaran. Jadi definisi shock itu bukan hanya definisi karena gagal panen akibat iklim misalnya, tapi juga gagal panen akibat mekanisme pasar,” tambahnya. 

INFID dan para anggotanya menyerukan lima langkah utama yang perlu dilakukan oleh pemerintah: menjelaskan strategi mitigasi atas situasi dagang saat ini, membangun kedaulatan pangan dan petani, memperkuat industri nasional dengan model bisnis yang inklusif, memperkuat pasar domestik, serta memperkuat diplomasi ekonomi internasional. 

Daya Tawar

Guru Besar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM, Mailinda Eka Yuniza, menilai bahwa Indonesia memiliki posisi tawar dalam menghadapi kebijakan tarif AS, terutama melalui sektor mineral penting seperti nikel.

Mailinda menyampaikan bahwa Amerika Serikat saat ini tengah mencabut bea masuk global atas sejumlah mineral penting. “Pada dasarnya hal ini memperkuat akses Amerika terhadap sumber daya tersebut dan membuat ketersediaan globalnya menjadi semakin strategis,” katanya, di laman ugm.ac.id.

Dengan cadangan nikel sebesar 34 persen dari total dunia, Indonesia disebut telah memberi sinyal kemungkinan menjadikan komoditas ini sebagai alat negosiasi. Mailinda menjelaskan bahwa kekuatan tawar tersebut bukanlah hal yang spekulatif.

“Kekuatan dari tawar ini bukanlah sekadar teori. Baik pembatasan dari Tiongkok maupun Indonesia disebut sebagai hambatan non-tarif dalam National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers terbaru dari United States Trade Representative,” paparnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa Indonesia menghadapi dilema antara memanfaatkan posisi tawar jangka pendek atau mempertahankan ambisi industrialisasi jangka panjang di sektor mineral. Tidak seperti Tiongkok, Indonesia tidak memiliki fleksibilitas yang sama untuk mengalihkan ekspor ke pasar lain. “Sebagai negara berkembang, Indonesia mungkin tidak sanggup menanggung dampak finansial dari tarif berkepanjangan,” ujarnya.

Mailinda juga menyebut bahwa pemerintah telah menjanjikan sejumlah konsesi kepada AS untuk mengurangi ketegangan dagang. “Saya kira ini langkah-langkah yang jelas bertujuan mengakhiri konflik dagang dengan cepat,” terangnya.

Meski begitu, Indonesia tetap dihadapkan pada tantangan serius apabila tekanan untuk liberalisasi pasar mineral semakin kuat. “Jika AS menekan untuk liberalisasi pasar secara luas di sektor ini, Indonesia perlu melakukan perubahan struktural kebijakan yang lebih dari sekadar komitmen diplomatik,” tandasnya.

Mailinda menyimpulkan bahwa di tengah ketidakpastian kebijakan dagang AS, dunia usaha membutuhkan kepastian aturan. Jika kondisi ini berlanjut, banyak negara kemungkinan akan beralih ke kerja sama regional yang lebih tertutup. “Jika tren ini berlanjut, dunia bisa bergerak semakin jauh dari kerja sama global dan menuju sistem di mana hanya kelompok-kelompok negara tertentu yang bekerja sama,” katanya.

 

Penulis: Diana

Kontributor

0 comments

    Leave a Reply