April 29, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

UU Perkawinan Dorong Pernikahan Anak

IVOOX.id, Jakarta - Salah satu tujuan pembuatan Undang-undang (UU) adalah agar masyarakatnya menerima manfaat dari aturan-aturan yang ditetapkan di dalam UU tersebut. Lantas bagaimana jika UU justru memberi ruang kemudaratan bagi masyarakat?

Hal ini pula yang dirasakan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise, menyoal UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di mana batas terendah usia perkawinan (16 tahun) justru mendorong perkawinan anak.

"Usia minimal 16 tahun bagi perempuan, tergolong masih usia anak atau belum dewasa," kata Yohana saat menjadi pembicara kunci pada Diskusi Media tentang "Perkawinan Anak" di Jakarta, Senin (6/8).

Oleh karenanya, Yohana mendorong agar batas terendah perkawinan pada UU Perkawinan perlu dinaikkan, terutama bagi perempuan, untuk mencegah perkawinan anak.

Undang-Undang Perkawinan mengatur perkawinan hanya diizinkan bila laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan mencapai usia 16 tahun, serta memenuhi syarat-syarat perkawinan.

"Karena itu, penyempurnaan Undang-Undang Perkawinan terkait usia perkawinan menjadi kebutuhan yang mendesak. Perlu ada intervensi dari pemerintah untuk menghentikan praktik-praktik perkawinan usia anak," tuturnya.

Yohana mengatakan perkawinan anak berbahaya dan merampas hak-hak anak yang seharusnya dijamin oleh negara.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan satu dari empat anak perempuan di Indonesia telah menikah pada umur kurang dari 18 tahun pada 2008 hingga 2015.

Tercatat 1.348.886 anak perempuan telah menikah di bawah usia 18 tahun pada 2012. Bahkan, setiap tahun sekitar 300.000 anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 16 tahun.

Dampak Buruk

Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola usai membuka dan mencanangkan kampanye gerakan masyarakat/germas dan forum anak daerah mengatakan nikah di bawah umur atau pernikahan dini lebih memberikan dampak buruk dalam kehidupan pasangan tersebut dalam berumah tangga.

Sulteng menempati urutan ketiga secara nasional kasus pernikahan dini. Data Susenas tahun 2015 menyebutkan rata-rata anak berusia 15-19 tahun berstatus kawin dan pernah kawin. Data BKKBN Sulteng tahun 2015 menyebutkan perkawinan anak mencapai 31,91%.

Presentase terbesar terdapat di Kabupaten Banggai Laut sebesar 15,83 persen, diikuti Kabupaten Banggai Kepulauan 15,73%, Kabupaten Sigi 13,77%.

Kemudian, Kabupaten Tojo Una-una 12,84%, dan Kota Palu 6,90%. Adapun data BPS tahun 2016 memperlihatkan, penyumbang tertinggi adalah Kabupaten Tojo Una-una sebesar 23 persen dan Parigi Montong sebesar 22%.

Gubernur menguraikan bahwa di Sulawesi Tengah terdapat sebahagian masyarakat 'orang tua' yang menganggap bahwa cepat menikahkan anak (dibawah umur) merupakan suatu rezeki alias dapat mengurangi tanggung jawab orang tua terhadap anak. Padahal, menikahkan anak dibawah umur sangat memberikan dampak yang buruk.

"Nah seperti ini perlu ada sosialisasi-sosialisasi kepada masyarakat sehingga terbentuk pemahaman bersama bahwa pernikahan dini itu dampaknya jauh lebih buruk, dari pada keuntungannya," ujar Longki Djanggola.

Pemprov Sulawesi Tengah, kata Longki Djanggola berupaya meminimalkan pernikahan dini, dan memberikan pemahaman agar masyarakat patuh terhadap himbauan-himbauan tentang bahaya pernikahan dini.

"Menikah-lah di usia yang sudah pantas dan wajar," himbau Gubernur Sulteng Longki Djanggola.

0 comments

    Leave a Reply