Yoo Ayo Yoo Anak-anak Palu Kembali Sekolah

IVOOX.id, Palu - Yang terdampak (gempa, tsunami, likuifaksi) tetap harus menatap ke depan, membangun kembali baik fisik maupun mental," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat berada di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Sulawesi Tengah, akhir pekan lalu.
Peserta didik harus dibangkitkan untuk kembali belajar. "Karena mereka tumpuan membangun Palu di masa depan," lanjutnya berupaya memberi semangat pada Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan, LPMP hingga para kepala sekolah yang hadir di sana.
Sesuai dengan permintaan Presiden Joko Widodo, saat ini adalah bagaimana caranya agar anak-anak memulai lagi proses belajar, karena jika terlalu lama siswa akan kesulitan kembali belajar, lanjutnya. "Apapun kondisinya, kita mulai," ujar Muhadjir sekali lagi memberikan semangat.
Tentu memulihkan mental masing-masing Aparatur Sipil Negeri (ASN) di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Tengah menjadi penting. Selanjutnya, Muhadjir meminta mereka juga membantu menguatkan mental para guru agar bisa mengajak peserta didik secepatnya kembali belajar.
Ia meminta dinas terkait segera mendata siswa, mencari tahu posisinya di mana dan mencatat apa saja kebutuhan darurat yang sangat diperlukan agar bisa segera menjalankan proses belajar dan mengajar.
Kelas serba darurat Untuk masa awal pemulihan, menurut Muhadjir, nanti akan ada kelas-kelas darurat yang sebenarnya menjadi kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Namun untuk berjaga-jaga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) akan mengirimkan terpal.
Seperti beberapa tenda yang juga sudah didirikan di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), maka satu tenda bisa digunakan setidaknya untuk enam kelas. Tenda seharga Rp30 juta tersebut, lanjutnya, bisa bertahan digunakan selama satu tahun, sebelum akhirnya dibangun sekolah darurat yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
"Tapi 'kan Kementerian PUPR pekerjaannya juga banyak. Untuk jaga-jaga lagi, sekolah darurat kita juga bisa dirikan, tapi ini harus ada bantuan dari bapak dan ibu guru juga untuk mendirikannya," ujar Muhadjir.
Ia juga meminta agar kepala sekolah bisa menggiatkan kerja bakti untuk membangun tenda sebagai kelas darurat. Namun, dirinya meminta tidak perlu ada paksaan, jika memang ada guru yang belum mau melakukannya karena masih terguncang.
Dalam dua tahun, baru akan dibangun sekolah-sekolah permanen baru. Pembangunannya nanti akan mengikuti sistem zonasi, lanjutnya.
Untuk sementara, ia menegaskan tidak perlu ada pembeda jenjang pendidikan di dalam kelas darurat, karena yang terpenting semua murid mau kembali belajar. "Syukur-syukur kalau bisa sekalian sarapan pagi bersama atau makan siang bersama,".
Tidak perlu membicarakan pelajaran di kelas darurat, yang terpenting mereka datang dan mulai bisa menghilangkan trauma dari bencana yang baru saja menimpanya, ujar dia.
Sudah beraktivitas Ditemui di tenda kelas darurat di Petobo, Palu, Sabtu (6/10), Syakira, yang merupakan murid PAUD dan Shifa yang merupakan murid Sekolah Luar Biasa (SLB) Palu, sama-sama sedang asyik menggambar dan tampak begitu antusias.
Meski belum sampai 20 anak yang hadir mengikuti penyembuhan trauma di kelas darurat tersebut, namun KepaLA SD Inpres Petobo Andriani (41) meyakini anak-anak yang bergabung akan bertambah nantinya.
Tenda darurat berwarna putih milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ini, menurut dia, sudah didirikan tiga hari pascagempa dan tsunami terjadi di Palu, Sigi dan Donggala.
Ada dua petugas konselor dari Kemdikbud hadir di sana, membawa alat-alat menggambar untuk anak-anak. Ada papan-papan menggambar, ada buku gambar, ada pensil warna.
Sementara guru SDN 7 Palu Hariani (49), yang ditemui di pengungsian Dusun Ranoropa, Desa Loru, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng), mengaku belum pernah kembali lagi melihat sekolahnya pascagempa besar 7,4 Skala Richter (SR) mengguncang Palu dan sekitarnya.
Meski demikian, menurut dia, bersama beberapa orang guru lain yang ada di pengungsian yang sama sudah sempat pula melakukan konseling, mengajak anak-anak menggambar dan bermain. “Kami di sini juga sudah mulai bermain, menggambar. Ada yang datang kemarin, bawa alat-alat menggambar, ada pensil warna, buku gambar, tapi tidak tahu dari mana. Tapi yang jelas anak-anak sudah bermain,” lanjut Hariani yang rumahnya ikut hilang terbenam lumpur hitam di Petobo.
Hariani bersama warga Petobo yang selamat mengungsi ke atas, ke Dusun Ranoropa di Kabupaten Sigi, yang datarannya lebih tinggi dari Kota Palu. Puluhan warga ada di sana, mendirikan tenda seadanya dari terpal di bawah pohon-pohon kakao atau coklat.
Beruntung lokasi pengungsian mereka dekat dengan aliran irigasi yang airnya melimpah dan jernih. Anak-anak pun seakan lupa dengan peristiwa kelam Jumat (28/9), yang meluluhlantakkan Palu, Sigi dan Donggala.
Maka berbekal surat instruksi tersebut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tengah Irwan Lahace meminta seluruh ASN di jajarannya untuk mulai aktif bekerja pada Senin (8/10), sekalipun nantinya kegiatan hanya akan dilaksanakan di halaman saja.
Permintaan ini sekaligus ditujukan pada para guru yang ada di Palu, Sigi dan Donggala, agar mereka dapat segera kembali mengajar.
Guru SMKN 4 Palu Patrini Hadjli (43) yang juga berada di pengungsian di Dusun Ranoropa, Desa Loru, mengatakan dirinya siap saja untuk kembali mengajar, meski nantinya hanya dimulai dari kelas-kelas darurat di bawah tenda.
Namun hingga saat ini ia mengaku belum mendapatkan informasi dari pihak sekolah maupun dinas terkait kapan aktivitas belajar-mengajar di Kota Palu akan kembali mulai berjalan.
"Saya belum dapat informasi apa-apa, karena telepon genggam saya juga terjatuh waktu menyelamatkan diri dari lumpur. Hanya memang saya tahu kepala sekolah sempat bertanya pada kakak saya apakah saya selamat dari bencana, itu saja, tapi tidak memberi informasi kapan aktivitas sekolah berjalan lagi. Sekarang saya tidak bisa menghubungi dia, dia pun sebaliknya," katanya.
Hingga hari ke-10 pascabencana Patrini mengaku belum sekalipun keluar dari pengungsian dan melihat kondisi sekolah tempatnya mengajar. "Saya ingin sekali liat sekolah, tapi jaraknya cukup jauh dari pengungsian, sementara motor sudah tidak ada (tertimbun lumpur di Petobo)," ujar dia.
Kendala-kendala dari para guru tentu beragam untuk kembali mengajar, selain juga rasa trauma tentunya. Dengan hanya pakaian yang melekat di tubuh tentu akan juga sulit bagi guru-guru lain untuk bisa hadir memulai proses belajar dan mengajar.
Namun demikian, semua harus sepakat dulu untuk memulai lagi dari titik nol. Apapun kondisinya semua perlu sepakat untuk berjuang bersama membangun kembali apa yang sempat berdiri.

0 comments