December 19, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Trump Ingin Batalkan Perjanjian Nuklir Berusia 31 Tahun. Apa yang Akan Terjadi?

IVOOX.id, Jakarta - Presiden Donald Trump pada hari Sabtu (20/10) mengumumkan bahwa Amerika Serikat (AS) bermaksud untuk menarik diri dari perjanjian senjata nuklir dengan Rusia yang telah berumur 31 tahun, menyebabkan rezim pengendalian senjata yang membantu menjaga perdamaian sejak Perang Dingin terpukul.

“Kami akan mengakhiri perjanjian itu dan kami akan menarik diri,” kata Trump kepada wartawan setelah rapat umum di Elko, Nevada, tanpa menunjukkan langkah selanjutnya.

Perjanjian Intermediate-Range Nuclear Forces (INF), yang pertama kali ditandatangani oleh Presiden Ronald Reagan dan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev pada bulan Desember 1987, adalah perjanjian kontrol senjata nuklir pertama dan satu-satunya yang pernah menghapuskan seluruh kelas senjata nuklir. Perjanjian itu memaksa negara-negara adidaya tersebut untuk membongkar lebih dari 2.600 rudal dengan kisaran 310 hingga 3.420 mil—senjata-senjata yang dianggap mendestabilisasi benua Eropa karena kemampuan mereka untuk meluncurkan serangan nuklir dari mana saja tanpa peringatan dini.

Intelijen AS pertama kali mengakui potensi pelanggaran Rusia terhadap perjanjian ini beberapa tahun lalu ketika rudal Novator 9M729 masih dalam tahap uji coba. Pemerintahan Obama tidak berhasil membujuk Kremlin untuk menghentikan program itu melalui pembicaraan diplomatik.

Pemerintahan Trump, sebaliknya, langsung mengkonfrontasi pelanggaran itu dengan mendanai pengembangan rudalnya sendiri. Penelitian ini diizinkan di bawah INF, dan hanya melanggar kesepakatan jika rudal itu diuji atau dikerahkan. Secara agresif menanggapi pelanggaran perjanjian itu, meluncurkan program senjata nuklir baru dan mengingatkan dunia tentang kekuatan senjata nuklir AS adalah cara Trump menghalangi orang lain untuk memperluas, atau mencari, persenjataan nuklir.

“Rusia telah melanggar perjanjian itu,” kata Trump. “Mereka telah melanggar itu selama bertahun-tahun. Dan saya tidak tahu mengapa Presiden Obama tidak bernegosiasi atau mundur dari perjanjian. Dan kami tidak akan membiarkan mereka melanggar perjanjian nuklir dan menguji senjata, padahal kami tidak diizinkan untuk melakukan itu.”

Rusia telah berulang kali membantah pernah melanggar INF. Kremlin, sebaliknya, menegaskan bahwa AS adalah salah satu yang menyimpang dari kesepakatan, mengatakan beberapa pencegat pada sistem pertahanan rudal Amerika memiliki kemampuan ofensif. AS telah menepis tuduhan Rusia itu palsu.

Terlepas dari itu, Penasihat Keamanan Nasional John Bolton akan memberikan keputusan presiden untuk keluar dari INF dan menuju ke Moskow pada hari Minggu (28/10) selama kunjungan pertama dari perjalanannya yang akan datang ke Rusia, Azerbaijan, Armenia dan Georgia. Bolton tidak akan berkomentar, tetapi seorang pejabat senior Pemerintahan mengatakan: “Amerika Serikat dan sekutu kami telah berusaha untuk membawa Rusia kembali patuh dan terverifikasi INF kembali. Terlepas dari rasa keberatan kami, Rusia terus memproduksi dan menempatkan rudal jelajah yang dilarang dan telah mengabaikan permintaan untuk menunjukkan transparansi.”

Para ahli kontrol senjata mengkhawatirkan konsekuensi kedua dan ketiga dari pembatalan perjanjian nuklir itu. Jeffrey Lewis, seorang analis senjata nuklir dengan James Martin Center for Nonproliferation Studies di Monterey, California, mengatakan AS tidak akan mendapat manfaat apapun dengan membatalkan perjanjian itu. “Itu adalah sebuah kesalahan,” katanya. “Rusia melanggar perjanjian itu, tapi kita menanggung kesalahannya karena kita yang membatalkan perjanjian itu? Mengapa membantu Putin?”

Lewis yakin AS tidak akan mengerahkan rudal baru yang akan dilarang oleh INF, tetapi Rusia akan mengerahkannya. Dia mengatakan, Rusia akan meningkatkan penggelaran Novator 9M729 atau senjata-senjata penghancur traktat sebelumnya.

Risiko nyata akan ditanggung oleh sekutu Eropa, menurut Kingston Reif, direktur pelucutan senjata dan kebijakan pengurangan ancaman di Arms Control Association, sebuah lembaga ahli. “Ini menghilangkan semua kendala pada produksi dan pengerahan rudal ilegal Rusia, sehingga meningkatkan ancaman bagi sekutu kami dalam jangkauan rudal, menyebabkan Amerika Serikat bertanggung jawab atas matinya perjanjian itu, dan menciptakan sumber perpecahan di antara kami.”

