Wujudkan Pendidikan Anak Usia Dini Berkualitas di Era Pasca Pandemi | IVoox Indonesia

April 30, 2025

Wujudkan Pendidikan Anak Usia Dini Berkualitas di Era Pasca Pandemi

IMG-20220514-WA0030
Webinar Nasional 'Dampak Pandemi Covid-19 pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesiapan Menghadapi Pembelajaran di Masa Endemi', Kamis (12/5). (Foto: Ist)

IVOOX.id, Jakarta - Pandemi Covid-19 yang terjadi hampir lebih dari 2 tahun telah berdampak pada berbagai sektor kehidupan, termasuk pendidikan. Mulai dari pendidikan tinggi hingga pendidikan anak usia dini (PAUD) terhambat akibat pandemi.

Head of ECED Tanoto Fondation Eddy Henry mengatakan bahwa pandemi mempengaruhi layanan pendidikan dan pengasuhan anak usia dini. Sekolah atau layanan PAUD terpaksa ditutup untuk memberikan layanan tatap muka dan menyesuaikan secara digital yang tentu saja adaptasinya sangat sulit. 

Berdasarkan survei ECDI (Early Child Development Index) yang dilakukan BPS dan UNICEF dengan dukungan Tanoto Foundation di 2020 menunjukan bahwa perkembangan anak memang masih di bawah optimal. 

Tercatat perkembangan anak usia 36-59 bulan di aspek literasi-numerasi hanya pada angka 64,6% dan kemampuan sosial emosional di 69,9%. Sementara untuk kemampuan fisik di angka 97,8% dan kemampuan belajar 95,2%.

"Kita tahu dalam beberapa hal perkembangan anak ini hanya bisa dilakukan di rumah saja dan sangat terhambat pada saat pandemi karena mereka tidak bisa berinteraksi dengan anak-anak sebaya mereka. Dan ini sangat berkontribusi sekali pada perkembangan sosial emosional," ujarnya dalam Webinar Nasional 'Dampak Pandemi Covid-19 pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesiapan Menghadapi Pembelajaran di Masa Endemi', Kamis (12/5).

Menurut Eddy pendidikan dan pengasuhan anak usia dini harus segera pulih dan bahkan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sebab, masalah tersebut sudah menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas pemerintah. Sehingga bersama-sama bisa mewujudkan PAUD yang berkualitas di era pasca pandemi atau endemi ini.

Dijelaskannya, ada beberapa kegiatan atau program penting yang dilakukan Tanoto Foundation sebagai filantropi di sektor pendidikan berdasarkan kelompok usia anak usia dini. 

Dalam upaya mengatasi learning loss di PAUD, Tanoto Foundation memberi layanan pengasuhan dan stimulasi anak usia 0-3 tahun lewat Rumah Anak SIGAP dengan layanan dibatasi untuk konsultasi individu (1-on-1) dan kunjungan ke rumah. Kemudian dukungan untuk Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) dan Program Paket Anak SIGAP.

Untuk sekolah PAUD bagi anak-anak usia 4-6 tahun diberikan dukungan untuk PTMT, Program Paket Anak SIGAP untuk mendukung pembelajaran dan stimulasi perkembangan di rumah, Buku Cerita Anak SIGAP, dan diseminasi Kurikulum Merdeka Belajar. 

“Ada 22 pusat layanan Rumah Anak SIGAP untuk layanan pengasuhan, yakni 4 di DKI Jakarta, 9 di Kutai Kartanegara dan 9 di Pandegelang, Tahun ini kami juga mulai mendampingi 22 Sekolah Anak SIGAP yang berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK) di wilayah yang sama dengan Rumah Anak SIGAP" imbuhnya.

Semua kegiatan tersebut merupakan bagian dari kolaborasi bersama pemerintah daerah dengan mengembangkan posyandu atau sekolah PAUD sebagai pusat layanan yang holistik dan integratif. 

Setiap desa/kelurahan memiliki satu Rumah Anak SIGAP yang didukung tim dari Tanoto Foundation sebagai koordinator dan fasilitator.

Ketua Umum Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI) Prof. Netti Herawati menegaskan pentingnya dukungan terhadap PAUD sebagai lembaga pendidikan dan pengasuhan anak-anak Indonesia. 

