TAMPAR Gugat Jepang karena Buang Limbah Nuklir di Pasifik

IVOOX.id - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) bersama Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin), yang tergabung dalam TAMPAR (Tim Advokasi Masyarakat Anti Perairan Beracun), mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Pemerintah Jepang karena membuang limbah nuklir di perairan Fukushima, laut Pasifik.
Gugatan ini diajukan melalui Kedutaan Besar Jepang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 121/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst.
Gugatan tersebut menyoroti tindakan Pemerintah Jepang yang membuang limbah nuklir di Laut Pasifik, yang dianggap berpotensi meracuni produk laut yang diekspor ke Indonesia serta mencemari perairan Indonesia.
“Gugatan PBHI terhadap Perwakilan Pemerintah Jepang Tidak Dihiraukan, bahkan Dihadang Intervensi Kemenlu Seolah Jadi Antek Pemerintah Jepang” ucap Marthin Hadiwinata Koordinator Nasional Ekomarin dalam keterangan tertulis yang diterima Ivoox.id, Minggu (19/5/2024).
Dalam gugatan ini, TAMPAR menegaskan bahwa pembuangan limbah nuklir tersebut tidak hanya merusak ekosistem laut tetapi juga mengancam hak atas pangan rakyat Indonesia.
Produk hasil laut dari Jepang yang banyak diekspor ke Indonesia dianggap berpotensi membawa kontaminasi radioaktif, yang bisa berujung pada keracunan massal.
Namun, Pemerintah Jepang mangkir dari dua kali persidangan dengan alasan kekebalan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1961.
Pada sidang tanggal 13 Maret, yang dipimpin oleh Betsji Siske Manoe, Heneng Pujadi, dan Suroyo, pihak Kedubes Jepang hanya mengirim surat korespondensi yang diterima bagian persuratan (Umum) PN Jakarta Pusat.
Kemudian pada sidang tanggal 17 April, Arlen Veronica selaku Hakim Ketua Pengganti menyatakan adanya surat dari Kemenlu RI kepada Ketua PN Jakarta Pusat.
Surat tersebut menyatakan bahwa gugatan TAMPAR merusak hubungan diplomasi antara Jepang dan Indonesia serta melanggar Konvensi Wina 1961.
Kemenlu RI bahkan meminta agar gugatan TAMPAR dicabut dan dirinya dimasukkan sebagai Pihak Turut Tergugat, permintaan yang disetujui oleh Hakim Arlen.
Selanjutnya TAMPAR menegaskan bahwa pembuangan limbah nuklir di perairan Pasifik oleh Jepang adalah ancaman serius terhadap perairan Indonesia dan kesehatan rakyatnya.
Produk laut Jepang yang berpotensi tercemar telah ditolak oleh beberapa negara, termasuk Tiongkok, karena risiko keracunan.
Tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional yang harus diusut oleh PBB, mengingat sejarah bencana nuklir seperti Chernobyl yang dampaknya tidak bisa dipulihkan sepenuhnya.
Perwakilan negara asing melalui kedutaan besar, termasuk Duta Besar Jepang, seharusnya tunduk pada hukum Indonesia di luar konteks hubungan diplomatik.
Mangkirnya Pemerintah Jepang dari persidangan dan hanya bersurat menunjukkan pembangkangan terhadap hukum Indonesia dan melanggar komitmen diplomatik. Berdasarkan Pasal 41 Konvensi Wina, tindakan ini seharusnya mengakibatkan Duta Besar Jepang dinyatakan persona non grata.
Selanjutnya TAMPAR mengecam tindakan Kemenlu RI yang bersurat ke Ketua PN Jakarta Pusat atas nama Pemerintah Jepang sebagai bentuk penghinaan dan pengkhianatan terhadap kedaulatan NKRI.
Kemenlu seharusnya memastikan perwakilan negara asing tunduk pada hukum Indonesia, bukan menghalangi proses peradilan. Ini bisa dianggap sebagai obstruction of justice, dan Menteri Luar Negeri bisa dipidana berdasarkan Pasal 221 KUHP.
Majelis Hakim pemeriksa harus berpegang teguh pada hukum Indonesia dan bersikap independen.
Surat-menyurat dari Pemerintah Jepang dan Kemenlu tidak seharusnya menjadi materi persidangan. Ketidakhadiran Tergugat, Pemerintah Jepang, harus ditegaskan melalui putusan verstek yang menerima gugatan TAMPAR untuk seluruhnya.
Kasus ini menjadi ujian bagi kedaulatan hukum Indonesia dan perlindungan hak asasi rakyatnya. Pengadilan diharapkan mampu memberikan putusan yang adil dan independen demi kepentingan bangsa dan negara

0 comments