7 Perubahan Aturan bagi Pekerja di Omnibus Law, di Antaranya Pesangon dan Upah

IVOOX.id, Jakarta - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja atau RUU Cipta Kerja memasuki tahap final. Terakhir pada Senin, 28 September 2020, rapat panitia kerja antar Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah telah menyelesaikan seluruh pembahasan lebih dari 7.000 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada RUU ini.
Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengakui tidak 100 persen masukan dari berbagai pihak bisa terakomodir. Tapi dalam hitungannya, mungkin sudah bisa mencapai 90 persen.
"Oleh karena itu, saya sekali lagi menyampaikan permohonan maaf," kata Supratman dikutip dari akun youtube resmi DPR RI pada Kamis, 1 Oktober 2020.
Dalam RUU ini, salah satu yang menjadi pembahasan utama ada pada kluster ketenagakerjaan. Dalam rapat panitia kerja pada Sabtu, 26 September 2020, Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang menjadi perwakilan pemerintah, telah menjabarkan 7 substansi pokok perubahan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja.
Sejumlah substansi yang sudah disetujui di rapat panitia kerja seperti pesangon. Lalu ada juga substansi lain yang disoroti oleh akademisi, kelebihan dan kekurangannya.
Berikut rincian dari 7 substansi tersebut:
1. Pesangon
Dalam UU Ketenagakerjaan, aturan soal pesangon PHK yang sebanyak 32 kali upah dinilai sangat memberatkan pelaku usaha. Sehingga, mengurangi minat investor untuk berinvestasi.
Dalam RUU Cipta Kerja, ada penyesuaian perhitungan besaran pesangon. Di dalamnya, pemerintah menambah program baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JPK).
Sebelum mengusulkan perubahan ini, Kementerian Ketenagakerjaan telah mendata pembayaran pesangon di tahun 2019. Hasilnya, dari 539 persetujuan bersama (PB) untuk pesangon, hanya 27 persen saja yang sesuai ketentuan. Sebanyak 73 persen terjadi tidak sesuai ketentuan.
Dalam perkembangan terakhir, panitia kerja sepakat bahwa pesangon 32 kali ini dihapus. Sebagai gantinya akan ada sistem campuran, 23 akan ditanggung perusahaan dan 9 ditanggung pemerintah "Dalam bentuk jaminan kehilangan pekerjaan," kata Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi selepas rapat panitia kerja pada 28 September 2020.
Tapi jauh sebelum pembahasan RUU Cipta Kerja ini, masalah pesangon juga pernah disoroti oleh ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Chatib Basri. Menurut Chatib, Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi asing langsung lebih menyasar Vietnam, dibandingkan Indonesia. "Vietnam itu, pesangonnya setengah kali Indonesia," kata dia, 23 Juli 2019.
2. Upah Minimum
Dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum dapat ditangguhkan. Sehingga, banyak pekerja atau buruh yang dapat menerima upah di bawah upah minimum. Peraturan upah minimum juga tidak dapat diterapkan pada usaha kecil dan mikro.
Kemudian, kenaikan formula upah minimum menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Selanjutnya, kesenjangan upah minimum karena di beberapa kabupaten atau kota, tingkat upah minimum sudah sangat tinggi.
Dalam RUU Cipta Kerja, upah minimum tidak dapat ditangguhkan. Kenaikan upah minimum menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas.
Selanjutnya, basis upah pada tingkat provinsi alias Upah Minimum Provinsi (UMP) dan dapat ditetapkan pada kabupaten atau kota, dengan syarat tertentu. Artinya, tetap ada peluang munculnya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Sementara untuk UMKM, akan ada upah tersendiri.
Kondisi ini yang disoroti oleh Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) yang menyoroti poin penghapusan UMK seperti yang tertuang dalam Pasal 88C ayat 1 dan ayat 2 di RUU Cipta Kerja.
Isinya yaitu gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Upah minimum yang dimaksud adalah UMP. Menurut IDEAS, penghapusan ini berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan. Sebab, sebagian upah buruh telah berada diatas UMK.
“Berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan 12,4 juta pekerja di Jawa," kata peneliti IDEAS Askar Muhammad dalam paparan hasil riset secara virtual pada Rabu, 30 September 2020. Riset dilakukan untuk Pulau Jawa karena memiliki data upah yang lebih lengkap.
Askar mengatakan di tahun 2019, upah dari 12,4 juta buruh ini telah berada diatas UMK. Tak hanya itu, Askar menyebut penghapusan UMK ini akan menekan tingkat upah 39,4 juta pekerja Jawa secara keseluruhan. "Khususnya pekerja tidak tetap dengan sistem pengupahan mingguan, harian, borongan dan per satuan hasil,” kata Askar.
3. Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Dalam UU Ketenagakerjaan, ini belum diatur sema sekali. Padahal, jaminan ini dinilai perlu pada saat pandemi Covid-19 ini.
Dalam RUU Cipta Kerja, ada perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK. Ada tiga manfaat yaitu Cash Benefit, Vocational Training, dan Job Placement Access.
Elen mengatakan pekerja yang mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan ini, akan tetap mendapatkan lima jaminan sosial lainnya di BP Jamsostek, maupun BPJS Kesehatan. Rinciannya yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kematian (JT), dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Untuk usulan Jaminan Kehilangan Pekerjaan ini sebelumnya sudah disoroti oleh peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Muhammad Hanri. Ia mengatakan program ini sebenarnya sudah banyak berjalan di negara lain, yang dikenal sebagai Unemployment Insurance.