Layanan PAUD yang berkualitas akan menghasilkan generasi bangsa yang unggul, sedangkan disisi lain pendidik PAUD juga masih menghadapi beragam tantangan untuk meningkatkan kualitas kinerja mereka, misal terkait kompetensi teknis hingga dukungan finansial.

"Karena tantangannya cukup besar. Kita perlu bergerak dan menggerakkan bersama sehingga kemudian PAUD berkualitas bagi setiap anak Indonesia," cetusnya.

Diungkapkan Prof. Netti, saat ini ada dua fakta besar yang memprihatinkan. Pertama angka partisipasi kasar pendidikan (APK) anak usia dini hanya 35,59%. Isu lainnya adalah layanan pendidikan yang belum maksimal atau kualitasnya disebut sebagai school without learning (sekolah tanpa pembelajaran).

"Kita bisa lihat dari sini kalau PAUD berprestasi sebenarnya anak usia dini akan sehat, kemudian dia akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Sebenarnya kalau nanti PAUD berhasil, stunting kita akan lebih menurun lagi," kata dia.

Lantas, Prof. Netti menekankan pada peran guru atau tutor pendamping PAUD. Guru menurutnya adalah penentu, bukan sakadar pendukung atau alat. Sehingga dibutuhkan guru atau pendidik yang profesional dengan kualitas dan kompetensi mumpuni.

SDM guru atau pendidik adalah pondasi dasar dalam menentukan arah PAUD yang berkualitas. Fasilitas dan prasarana hanya sebatas pendukung bagi para guru dalam membimbing anak-anak usia dini.

"Guru berkualitas itu akan membuat di sekitarnya akan menjadi ruang belajar yang luar biasa. Seorang guru mau pandemi, tidak pandemi dia harus profesional dan kita diberi kesempatan oleh Tuhan untuk siap melakukan perubahan dengan setiap situasi," tegasnya.

Untuk itu, sebagai organisasi profesi pihaknya terus mendorong peningkatan kualitas pendidik PAUD. Perlu dilaksanakan pelatihan dan pendampingan kepada para guru sehingga semakin hari semakin profesional.

Prof. Netti juga menambahkan bahwa adanya dikotomi guru formal dan nonformal turut berpengaruh. Padahal banyak layanan PAUD nonformal dengan sekitar 30% gurunya belum mendapat pelatihan. 

"Penting bagi kita untuk tidak membiarkan guru-guru kita salah dalam memberi pendidikan," ucapnya.

Sementara itu, Dosen S3 PAUD Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Supena menyampaikan bahwa masalah lain yang perlu diperhatikan adalah layanan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). 

Sebelum pandemi, dukungan untuk ABK masih jauh dari cukup dan itu diperparah dengan hadirnya Covid-19. 

ABK se-Indonesia yang terdaftar di sekolah ada 253.847 anak. Mereka tersebar di dua satuan pendidikan, yakni SLB 57% dan 43% di Satuan Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI). 

"Berarti ini tantangan yang luar biasa bagi kita khususnya di PAUD bagaimana mensikapi dan memberikan satu perlakuan yang tepat kepada mereka," bebernya.

Di Indonesia, kata Asep, jumlah total TK mencapai 90.581. TK regular yang tidak menerima ABK sangat mendominasi hingga 87%, sementara yang menerima ABK kurang lebih 3.242. Kemudian Sekolah Luar Biasa (SLB) sendiri secara nasional ada 2219. 

Untuk anak usia dini yang termasuk ABK harus menjalankan asesmen terlebih dahulu. Sehingga bisa diketahui baik secara legal maupun formal termasuk ABK dan mendapat layanan pendidikan khusus. 

Adapun untuk pendidikan inklusif, tambah dia masih banyak persoalan yang harus dituntaskan. Mulai dari fasilitas, SDM guru hingga sikap warga sekolah sendiri masih menjadi PR bersama.

"Tantangan PAUD inklusif saat ini adalah SDM, prasarana dan alat, pemahaman dan sikap serta perilaku masyarakat serta kurikulum dam layanan pembelajaran yang belum kondusif, kemudian juga kebijakan lainnya," tandasnya.

0 comments

    Leave a Reply