Solidaritas Merauke Tolak Kebijakan Pemerintah Soal Perubahan Kawasan Hutan Papua Selatan | IVoox Indonesia

November 3, 2025

Solidaritas Merauke Tolak Kebijakan Pemerintah Soal Perubahan Kawasan Hutan Papua Selatan

1001256398
Ilustrasi - Kapolres Merauke AKBP Leonardo Yoga saat melakukan penanaman jagung guna mendukung ketahanan pangan di Merauke. ANTARA/HO/Humas Polda Papua

IVOOX.id – Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Merauke menyatakan penolakan keras terhadap kebijakan pemerintah yang melepas hampir setengah juta hektar kawasan hutan di Papua Selatan untuk program swasembada pangan dan energi nasional. Mereka menilai kebijakan tersebut menghidupkan kembali pandangan kolonialis dan bertentangan dengan konstitusi, karena mengabaikan hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alamnya.

Sikap ini muncul setelah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid menyampaikan hasil Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) pada 29 September 2025. Dalam keterangannya, Nusron mengungkapkan bahwa pemerintah telah melepas 474.000 hektar kawasan hutan yang disebut sebagai lahan negara dan tidak berpenghuni, untuk mendukung program swasembada pangan dan energi di Papua Selatan. “Kan ini hutan, punya negara. Enggak ada pembebasan lahan, belum ada penduduknya,” kata Nusron.

Sebelumnya, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni juga menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025 yang menambah luas areal perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 486.939 hektar. Langkah itu diklaim sebagai bagian dari percepatan pembangunan kawasan pangan, energi, dan air nasional di Papua Selatan.

Namun, Solidaritas Merauke menilai kebijakan tersebut sarat dengan pandangan kolonialis yang mereproduksi doktrin terra nullius atau tanah kosong, doktrin yang dahulu digunakan oleh kekuatan kolonial Eropa untuk merampas tanah masyarakat adat. “Papua bukan tanah kosong. Setiap jengkal tanah, hutan, savana, rawa, dan perairan dimiliki dan dijaga oleh masyarakat adat berdasarkan hukum adat dan tradisi leluhur,” tulis Franky Samperante mewakili Solidaritas Merauke dalam pernyataan resminya Rabu (8/10/2025).

Mereka menegaskan, klaim negara atas tanah adat dengan alasan “tanah milik negara” bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang menjamin pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Solidaritas Merauke juga menyoroti proses kebijakan yang dinilai kilat dan tertutup, tanpa partisipasi bermakna masyarakat adat sebagaimana prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent).

Selain dianggap cacat hukum, kebijakan tersebut dituding membuka jalan bagi kepentingan komersial di sektor perkebunan sawit, tebu, bioetanol, dan industri peternakan. “Kami menolak sepenuhnya perampasan kekayaan rakyat dan penghancuran lingkungan hidup atas nama proyek strategis nasional,” tegas Solidaritas Merauke.

0 comments

    Leave a Reply