TB Hasanuddin Ungkap Asal Mula Larangan Jurnalistik Investigasi di RUU Penyiaran

IVOOX.id - Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, mengungkapkan latar belakang munculnya beleid tentang Standar Isi Siaran (SIS) dalam draf RUU Penyiaran baru-baru ini. Tak hanya soal tadi, muncul juga kontroversi soal larangan siaran jurnalistik investigasi yang termuat dalam Pasal 50(B) ayat 2 poin C.
Hasanuddin menjelaskan bahwa pasal tersebut diusulkan agar penyiaran jurnalistik investigasi dapat dikontrol oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"Alasannya karena kalau investigasi jurnalistik itu, misalnya ada yang beririsan dengan materi penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, maka sebaiknya itu ada sedikit penyeimbang. Lalu, bagaimana materinya? Ya diatur dalam aturan KPI," ujar TB Hasanuddin dalam keterangan resmi yang diterima Ivoox.id, Rabu (15/5/2024).
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan yang akrab disapa Kang TB ini menyatakan bahwa produk penyiaran memang berada di bawah kendali KPI, sedangkan produk jurnalistik umum seperti tulisan dikoordinasikan dengan Dewan Pers.
"Kalau KPI itu khusus untuk penyiaran, tapi kalau produk jurnalis yang umumnya, tulisan dan lain sebagainya, itu ke Dewan Pers. Saya kira ya dikoordinasikan saja arah tugas KPI dengan tugas Dewan Pers," jelasnya.
Meski memahami alasan di balik usulan tersebut, Hasanuddin sendiri tidak sepakat dengan adanya pembatasan jurnalistik investigasi sebagaimana diatur dalam Pasal 50 B ayat 2 huruf (c). Ia percaya bahwa masyarakat seharusnya memiliki kendali untuk menilai hasil jurnalistik tanpa perlu ada pembatasan.
"Ya kita akan tampung semua (masukan) dan kemudian kita akan selesaikan nanti di dalam pembahasan antara Baleg dan komisi. Saya sendiri setuju tidak usah ada pembatasan. Biarkanlah masyarakat yang mengontrol, tetapi tentu kami harus mendengar beberapa baik positif dan negatifnya dari hasil investigasi," ungkapnya.
Hasanuddin juga menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menjalankan kebebasan pers, mengingat produk jurnalistik ditujukan untuk kepentingan publik. "Saya kira ada benarnya juga sih. Tapi, tentu dalam kebebasan itu kita juga ada kehati-hatian untuk kepentingan masyarakat," tuturnya.
Selain itu, Hasanuddin mengomentari isu tumpang tindih aturan penyelesaian sengketa jurnalistik antara Dewan Pers dan KPI. Menurutnya, sengketa terkait penyiaran harusnya ditangani KPI, sementara sengketa produk tulisan diselesaikan oleh Dewan Pers.
Sengketa jurnalistik penyiaran diatur dalam Pasal 42 Ayat 2 RUU Penyiaran, yang memberikan wewenang kepada KPI sesuai aturan undang-undang, dan Pasal 51 huruf E yang menyatakan bahwa sengketa hasil keputusan KPI bisa diselesaikan melalui pengadilan.
Berbagai pendapat pro dan kontra mengenai revisi UU Penyiaran juga diakui Hasanuddin terjadi di Komisi I DPR RI. "Ada yang pro dan kontra dan nanti itu akhirnya akan kita bahas dan akan kita diskusikan di Baleg (Badan Legislasi DPR RI)," ungkapnya.
Hasanuddin menegaskan bahwa pihaknya akan menampung semua masukan terkait polemik revisi UU Penyiaran.
"Ya kita akan tampung semua (masukan) dan kemudian kita akan selesaikan nanti di dalam pembahasan antara Baleg dan komisi," pungkasnya.

0 comments