Romansa Ekonomi Kreatif dan Literasi Digital di Era "Big Data"

IVOOX.id - Di dunia yang serba cepat dan terhubung ini, literasi tidak lagi sekadar soal membaca atau menulis kata-kata. Literasi kini berarti kemampuan memahami, menafsirkan, dan mengolah data serta informasi dalam ruang digital yang melimpah.
Ketika literasi digital bertemu ekonomi kreatif, lahirlah sebuah kisah romansa yang memikat seperti kisah cinta antara pengetahuan dan inovasi.
Era big data menjadikan informasi sebagai sumber daya paling berharga. Setiap klik di media sosial, setiap transaksi daring, setiap tontonan video pendek, meninggalkan jejak yang dapat diubah menjadi insight ekonomi. Namun, tanpa literasi digital, semua itu hanya deretan angka tanpa makna. Literasi adalah kunci yang mengubah data menjadi peluang, informasi menjadi keputusan, dan kreativitas menjadi nilai ekonomi.
Hal itu menjadi sebuah fenomena baru dengan denyut yang paling terasa di sektor ekonomi kreatif. Para pelaku industri mulai dari desainer, musisi, animator, penulis, dan kreator konten kini tak hanya mengandalkan bakat seni, tapi juga kecakapan membaca tren digital. Mereka menafsirkan algoritma, memahami perilaku pengguna, dan memanfaatkan data untuk menyesuaikan karya dengan selera pasar global.
Selanjutnya contoh paling jelas terlihat pada perkembangan industri musik Indonesia. Berbagai platform digital seperti Spotify dan YouTube Music memberi akses bagi musisi lokal untuk menjangkau pendengar lintas negara. Lagu-lagu seperti Lathi dari Weird Genius atau Sial milik Mahalini kini tak hanya populer karena lirik dan nada, tetapi karena cerdas memanfaatkan data algoritmik mulai dari waktu unggahan, demografi pendengar, hingga tren penggunaan tagar di media sosial.
Di sinilah romansa itu tercipta dan tumbuh menggelora mewarnai dunia ketika literasi digital memberi inspirasi dari pengetahuan dan ekonomi kreatif memberi denyut kehidupan. serta saat data menjadi transaksi yang bernilai ekonomi dan memberikan warna baru dalam era big data yang penuh warna-warni.
Dunia baru kreativitas
Big data adalah bahasa baru dalam kisah ini. Ia menjadi cara manusia modern memahami perilaku, kebutuhan, dan aspirasi. Dalam konteks ekonomi kreatif, big data bagaikan surat cinta yang berisi petunjuk tersembunyi tentang selera publik dan potensi pasar.
Saat ini kita lihat bagaimana Netflix, Spotify, dan TikTok memanfaatkan big data untuk menyesuaikan konten dengan pengguna. Di balik layar, algoritma mereka bukan sekadar kode, tapi cermin yang memantulkan kebiasaan dan preferensi manusia. Mereka tahu kapan kita butuh hiburan ringan, kapan kita ingin belajar, bahkan kapan kita cenderung berbelanja.
Fenomena ini juga mulai mengubah lanskap ekonomi kreatif di Indonesia. Platform seperti Lokapala (game buatan lokal) dan KaryaKarsa (platform monetisasi kreator Indonesia) memanfaatkan data pengguna untuk meningkatkan pengalaman kreatif yang lebih personal dan berkelanjutan.
Menurut laporan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan BPS, pada tahun 2023 kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB mencapai Rp1.400 triliun, dengan subsektor digital seperti konten, animasi, aplikasi, dan desain mengalami pertumbuhan tercepat. Angka ini membuktikan bahwa data bukan hanya catatan pasif, tetapi bahan bakar utama bagi kreativitas.
Namun demikian, kisah romansa ini juga menuntut kedewasaan. Di balik potensi besar big data, terselip risiko penyalahgunaan privasi, bias algoritma, dan eksploitasi informasi. Karena itu, literasi digital menjadi pagar etika dalam kisah romansa ini yaitu memastikan bahwa hubungan antara manusia dan teknologi tetap berlandaskan kepercayaan dan tanggung jawab.
Bernilai ekonomi
Romansa literasi dan ekonomi kreatif menemukan puncaknya dalam seni bercerita. Di era digital, orang tidak lagi hanya membeli produk, tetapi juga membeli narasi di balik produk. Cerita menjadi mata uang emosional yang menentukan nilai ekonomi.
Brand-brand lokal seperti Erigo, MS Glow, Kopi Kenangan, dan Brodo adalah contoh nyata bagaimana literasi naratif menjadi daya dorong ekonomi kreatif digital. Mereka tak sekadar menjual barang, tapi kisah perjuangan, nilai, dan aspirasi yang menyentuh hati publik. Di dunia e-commerce dan media sosial, narasi adalah bentuk literasi yang paling memikat.
