Ungkit Komitmen Pemerintah Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca, Walhi Desak Pembahasan Segera RUU Keadilan Iklim di 2025 | IVoox Indonesia

April 30, 2025

Ungkit Komitmen Pemerintah Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca, Walhi Desak Pembahasan Segera RUU Keadilan Iklim di 2025

Deputi Eksternal Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Mukri Friatna
Deputi Eksternal Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Mukri Friatna Dalam acara peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup Walhi 2025, Kamis (16/1/2025). IVOOX.ID/Fahrurrazi Assyar

IVOOX.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menegaskan perlunya pembahasan segera Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2025. Menurut Direktur Eksternal Eksekutif Nasional Walhi, Mukri Friatna, RUU ini menjadi langkah penting untuk memastikan komitmen Indonesia terhadap konvensi internasional penurunan emisi gas rumah kaca dapat direalisasikan.  

"Kami berharap DPR dapat bersikap seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang telah menyatakan dukungannya terhadap usulan ini. Jangan sampai RUU ini hanya dicantumkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tanpa ada tindak lanjut," ujar Mukri dalam peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup Walhi 2025 di Jakarta, Kamis (16/1/2025). 

Mukri mengungkapkan bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan usulan terkait perlindungan masyarakat adat dan lingkungan sering kali hanya menjadi catatan dalam Prolegnas tanpa pembahasan lebih lanjut. "Sebagai contoh, usulan untuk perlindungan masyarakat adat sudah masuk dalam Prolegnas, tetapi tidak pernah dibahas. Kami ingin hal ini menjadi prioritas," ujarnya. 

RUU untuk Kepentingan Lingkungan dan Keadilan Sosial 

RUU Keadilan Iklim tidak hanya ditujukan untuk melindungi lingkungan, tetapi juga mendorong pemerintah agar bertanggung jawab atas komitmen internasional yang telah mereka tanda tangani. Mukri menegaskan pentingnya memperhatikan Undang-Undang Konservasi yang tidak hanya menjaga hutan, tetapi juga melindungi masyarakat yang hidup bergantung pada sumber daya alam tersebut. 

"Kita tidak ingin tindakan yang merugikan masyarakat, seperti yang terjadi pada suku Togutil di Maluku atau suku Anak Dalam di Jambi, terus terulang. Pemerintah harus menghindari klausul undang-undang yang mengkriminalisasi masyarakat adat, sementara korporasi diberi kemudahan," katanya. 

Mukri juga menyoroti dampak besar kegiatan pertambangan yang dinilainya jauh lebih merusak dibandingkan proyek food estate. Ia menjelaskan bahwa meskipun food estate dapat menyebabkan deforestasi, ekosistem hutan masih bisa dipulihkan dengan reboisasi. Sebaliknya, kegiatan pertambangan menyebabkan kerusakan permanen, termasuk pencemaran tanah dan air. 

"Perusahaan tambang sering kali tidak diwajibkan melakukan reklamasi setelah selesai beroperasi. Ini sangat berbahaya karena meninggalkan lingkungan dalam kondisi rusak parah," ujarnya. 

Mukri mengkritik regulasi di sektor pertambangan yang memberikan keleluasaan bagi perusahaan tanpa kewajiban reklamasi. "Saat ini, banyak tambang ditinggalkan begitu saja dalam kondisi yang membahayakan lingkungan, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan pencemaran sumber air," katanya. 

Walhi berharap pembahasan RUU Keadilan Iklim dapat menjadi prioritas pada 2025. Menurut Mukri, ini adalah langkah penting untuk mengintegrasikan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat ke dalam kebijakan nasional. 

"Kita membutuhkan langkah konkret untuk memastikan keadilan iklim, termasuk tanggung jawab pemerintah dan korporasi dalam melestarikan lingkungan bagi generasi mendatang," ujarnya.

0 comments

    Leave a Reply