Wamenkomdigi Tegaskan Revisi UU Penyiaran Junjung Prinsip Kebebasan Pers | IVoox Indonesia

June 21, 2025

Wamenkomdigi Tegaskan Revisi UU Penyiaran Junjung Prinsip Kebebasan Pers

Acara Forum Pemred (FP) Talks
Acara Forum Pemred (FP) Talks bertajuk "RUU Penyiaran: Peran Negara Menjamin Keadilan Ekosistem Media” pada Kamis (19/6/2025) di Antara Heritage Center, Jakarta, menghadirkan narasumber anggota Komisi I DPR Nurul Arifin, Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Utama Kementerian Hukum Onnie Rosleini, komisioner KPI Pusat I Made Sunarsa dan dosen UMN sekaligus pemerhati media Ignatius Haryanto. (ANTARA)

IVOOX.id – Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria menegaskan bahwa pemerintah tetap menjunjung tinggi prinsip kebebasan pers dan tidak ingin revisi undang-undang penyiaran justru mengekang redaksi.

"Revisi undang-undang penyiaran lagi dibahas di DPR, dan kita berharap pembahasannya juga bisa cepat, dan merangkum persoalan-persoalan yang sedang dialami oleh industri media sekarang ini," katanya dalam keterangan pers di Jakarta pada Jumat (20/6/2025), dikutip dari Antara.

Dalam Forum Pemred (FP) Talks bertajuk "RUU Penyiaran: Peran Negara Menjamin Keadilan Ekosistem Media" pada Kamis (19/6/2025) di Antara Heritage Center, Jakarta, Nezar mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen menjaga keberlanjutan industri media sekaligus memastikan regulasi yang ada tidak mengekang kebebasan jurnalistik.

Anggota Komisi I DPR Nurul Arifin dalam forum itu menyampaikan bahwa proses legislasi RUU Penyiaran masih terbuka terhadap berbagai masukan publik.

"Kami di DPR ingin mendengarkan semua pandangan, terutama dari komunitas pers dan media, agar regulasi ini bisa adil, akuntabel, dan tidak represif," kata Nurul, dikutip dari Antara.

Nurul juga menyoroti perbedaan definisi penyiaran konvensional dengan konten digital seperti konten dalam layanan over-the-top (OTT) seperti Netflix, YouTube, dan TikTok yang belum sepenuhnya diakomodasi dalam regulasi saat ini.

"Jadi kita ingin supaya ini cepat terealisasi undang-undangnya cepat selesai, dan masih ada PR oleh karena itu kami akan sesegera mungkin mengundang platform digital yang besar, seperti YouTube, Netflix, dan TikTok, supaya kita menemukan satu kesepakatan, dan ini bisa dimasukkan juga ke dalam rancangan undang-undang penyiaran," kata Nurul.

Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Utama Kementerian Hukum Onnie Rosleini mengatakan bahwa Kementerian Hukum juga menekankan pentingnya kejelasan definisi dalam RUU Penyiaran.

Menurut dia, batas antara penyiaran dan platform digital perlu dijelaskan agar tidak terjadi tumpang tindih regulasi dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Sementara itu, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat I Made Sunarsa menjelaskan bahwa lembaganya selama ini hanya punya kewenangan mengatur lembaga penyiaran konvensional.

"KPI tidak punya kewenangan mengatur konten digital seperti YouTube. Jadi perlu kehati-hatian dalam menentukan batas pengawasan," ujar Made, dikutip dari Antara.

Pemerhati media Ignatius Haryanto menyampaikan keprihatinan berkenaan dengan beberapa pasal dalam rancangan undang-undang tentang penyiaran yang berpotensi mengancam jurnalisme investigatif.

Ia menegaskan bahwa produk jurnalistik yang berlandaskan kode etik dan verifikasi tidak boleh dikriminalisasi.

Pembaruan regulasi penyiaran diharapkan adaptif, demokratis, dan berpihak pada kepentingan publik.

​​​​​​​Ketua Forum Pemred Retno Pinasti mengatakan bahwa FP Talks kali ini digelar untuk membahas solusi keberlanjutan industri media di Indonesia.

Retno mengatakan, saat ini hampir semua perusahaan media massa menghadapi tantangan dan salah satu penyebabnya adalah masalah kesetaraan regulasi media massa, media sosial, serta platform digital.

"Ada dua hal utama yang ingin Forum Pemred sampaikan dalam diskusi ini yang mungkin juga berkaitan dengan penyiaran. Pertama, dukungan dari pemerintah untuk media sangat penting," katanya, dikutip dari Antara.

"Industri media dan pers di Indonesia memerlukan dukungan yang setara dengan industri strategis lainnya. Kebijakan yang berpihak sangat diperlukan agar industri ini dapat bersaing, memiliki independensi, dan menjaga kualitas," ia menambahkan.

Yang kedua, ia melanjutkan, penting untuk membangun tujuan aturan bersama bagi industri media.

"Tujuan ini adalah untuk menciptakan keadilan dan equal playing field, serta menciptakan ruang publik yang beradab, beretika, dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia," katanya.

Dia berharap momentum revisi UU Penyiaran memberi kesempatan kepada berbagai pihak untuk duduk bersama dan menyelaraskan visi dan misi demi kemajuan industri media massa di Tanah Air.

Forum Pemred telah melakukan audiensi dengan Kementerian Hukum dan berdialog dengan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.

Dalam pertemuan tersebut, Forum Pemred menyampaikan beberapa usul agar bisa diakomodasi dalam rancangan UU Penyiaran yang tengah dibahas.

Forum Pemred antara lain menyampaikan bahwa media massa nasional memerlukan dukungan negara sebagaimana industri strategis lainnya.

Dukungan tersebut diusulkan diberikan kepada media massa yang memenuhi kepatuhan hukum, etik, dan standar konten.

Forum Pemred juga mengemukakan perlunya pengaturan subyek hukum pada platform media sosial seperti YouTube, TikTok, Instagram, Facebook, dan X.

Selain itu, Forum Pemred mengusulkan penyelarasan visi antara organisasi media massa, komunitas jurnalis, dan regulator.

Salah satunya berkenaan dengan regulasi perihal algoritma yang memengaruhi distribusi konten dan opini publik.

Forum Pemred juga menyampaikan bahwa awak media massa harus beradaptasi secara aktif terhadap perkembangan teknologi, termasuk AI.

Dalam usulan keempatnya, Forum Pemred mengemukakan bahwa platform digital juga wajib tunduk pada Undang-Undang tentang Pers dan Undang-Undang tentang Penyiaran untuk melindungi ruang publik digital dari konten ilegal menurut ketentuan undang-undang.

Konten ilegal yang dimaksud mencakup ujaran kebencian, SARA, kekerasan, pornografi, fitnah, dan pelanggaran hak cipta.

0 comments

    Leave a Reply