Thailand Prihatin, Konsensus ASEAN Enggan Dilaksanakan Junta Militer Myanmar
IVOOX.id Bangkok - Thailand prihatin atas kekerasan yang terjadi di banyak wilayah Myanmar dan menuntut implementasi langkah-langkah yang telah disepakati oleh para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk membantu mengakhiri kekacauan yang dipicu kudeta militer pada 1 Februari lalu.
"Kami telah mengikuti perkembangan di Myanmar dengan sangat prihatin, terutama insiden kekerasan di banyak bagian negara itu," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Thailand Tanee Sangrat dalam sebuah pernyataan, Minggu.
Dia mengulangi seruan kepada Myanmar untuk mengakhiri kekerasan, membebaskan semua tahanan, serta "implementasi konkret dari Konsensus Lima Poin" yang telah disepakati oleh ASEAN sesegera mungkin.
Di lain pihak, junta Myanmar telah menunjukkan keengganan untuk memperhatikan lima poin konsensus yang disepakati para pemimpin ASEAN pada April. Konsensus itu, antara lain, juga mencakup desakan untuk pembicaraan politik serta penunjukan utusan khusus ASEAN untuk membantu menyelesaikan krisis Myanmar.
Junta telah gagal menerapkan kontrol sejak merebut kekuasaan dari pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, yang termasuk di antara lebih dari 4.500 orang yang ditahan sejak kudeta. Sedikitnya 847 orang tewas dalam unjuk rasa anti kudeta, kata sebuah kelompok hak asasi manusia, tetapi tentara membantah angka itu.
Sementara itu, protes harian terhadap militer telah berkembang di beberapa bagian Myanmar menjadi pemberontakan bersenjata dan konflik etnis yang telah berlangsung selama satu dekade kembali berkobar.
Para penentang junta telah menyuarakan rasa frustrasi atas kurangnya tindakan keras oleh ASEAN dan mengatakan pertemuan dua perwakilan kelompok itu dengan pemimpin junta Min Aung Hlaing justru memberinya legitimasi yang lebih besar, tetapi tidak mendatangkan manfaat untuk memperbaiki situasi di Myanmar.
Thailand berbagi perbatasan yang lebih panjang dengan Myanmar daripada negara lain, dan khawatir konflik tersebut dapat menyebabkan banjir pengungsi. Pemerintahannya sendiri dipimpin oleh seorang mantan panglima militer yang merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta sebelum mengadakan pemilihan.
"Banyak dari apa yang telah dilakukan Thailand mungkin tidak dipublikasikan karena kami percaya bahwa diplomasi yang tenang dan rahasia antara tetangga akan lebih efektif dan sejalan dengan diplomasi tradisional Thailand," kata Tanee.(Reuters)
0 comments