Antara Demokrasi dan Sebungkus Nasi

BUKAN tanpa alasan jika Yuval Noah Harari menyitir dalam sebuah diskusi bahwa demokrasi baru dimulai saat mesin cetak dipatenkan oleh Johann Gutenberg.
Bukan tanpa alasan pula jika Harari memberi cetak tebal pada demokrasi abad ke-20 sebagai titik mula demokrasi yang sesungguhnya. Sebelum kehadiran teknologi komunikasi, lanjut Harari, semua contoh dan ilustrasi tentang kehidupan berdemokrasi hanya ditarik diulur ke masa poleis di Yunani Klasik. Alasannya, demokrasi hanya mungkin saat “saya dan Anda dan kita semua” bisa berbicara dan berdiskusi dalam satu meja bundar tanpa pelintiran sudut-sudut kepangkatan atau jabatan atau suap-suapan. Namun demikian, sebelum kita mulai membahas peran saya, Anda, dan kita dalam dulangan suara, ada pertanyaan ke-kita-manusia-an yang harus dijawab: seberapa rasionalkah manusia dalam menggamitkan aspirasi politiknya?
Iain D Couzin, seorang pakar di bidang perilaku kolektif dari spesies non-manusia menukas sebuah kecenderungan yang dalam kematangan teoretiknya bahwa individu apapun adalah dua dunia yang berbeda dalam kesendirian dan kebersamaan. Couzin mengangkat sebuah contoh tentang prilaku belalang yang sebenarnya sangat rasional dalam kesendirian dan menjadi sangat irasional dalam kebersamaan. Wabah belalang sebenarnya sebuah tindakan kolektif yang tidak dikendalikan oleh satu ekor anggota gerombolan manapun. Singkatnya, belalang yang sangat individual dalam kolektivitasnya menjadi sangat komunal – dan bahkan irasional.
Lepas dari perdebatan kontemporer neurosains tentang seberapa ‘saya’ sang saya saat saya bersama ‘mereka’, Carl G. Jung pernah mengangkat sebuah gagasan sentral tentang “ketidaksadaran kolektif” atau collective unconscious. Menurut Jung, persoalan mental bisa didekati dengan cara menarik kembali distorsi tertentu ke “rumahnya” – ke wilayah ketidaksadaran kolektif kita sebagai manusia. Pelacakan ini bagi Jung dapat dilakukan dengan mempergunakan jembatan-jembatan arketipal, sebuah peran yang sebenarnya bersifat hakiki bagi manusia. Berkebalikan dengan gurunya Sigmund Freud yang menuduh hidup manusia adalah perkara destruktif kembali ke titik nol, bagi Jung perjalanan rohani manusia adalah sebuah upaya konstruktif untuk melengkapi dan untuk menarik kembali titik jejak langkah kita kembali ke kemanusiaan yang paling manusiawi.
Harari jelas tidak mengacu pada Jung saat ia menawarkan sebuah model demokrasi yang esensial dan substantif dimulai dari saat saya dan Anda dan kita semua berdialog untuk menyelesaikan semua persoalan yang menyangkut hidup kita semua – baik manusia dan dunianya (atau realitas subjektif) dan alam semesta dengan segala kompleksitasnya (atau realitas objektif). Dalam garis pemikiran Harari, ada perbedaan antara masyarakat dan gerombolan. Harari tidak seoptimis Jung dalam soal Kolektivisme. Kemungkinan munculnya distorsi ini sejalan dengan distingsi yang diberikan oleh Aristoteles: bahwa monarki bisa menjadi tirani, bahwa aristokrasi bisa menjadi oligarki, dan kewargaan (polity) bisa menjadi demokrasi. Demokrasi di mata Aristoteles tidak sememikat ilustrasi yang ada di buku-buku teks politik modern yang menekankan demokrasi sebagai prasyarat gerak progresif sebuah negara. Aristoteles justru mencurigai demokrasi. Harari, sebagai pengusung demokrasi, menarik garis di antaranya.
Ada kata ‘jika’ yang diangkat oleh Harari dan sudah dicetuskan oleh J Habermas di paruh kedua abad ke-20. Dalam pemikiran Habermas, demokrasi butuh tindakan komunikasi – dan senada dengannya, persis demikian peran teknologi yang digadang oleh Harari. Tanpa teknologi komunikasi, dengan kata lain, tidak akan ada tindakan komunikasi. Namun catatan Harari masih kurang lengkap saat kita menghadapkan kotak suara dengan perut. Seperti yang digagas oleh Couzin, individu yang rasional dapat dengan mudah menjadi gerombolan yang irasional; yang dibutuhkan hanya sekaret nasi yang tersimpan rapi dalam bungkusannya. Keberatan ini diajukan salah satunya oleh Larry Diamond. Bagi Diamond, tidak mungkin tindakan dialogis manapun dilakukan oleh orang-orang yang perutnya kosong. Demokrasi adalah negasi saat prasyarat perut tidak dipenuhi.
Saat Diamond mengangkat gagasan ini di sekitar tahun 2012, ia menghitung setidaknya perlu 6.000 dolar sebagai “uang muka” demokrasi. Untuk memahami catatan yang diberikan Diamond, kita dapat mengambil Indonesia sebagai studi kasus. Di tahun 2012 dalam catatan Statista PDB per kapita Indonesia berada di angka 3.700 dolar. Bila angka yang diajukan Diamond disandingkan dengan PDB per kapita Indonesia tahun 2024 (yang masih berupa proyeksi) sebesar 5.700 dolar, Indonesia bahkan belum mencapai ambang Diamond dua belas tahun yang lalu. Berdasarkan kalkulator inflasi smartasset, batas bawah prasyarat demokrasi tahun ini adalah 8.200 dolar, yang tidak akan mungkin dicapai bahkan hingga tahun 2028 (Statista) saat harga demokrasi naik menjadi hampir 9.100 dolar. Dengan kata lain, bahkan dalam dua belas tahun Indonesia masih saja jalan di tempat dan selalu akan jalan di tempat.
Masalahnya, hanya demokrasi yang teruji oleh berbagai stresor historis. Kandidat lain yang diajukan Aristoteles, monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, dan kewargaan tidak pernah sekuat demokrasi. Kalau kita mengacu pada catatan Fareed Zakaria tentang kedwikuasaan kekuatan dunia (Amerika Serikat versus Tiongkok), maka dua kekuatan besar dunia yang berhasil memenangkan pergulatan dengan abad adalah demokrasi versus oligarki. Monarki, tirani, aristokrasi, dan kewargaan hanyalah catatan kaki peradaban. Setidaknya, demokrasi – dengan segala tuntutannya yang sangat sulit (8.200 dolar untuk tahun 2024) – masih memungkinkan untuk menjadi bahan refleksi serius tentang kebernegaraan.
Berdemokrasi setengah harga atau tiga perempat harga hanya akan menghasilkan barang bekas setengah jadi. Bahkan bila kita menarik garis dari Harari, Habermas, dan Diamond, maka bukan hanya setiap kepala warga negara harus memiliki penghasilan 8.200 dolar, tapi teknologi komunikasi yang sehat yang memungkinkan sebuah pewacanaan dialogis pun membuat semuanya menjadi mahal. Negara-negara seperti Indonesia hanya akan sampai di ruang tunggu karena tiket masuk yang terlalu mahal untuk dibeli. Tidak aneh bila ada kemungkinan bahwa surat suara masih dapat ditakar dengan nasi, karena memang kereta kencana demokrasi masih sejauh panggang dari api.
Penulis: Mardohar B.B. Simanjuntak
Pengamat Budaya dan Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan

0 comments