Selamat Datang 2023, Selamat Tinggal 2022 | IVoox Indonesia

July 26, 2025

Selamat Datang 2023, Selamat Tinggal 2022

pusat_044b6d4b-cf31-43be-a63c-16779c8e6431_news
Bapak Entang Sastraatmadja. (Foto: Ist)

IVOOX.id, Jakarta - Selamat datang 2023 dan selamat tinggal 2022. Ungkapan ini penting disampaikan, karena seabreg kiprah yang dilakukan pada tahun 2022, akan menjadi kenangan seusai kita memasuki tahun 2023.

Kaitannya dengan pembangunan pertanian, khususnya yang berhubungan dengan suasana perberasan nasional, tahun 2022 telah melahirkan catatan tersendiri dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di negeri ini. Paling tidak, ada dua hal yang patut untuk didalami lebih lanjut. Pertama adalah soal Proklamasi Swasembada Beras, dan yang kedua soal Impor Beras.

Penghargaan yang diberikan International Reasearch Rice Institute bersama FAO atas kisah sukses bangsa kita dalam memacu produksi padi dalam negeri, sehingga layak menjadi negara yang berswasembada beras, tentu saja melahirkan rasa bangga tersendiri bagi bangsa kita. Swasembada Beras adalah prestasi yang pantas disyukuri, khususnya di saat warga dunia disergap Covid 19.

Betapa tidak ! Sebab, tatkala bangsa-bangsa di dunia dihadapkan kepada bencana kemanusiaan yang menelan banyak korban nyawa manusia, ternyata Indonesia malah mampu menyabet predikat bangsa yang berswasembada beras. Pandemi Covid 19, seolah-olah tidak menyurutkan para petani untuk terus meningkatkan produksi padi menuju swasembada.

Keseriusan petani dalam menggenjot produksi, membuat Indonesia selama 3 tahun berturut-turut (2019 - 2021) tidak menerapkan kebijakan impor beras yang sifatnya komersil. Produksi para petani di dalam negeri, mampu mencukupi kebutuhan warga masyarakatnya. Tidak adanya impor beras, menjadi ukuran utama bagi IRRI dan FAO untuk memberi penghargaan swasrmbada beras kepada Pemerintah Indonesia.

Ironisnya, di tengah-tengah eforia Swasembada Beras, beberapa bulan kemudian terekam adanya kabar yang kurang menggembirakan. Dengan semakin menipisnya cadangan beras Pemerintah, dengan berat hati terpaksa kita harus membuka kembali kran impor beras komersil yang selama 3 tahun ini, kita tutup rapat. Impor beras menjadi pilihan kebijakan, karena kita tidak berdaya mengisi cadangan beras Pemerintah yang angkanya cukup merisaukan.

Secara politik, apa pun alasan dan pertimbangan yang disampaikan, impor beras yang Pemerintah lakukan, bisa saja "menggugurkan" kisah sukses swasembada beras versi IRRI dan FAO diatas. Terlebih-lebih bila salah satu ukuran swasembada beras adalah tidak ditempuhnya kebijakan impor beras yang bersifat komersil.

Memang pada tahun 1999, FAO menyatakan suatu negara masih bisa disebut swasembada beras, sekiranya masih menempuh impor sekitar 10 % dari jumlah produksi beras yang dihasilkan oleh negara yang bersangkutan. FAO berpandangan cukup moderat. Swasembada bukan berarti sama sekali tidak ada impor. Impor dengan jumlah tertentu, tidak merontokan proklamasi swasembada.

Artinya, jika produksi beras nasional sekarang ini sekitar 30 juta ton beras, kemudian kita melakukan impor sekitar 500 ribu ton beras untuk cadangan Pemerintah, sebetulnya masih bisa disebut swasembada. Sebab, angka 500 ribu ton masih berada dibawah angka 10 %. Cerita nya alan menjadi berbeda, kalau kita menempuh impor beras diatas angka 3 juta ton. 

Masalahnya tidak salah bila banyak pihak yang menyatakan, secara politis, berapa pun jumlah yang dibutuhkan, selama impor beras ditempuh, maka kualitas swasembada beras yang dicapai menjadi kurang sempurna. Seorang sahabat malah menyatakan dengan tegas, Swasembada Beras seharusnya dimaknai sebagai tidak ada lagi impor beras yang sifatnya komersil. 

Bila kita cermati data produksi beras yang dirilis Badan Pusat Statistik dalam beberapa tahun belakangan ini, memang menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Kementerian Pertanian malah menegaskan betapa melimpah ruahnya beras di masyarakat. Catatan kritisnya adalah kalau memang beras itu melimpah, mengapa untuk mencari beras sebesar 600 ribu ton saja, Pemerintah tampak kesusahan ? 

Ada apa sebetulnya dengan data perberasan nasional ? Akibatnya wajar bila banyak pihak yang meragukan keterangan dari Kementerian Pertanian diatas, sekali pun kalimat "beras melimpah di masyarakat" sendiri masih dapat diperdebatkan lebih lanjut. Mungkin sekali beras itu ada. Pertanyaannya ada dimana beras itu ? Kalau beras itu ada di bandar atau tengkulak, ya jangan harap Pemerintah akan memperolehnya.

Sikap tegas Pemerintah untuk membuka kran impor beras lagi, boleh jadi merupakan langkah tepat untuk berjaga-jaga sekiranya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ingat peribahada : sedia payung sebelum hujan. Sebut saja terjadinya krisis pangan global. Atau terjadi peperangan antar negara, seperti Perang Rusia - Ukraina. Bisa saja karena terjadinya iklim ekstrim yang dapat mengganggu produksi pertsnian. 

Bahkan kemungkinan adanya bencana alam seperti gempa, banjir, longsor dan lain sebagainya. Semua ini bisa saja terjadi secara mendadak. Untuk mengantisipasi hal yang demikian, impor beras merupakan pilihan kebijakan yang tidak mungkin dielakan, sekalipun ada kalangan yang kurang mendukung. Yang pasti, kita tidak boleh main-main dengan beras, karena boleh jadi beras akan menentukan mati dan hidupnya suatu bangsa.

Selamat tinggal 2022. Banyak hal yang patut dijadikan percik permenungan bersama. Selamat datang 2023. Banyak tantangan yang harus dijawab dan diselesaikan. Salah satunya tentu saja yang terkait dengan MISTERI PERBERASAN itu sendiri. 

0 comments

    Leave a Reply