Dasar dari penandatanganan INF tiga dekade yang lalu adalah karena sifat ketidakstabilan senjata itu. Rudal balistik, SS-20 Rusia dan Pershing II Amerika, dapat dikerahkan dengan peluncur dari daerah terpencil, diluncurkan untuk menyerang target mereka dalam waktu kurang dari enam menit. Jangka waktu yang singkat untuk para pemimpin dunia berlindung—apalagi menyusun strategi tentang respons yang tepat.

Fakta-fakta itu tidak berubah. Orang Eropa tidak mungkin menginginkan senjata seperti itu di benua mereka. Sebagai tanda keprihatinan itu, Pakta Pertahanan Atlantik Utara mengeluarkan pernyataan awal tahun ini yang menggembar-gemborkan perjanjian INF “sangat penting bagi keamanan Eropa-Atlantik” dan mengurangi risiko konflik.

“Saya tidak berpikir AS akan mencoba untuk meminta siapa pun untuk menyebarkan sistem INF di darat,” kata Pavel Podvig, direktur Proyek Pasukan Nuklir Rusia. “Rusia akan mengatakan bahwa niat AS dari awal adalah untuk keluar dari perjanjian dan inilah mengapa mereka menuduh Rusia tidak patuh… Jadi, tidak ada manfaat dari membatalkan perjanjian ini.”

Jon B. Wolfsthal, seorang ahli senjata nuklir yang bekerja di Dewan Keamanan Nasional selama Pemerintahan Obama, mengatakan penarikan dari INF dapat “merusak stabilitas nuklir” dan kemungkinan akan memiliki efek mengerikan pada setiap kemungkinan kesepakatan senjata nuklir antara AS dan Rusia di masa depan.

Selama Perang Dingin, serangkaian perjanjian antara AS dan Uni Soviet dirancang untuk menghindari salah perhitungan dan menjaga saluran komunikasi tetap terbuka—meskipun AS dan Rusia telah disumpah sebagai musuh. Sejumlah perjanjian itu telah usang dalam beberapa tahun terakhir, tetapi terakhir kali AS secara sepihak menarik diri dari perjanjian kontrol senjata nuklir adalah pada tahun 2002 ketika AS meninggalkan Perjanjian Anti-Balistik Rudal dan melanjutkan ekspansi pertahanan rudal balistik.

Efek dari keputusan itu mudah terlihat pada bulan Maret ketika Presiden Rusia Vladimir Putin meluncurkan senjata nuklir generasi berikutnya, yang direkayasa untuk menyelinap di belakang jaringan besar sistem peringatan dini dan pertahanan Amerika. Dalam pidato yang disiarkan secara nasional ke Majelis Federal Rusia, Putin secara khusus menyatakan bahwa persenjataan baru itu berfungsi sebagai tanggapan terhadap keputusan pemerintah AS untuk meninggalkan Perjanjian Anti-Balistik Rudal.

Namun, potensi dampak dari meninggalkan INF telah melampaui Eropa. Trump mengatakan China juga harus setuju untuk tidak mengembangkan rudal. Ini adalah kabar baru, mengingat Cina saat ini tidak berpartisi dengan INF. “Kita harus mengembangkan senjata-senjata itu—kecuali Rusia datang kepada kita, dan China mendatangi kita, dan mereka semua datang kepada kita dan mereka berkata, ‘Mari kita bertindak dengan pintar dan jangan sampai kita mengembangkan senjata-senjata itu.’ Tetapi jika Rusia melakukannya dan jika China melakukannya, sedangkan kita tetap mematuhi perjanjian, itu tidak dapat diterima.”

Jika AS memutuskan untuk meluncurkan serangan nuklir ke China, ia memiliki berbagai cara untuk melakukannya. Selain itu, INF tidak melarang sekutu yang gigih, seperti Jepang atau Korea Selatan, dari membangun rudal-rudal darat dengan jangkauan INF-penghancur.

Laksamana Angkatan Laut Harry Harris, komandan Komando Pasifik AS, mengatakan kepada Komite Angkatan Bersenjata Senat pada bulan Maret bahwa China mendapat manfaat karena kepatuhan Amerika Serikat terhadap INF. “Kami berada dalam posisi yang kurang menguntungkan berkaitan dengan China saat ini dalam arti bahwa China memiliki rudal balistik berbasis darat yang mengancam basis kami di Pasifik barat dan kapal-kapal kami,” katanya.

Harris, yang sejak pensiun dan sekarang menjabat sebagai duta besar Amerika untuk Korea Selatan, menyarankan AS harus mulai mengeksplorasi cara-cara untuk mengurangi ancaman: “Kita bisa melakukan apa pun dari satu tindakan ekstrim—untuk menarik diri—ke tindakan ekstrim lain—untuk tidak melakukan apa pun—dan saya pikir kita harus mencari cara untuk memaksimalkan fleksibilitas operasional kami.”

0 comments

    Leave a Reply