"Ini juga sudah banyak diteliti," kata Hanri dalam webinar di Jakarta, Jumat, 11 September 2020.
Dalam bebagai penelitian, Hanri menyebut Unemployment Insurance ini punya dampak positif dan negatif pada kedua indikator, produktivitas tenaga kerja dan kemiskinan.
Pertama, program ini bisa memberikan waktu tunggu bagi para pekerja yang kena PHK untuk mencari pekerjaan baru. Ketika sudah mendapatkan pekerjaan yang cocok, maka produktivitasnya akan naik.
Tapi di sisi lain, program ini akan menimbulkan moral hazard bagi para pekerja yang masih bekerja. Lantaran, ketika kena PHK, mereka tetap dijamin pemerintah. Walhasil, produktivitas mereka bekerja pun menurun.
Kedua, program ini bisa menurunkan angka kemiskinan karena bisa mempercepat penyerapan tenaga kerja yang sudah kena PHK. Tapi dalam beberapa studi, program ini justru membuat kemiskinan meningkat seperti di Eropa Timur. Sebab, para korban PHK yang sedang menunggu bekerja lagi, tidak bia menyesuaikan pengeluaran mereka sehingga jatuh ke garis kemiskinan.
Hanri kemudian menjelaskan praktik pelaksanaan Unemployment Insurance di negara lain. Pertama adalah Amerika Serikat. Beda dengan Indonesia, Amerika tidak mengatur besaran pesangon untuk pekerja.
Tapi, mereka punya aplikasi Unemployment Insurance. Para korban PHK tinggal memasukkan data di dalamnya seperti penghasilan selama 52 minggu terakhir. Di masa Covid-19 ini, mereka pun bakal dapat tunjangan US$ 600 per minggu.
Kedua di Malaysia, yang dimulai pada 1 Januari 2018 dan dikelola oleh Pertubuhan Keselamatan Sosial atau SOCSO. Di sana, korban PHK bisa mendapatkan tunjangan selama 6 bulan dengan besaran 80 persen dari gaji terakhir. Semakin lama, besarannya akan berkurang, agar korban PHK ini bisa segera mencari pekerjaan baru.
4. Pekerja Kontrak
Dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja kontrak yang berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) belum diberikan perlindungan yang sama, seperti halnya pekerja tetap.
Selain itu, Dalam Pasal 59 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan, status PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Dalam RUU Cipta Kerja, pekerja kontrak akan diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap. Antara lain dalam hal upah hingga jaminan sosial. Pengaturan ini terjadi karena revolusi industri 4.0 membuat lahirnya pekerja baru yang bersifat kontrak.
Adapun di RUU Cipta Kerja, Pasal 59 INI dihapus. Ini yang juga disoroti oleh peneliti IDEAS Askar Muhammad. "Berpotensi menghasilkan PKWT yang tanpa batas, kontrak terus," kata dia.
Menurut Askar, ini akan menjadi masalah karena menghilangkan kepastian kerja. Ia mengutip data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2019, di mana ada sekitar 7,8 juta pekerja yang berhenti bekerja.
Ternyata, sebagian besar mereka berhenti bekerja karena masa kontraknya sudah habis, yaitu mencapai 2,2 juta orang. Lalu yang berhenti karena pendapatan kurang sebesar 1,5 juta.
Selanjutnya yang berhenti karena pekerjaan tidak cocok sebesar 1,1 juta. Kemudian yang mengurus rumah tangga sebesar 700 ribu. Terakhir yang berhenti karena PHK sebesar 500 ribu orang.
5. Waktu Kerja
Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja ditetapkan secara rigid yaitu 7 jam per hari dan 40 jam per minggu (untuk 6 hari kerja). Lalu, 8 jam per hari dan 40 jam per minggu (untuk 5 hari kerja).
Dalam RUU Cipta Kerja, aturan 5 dan 6 jam ini dihapus. Hanya ada ketentuan waktu kerja paling lama 8 jam per hari dan 40 jam per minggu
Ini terjadi karena ada pekerjaan khusus yang waktunya dapat kurang dari 8 jam, seperti pekerja paruh waktu dan pekerja digital. Maupun sebaliknya, pekerjaan di atas 8 jam seperti minyak dan gas, pertambangan, perkebunan, pertanian, dan perikanan.
6. Tenaga Kerja Asing
Dalam UU Ketenagakerjaan, Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) wajib bagi semua TKA. Kondisi ini dinilai menghambat masuknya TKA ahli yang diperlukan dalam keadaan mendesak (darurat). Sehingga, ini menghambat masuknya calon investor.
Dalam RUU Cipta Kerja, ada kemudahan RPTKA untuk TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu. Contohnya untuk maintenance (darurat), vokasi, peneliti, hingga investor.
7. Outsourcing
Dalam UU Ketenagakerjaan, tenaga outsourcing hanya dibatasi untuk jenis kegiatan tertentu. Selain itu, belum ada penegasan atas kesamaan jaminan hak dan perlindungan bagi pekerja di kelompok ini.
Dalam RUU Cipta Kerja, Elen menyebut tenaga outsourcing sebenarnya merupakan bentuk hubungan Busi.

0 comments