Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Sebut Praktik Outsourcing di Indonesia Banyak Langgar HAM

IVOOX.id – Praktik alih daya atau outsourcing di Indonesia dinilai semakin jauh menyimpang dari semangat perlindungan hak pekerja. Hal ini diungkapkan oleh Mirah Sumirat, dalam pernyataan pers tertulisnya, yang menyoroti bahwa praktik alih daya saat ini bahkan bisa dikategorikan sebagai bentuk perbudakan modern.
Mirah menjelaskan bahwa sistem outsourcing pertama kali diperkenalkan secara resmi melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam regulasi tersebut, outsourcing hanya diperbolehkan untuk lima jenis pekerjaan penunjang: keamanan (security), kebersihan (cleaning service), katering, sopir, dan pekerjaan di sektor tambang. Peraturan ini juga mengatur bahwa pekerja seharusnya dikontrak maksimal dua kali sebelum diangkat menjadi pegawai tetap.
Namun, sejak berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), aturan menjadi jauh lebih longgar. Istilah outsourcing berubah menjadi "alih daya", dan batasan jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan dihapus. Lebih dari itu, tidak ada lagi batasan jumlah kontrak kerja, sehingga memungkinkan seseorang dikontrak terus-menerus seumur hidup tanpa kepastian status pekerjaan.
“Outsourcing dalam Omnibus Law ini sangat parah. Hampir semua jenis pekerjaan bisa dialihkan, dan kontrak bisa berlaku tanpa batas waktu. Ini jelas-jelas bentuk eksploitasi," ujar Mirah dalam keterangan resmi yang diterima ivoox.id Selasa (6/5/2025).
Menurut Mirah, dalam praktiknya, pelaksanaan sistem alih daya kerap dilakukan secara sembarangan dan jauh dari aturan hukum. Ia mencontohkan berbagai penyimpangan serius yang sering terjadi di lapangan, seperti pekerja diminta membayar biaya Rp 10 juta hingga Rp 25 juta agar diterima bekerja, yang diduga mengalir ke manajemen perusahaan pemberi kerja, lalu seorang pekerja perusahaan pengguna jasa outsourcing bisa merangkap jabatan sebagai direktur di perusahaan outsourcing itu sendiri.
Ada pula kasus di mana pejabat tinggi perusahaan pemberi kerja mendirikan perusahaan outsourcing sendiri, lalu menyalurkan pekerjaan ke perusahaannya itu. Ada juga praktik melibatkan pihak-pihak luar seperti ormas, aparat keamanan, hingga tokoh-tokoh masyarakat setempat demi memuluskan pengelolaan tenaga kerja outsourcing. Serta banyak perusahaan outsourcing tidak berbadan hukum sesuai aturan, seperti koperasi simpan-pinjam yang justru beroperasi sebagai penyalur tenaga kerja.
Mirah menyatakan bahwa semua praktik ini bertentangan dengan hukum dan merampas hak-hak dasar pekerja.
Dampak dari praktik alih daya yang menyimpang ini sangat serius terhadap kesejahteraan dan masa depan pekerja. Beberapa pelanggaran hak yang umum terjadi antara lain: upah di bawah standar upah minimum; tidak adanya jaminan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan; pekerja tidak dilindungi kebebasan untuk berserikat; PHK dilakukan semena-mena tanpa pesangon; tidak ada jenjang karier dan pelatihan kerja; tidak adanya perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja; rentan terhadap diskriminasi, kekerasan, pelecehan, serta mutasi yang sewenang-wenang; tidak mendapat THR, insentif, atau bonus; gaji sering terlambat dibayarkan; serta kontrak kerja tidak transparan dan tidak diberikan salinannya kepada pekerja.
“Dalam kondisi seperti ini, sistem outsourcing layak disebut sebagai perbudakan modern karena telah merampas hak-hak dasar dan harapan masa depan para pekerja,” ujar Mirah.
Meski demikian, Mirah mengakui bahwa tidak semua perusahaan alih daya melanggar aturan. Masih ada segelintir perusahaan yang menjalankan praktik outsourcing secara benar sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 terutama di sektor cleaning service dan keamanan.
“Perusahaan yang taat aturan memberikan upah layak, jaminan sosial, pelatihan kerja, serta menghormati kebebasan berserikat. Ini contoh baik yang seharusnya ditiru,” ujarnya.

0 comments