Wamen PPPA Ingatkan Media dan Publik Soal Dampak Pemberitaan Kasus Anak yang Terlalu Cepat Viral

IVOOX.id – Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA), Veronica Tan, menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menyebarkan informasi yang berkaitan dengan anak di tengah arus media digital yang bergerak sangat cepat. Ia menilai bahwa laju penyebaran konten sering kali jauh melampaui proses verifikasi, sehingga kasus-kasus yang melibatkan anak dapat viral hanya dalam hitungan menit.
“Pemberitaan sensasional dapat menimbulkan stigma, membuka identitas anak, memperburuk trauma, serta mengganggu proses pemulihan,” ujarnya dalam konferensi pers di kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (18/11/2025).
Veronica menjelaskan bahwa komunikasi publik menjadi faktor penting dalam mencegah munculnya bias, kepanikan, hingga normalisasi kekerasan di ruang digital. Menurutnya, isu yang menyangkut anak harus disampaikan dengan cermat, berbasis data, dan berlandaskan prinsip perlindungan anak. Ia mengingatkan bahwa anak adalah pembelajar sosial yang mudah meniru perilaku yang mereka lihat. Karena itu, konten berbau kekerasan tanpa penjelasan yang edukatif dapat membuat anak menganggap tindakan tersebut sebagai sesuatu yang wajar.
Salah satu persoalan yang disoroti Veronica adalah maraknya penyebaran identitas anak dalam kasus-kasus viral. Ia mencontohkan peredaran video penceramah Elham Yahya yang menciumi anak perempuan. Dalam video yang tersebar luas itu, wajah sang anak terlihat jelas dan tidak ditutup, sementara proses hukum terhadap pelaku dewasa tidak berjalan.
“Anak tetap ter-expose tanpa perlindungan, pelaku tidak tersentuh hukum, dan ini memberi pesan bahwa tindakan seperti itu bisa dilakukan tanpa konsekuensi,” kata Veronica.
Ia juga mengomentari kasus lain yang terjadi di SMA Negeri 72 Jakarta, yang sebelumnya ramai dibicarakan karena dugaan perundungan. Menurutnya, pengambilan keterangan terhadap siswa tanpa pendampingan orang dewasa menyalahi prinsip perlindungan anak dan dapat memperparah trauma yang dialami. Ia menilai bahwa fokus publik yang hanya melihat satu sudut pandang dapat membuat kekerasan tampak seperti pembenaran.
Dua contoh tersebut, kata Veronica, menunjukkan pola yang berulang ketika unggahan viral tidak dilengkapi perspektif perlindungan anak. Hal itu tidak hanya membahayakan kondisi psikologis anak yang terlibat, tetapi juga mengganggu ekosistem sosial yang lebih luas. Publik, terutama anak-anak, dapat meniru tindakan yang muncul di media, sedangkan orang dewasa bisa merasa tidak ada risiko saat melakukan pelanggaran serupa.
Untuk itu, Veronica mengajak adanya penguatan koordinasi lintas kementerian dan lembaga, termasuk Komdigi, Kemendikbudristek, kepolisian, KPAI, pemerintah daerah, hingga media massa. Ia menilai perlunya pedoman komunikasi publik yang ramah anak sebagai acuan bersama.
“Perlindungan anak di ruang publik tidak mungkin dilakukan satu lembaga. Ini kerja kolaboratif,” ujarnya.


0 comments