Inilah wajah baru romansa ekonomi digital yakni di mana kreativitas, literasi, dan transaksi menyatu. Setiap desain kemasan, setiap caption, setiap konten video, adalah bentuk literasi yang mengandung nilai ekonomi.
Kisah cinta ini tidak hanya hidup di kota besar. Di banyak daerah, generasi muda mulai menjadikan literasi digital sebagai jalan pemberdayaan ekonomi lokal. Di Lombok, misalnya, komunitas perempuan pengrajin tenun memanfaatkan platform digital untuk memasarkan produk mereka ke mancanegara dengan memanfaatkan foto, cerita budaya, dan strategi data sederhana.
Demikian pula di Yogyakarta, ekosistem Jogja Digital Valley menggabungkan data dan narasi kreatif untuk mengembangkan startup desain, musik, dan game lokal. Mereka membuktikan bahwa literasi bukan sekadar kemampuan membaca teks, tetapi kemampuan membaca zaman.
Oleh karena itu tak berlebihan apabila Sandiaga Uno saat menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pernah mengatakan bahwa “masa depan ekonomi kreatif Indonesia ditentukan oleh siapa yang paling cepat membaca peluang digital.” Pandangan tersebut mempunyai makna bahwa aktivitas ekonomi kreatif di sini bukan sekadar aktivitas kognitif, tapi berupa tindakan kreatif yaitu tindakan literasi yang bernilai ekonomi.
Hubungan visioner
Namun, setiap kisah cinta pasti diuji oleh waktu. Romansa antara literasi digital dan ekonomi kreatif pun menghadapi tantangan yang nyata. Tantangan pertama adalah ketimpangan literasi digital.
Menurut survei Katadata Insight Center (2024), indeks literasi digital Indonesia baru mencapai 3,65 dari skala 5, dengan kelemahan pada dimensi etika dan keamanan digital. Ini berarti sebagian masyarakat masih menjadi “penonton” dalam ekosistem digital, belum menjadi “pemain” yang produktif.
Tantangan kedua adalah ketergantungan terhadap platform global. Jika data dan transaksi kreatif sepenuhnya dikuasai oleh perusahaan asing, maka nilai tambah yang dihasilkan justru mengalir ke luar negeri. Dalam konteks ini, kedaulatan data menjadi isu strategis bagi keberlanjutan ekonomi kreatif nasional.
Maka, untuk menjaga romansa ini tetap abadi, Indonesia perlu menumbuhkan ekosistem literasi digital yang kuat dan berkeadilan. Ada tiga langkah strategis yang penting dilakukan: Pertama, pendidikan literasi digital sejak dini agar generasi muda tidak hanya menjadi pengguna, tapi juga pencipta nilai digital.
Kedua melakukan penguatan infrastruktur dan ekosistem ekonomi kreatif lokal melalui dukungan terhadap startup, inkubasi talenta, dan insentif bagi kreator konten yang berbasis budaya. Ketiga kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan industri kreatif untuk memastikan inovasi berjalan seimbang dengan etika dan keamanan data.
Dalam jangka panjang, sinergi ini bukan hanya memperkuat ekonomi, tetapi juga membentuk karakter bangsa yang adaptif dan berdaulat secara digital. Seperti hubungan dalam cinta sejati, hubungan antara literasi dan ekonomi kreatif tidak boleh hanya bersifat pragmatis, melainkan juga visioner. Literasi memberi arah moral, teknologi memberi daya, dan ekonomi kreatif memberi makna bagi pembangunan manusia seutuhnya.
Peta jalan
Kisah romansa antara literasi digital dan ekonomi kreatif di era big data adalah seperti kisah cinta yang tidak pernah usang. Ia lahir dari interaksi manusia dan teknologi, dari imajinasi dan informasi, dari kreativitas dan kecerdasan buatan.
Selama manusia masih menulis cerita, membuat karya, dan berbagi ide, selama itu pula romansa ini akan terus berdenyut. Literasi digital menjadi bahasa hati yang membuat data bermakna, dan ekonomi kreatif menjadi wujud nyata cinta yang menghasilkan nilai bagi bangsa.
Indonesia, dengan segala kekayaan budayanya dan semangat muda yang meluap, memiliki potensi besar untuk menjadikan romansa ini sebagai kekuatan global. Cinta antara literasi dan ekonomi kreatif bukan sekadar metafora namun wujud peta jalan menuju masa depan ekonomi berbasis pengetahuan, budaya, dan data. Sebuah masa depan di mana manusia dan teknologi saling memahami, bukan saling menggantikan.
Dan di sanalah, dalam alunan data dan imajinasi, kisah romansa ini akan terus ditulis — bukan dengan pena, tapi dengan piksel, ide, dan keberanian untuk mencipta.
Penulis: M Lucky Akbar
Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Ditjen Pajak – Kemenkeu
Sumber: Antara


0 comments