Survei KedaiKOPI: Waspada Kelapa Terancam Langka dan Mahal pada Awal 2026 | IVoox Indonesia

December 22, 2025

Survei KedaiKOPI: Waspada Kelapa Terancam Langka dan Mahal pada Awal 2026

Peneliti KedaiKOPI, Ashma Nur Afifah
Peneliti KedaiKOPI, Ashma Nur Afifah dalam konferensi pers pada Rabu (17/12/2025). IVOOX.ID/doc KedaiKOPI

IVOOX.id – Lembaga Survei KedaiKOPI merilis hasil survei terbaru mengenai kondisi kebutuhan kelapa di Indonesia pada Selasa, 17 Desember 2025. Survei ini mengungkap kekhawatiran publik terhadap lonjakan harga kelapa dan produk turunannya yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga awal 2026, terutama menjelang Ramadan dan Lebaran.

Survei dilakukan secara tatap muka pada 24 November hingga 1 Desember 2025 terhadap 400 responden di enam kota besar. Responden terdiri atas 200 ibu rumah tangga, 160 pelaku UMKM, dan 40 penjual kelapa utuh. Peneliti KedaiKOPI, Ashma Nur Afifah, menjelaskan bahwa mayoritas responden merasakan dampak langsung dari kenaikan harga kelapa dalam enam bulan terakhir.

“Hasil survei menunjukkan 83 persen responden merasakan kenaikan harga kelapa dan produk olahannya. Bahkan, dari masyarakat yang mengalami kenaikan harga kelapa itu, 45,2 persen di antaranya menilai kenaikan tersebut signifikan,” kata Ashma.

Menurut Ashma, salah satu faktor utama lonjakan harga adalah ekspor kelapa utuh yang dilakukan secara besar-besaran. Banyak responden menilai tingginya permintaan ekspor membuat pasokan dalam negeri berkurang, sehingga harga melonjak.

“Indonesia sebagai salah satu produsen kelapa terbesar di dunia, dengan produksi sekitar 2,8 juta ton per tahun, dan satu-satunya negara yang masih memperbolehkan ekspor kelapa bulat tanpa pembatasan ketat membuat pasokan dalam negeri rentan terganggu,” ujarnya.

Dampak kenaikan harga dirasakan luas oleh berbagai kelompok. Ibu rumah tangga mengaku pengeluaran untuk makanan meningkat dan terpaksa mengurangi penggunaan santan. Sementara itu, pelaku UMKM menghadapi lonjakan biaya produksi dan operasional.

“Pelaku UMKM melaporkan kenaikan biaya modal double dan operasional yang signifikan, bahkan memaksa sebagian menaikkan harga jual menu hingga 50 persen pada usaha katering. Penjual kelapa utuh juga mengalami penurunan laba meski sebagian besar sudah menaikkan harga jual,” kata Ashma.

Survei juga mencatat kekhawatiran publik ke depan. Sebanyak 82,1 persen responden khawatir harga kelapa tidak stabil dalam tiga bulan mendatang.

“Jika dibiarkan, kondisi ini dikhawatirkan mengancam kelestarian makanan tradisional Indonesia yang banyak menggunakan santan dan produk kelapa,” ujar Ashma.

Sebagai solusi, 80 persen responden mendukung penerapan pungutan ekspor kelapa bulat. Kebijakan ini dinilai mampu menstabilkan harga dan pasokan dalam negeri, sekaligus memberi pemasukan negara.

“Sebanyak 77,9 persen responden optimistis bahwa pungutan ekspor akan efektif menekan harga dan menjaga ketersediaan kelapa,” ujarnya.

Dalam diskusi peluncuran survei, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia Tulus Abadi menilai pemerintah perlu kebijakan yang lebih menyeluruh. “Selain pungutan ekspor, pemerintah perlu menentukan Domestic Market Obligation (DMO), tentukan dulu kebutuhan dalam negeri berapa dan menstabilkan harga,” katanya.

Peneliti Core Indonesia Eliza Mardian menambahkan pentingnya penelusuran data ekspor dan penerapan harga eceran tertinggi. “Selain rekomendasi KedaiKOPI yaitu pungutan ekspor atau DMO, perlu ada HET agar menjaga harga untuk konsumen di bawah,” ujarnya.

Sementara itu, ekonom Gede Sandra menyoroti peluang hilirisasi kelapa. “Perolehan ekspor kita soal kelapa ini hanya 1,6 miliar dolar (AS), namun jika ada hilirisasi, ini bisa meningkat sampai 6,5 miliar dolar (AS),” ujarnya.

Dari sisi sosial, Cornelia Agatha menekankan dampak langsung pada perempuan dan keluarga. “Masalah kenaikan dan kelangkaan kelapa ini paling berdampak pada UMKM, dan UMKM ini sebagian besar adalah perempuan, terutama ibu-ibu. Jadi ada hubungannya antara perlindungan anak dengan kenaikan dan kelangkaan kelapa ini,” ujarnya.

0 comments

    Leave a Reply