Roblox dan Edukasi Digital | IVoox Indonesia

August 22, 2025

Roblox dan Edukasi Digital

Untitled design
ILUSTRASI - Game Roblox dikritik karena minim penyaringan konten. Banyak permainan buatan pengguna memuat kekerasan, horor, bahkan seksual terselubung. IVOOX.ID/AI

IVOOX.id – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, mempertimbangkan akan memblokir online game Roblox pada awal Agustus 2025. Langkah ini memicu beragam reaksi.

Di satu sisi, banyak orang tua merasa lega karena anak mereka tidak lagi bisa mengakses game yang dituding berisi konten tidak ramah anak. Di sisi lain, muncul pertanyaan: benarkah pelarangan adalah jalan keluar terbaik?

Game Roblox bukan sekadar permainan digital. Ia adalah dunia virtual tempat anak-anak bisa bermain sekaligus menciptakan game mereka sendiri. Roblox adalah wadah kreasi interaktif yang memungkinkan jutaan pengguna, sebagian besar anak-anak dan remaja, membangun dunia digital, belajar logika, bahkan melakukan transaksi ekonomi digital melalui mata uang virtual Robux.

Namun, popularitas Roblox juga menyimpan risiko serius. Game ini dikritik karena minim penyaringan konten. Banyak permainan buatan pengguna memuat kekerasan, horor, bahkan seksual terselubung. Interaksi sosial lewat fitur chat terbuka lebar pada kemungkinan perundungan siber, ajakan dari orang asing, atau paparan bahasa kasar yang tidak layak bagi anak-anak.

Pengalaman penulis, ketika menyaksikan anak sendiri bermain game Roblox. Ia bermain dan melakukan percakapan satu-sama lain. Kadang-kadang yang satu mengeluarkan kata-kata kasar ketika bertindak curang. Namun yang lainnya memberi pujian ketika bermain dengan jujur.

Di sisi lain, sistem pembelian dalam aplikasi juga mengarahkan anak pada pola konsumtif, yang tidak sehat jika tidak dikontrol. Tidak jarang anak kerap kali minta agar menggunakan uang digital agar bisa bermain tanpa pembatasan akses. Keinginannya ditolak dengan alasan kontrol nafsu anak.

Dalam konteks inilah, keputusan pemerintah memblokir Roblox mendapat justifikasi. Ini adalah bentuk perlindungan negara terhadap warganya yang paling rentan. Namun, pertanyaannya, apakah pelarangan total cukup menyelesaikan persoalan?

Dunia anak tidak lagi tertutup

Kita hidup di zaman di mana batas antara ruang privat dan publik semakin kabur, termasuk bagi anak-anak. Dulu dunia anak dibatasi oleh pagar rumah atau halaman sekolah. Kini, dunia anak terhubung langsung ke jagat digital global, 24 jam sehari. Mereka bukan hanya bermain, tetapi hidup dan bersosialisasi di sana.

Maka dari itu, melarang satu platform digital seperti Roblox memang dapat mencegah risiko dalam jangka pendek, tetapi belum tentu efektif untuk jangka panjang. Sebab akan selalu ada platform baru, aplikasi baru, dan pintu-pintu lain menuju dunia virtual yang terbuka bagi siapa saja, termasuk anak-anak.

Yang lebih mendesak dari pelarangan adalah bagaimana kita, sebagai orang tua dan pendidik, ikut hadir dan melek dalam dunia digital yang dihuni anak-anak. Sayangnya, banyak orang dewasa yang merasa cukup dengan hanya mengontrol, melarang, atau mencabut akses.

Padahal, zaman ini menuntut lebih dari itu: menjadi pendamping yang terlibat, pembimbing yang relevan, dan pembelajar yang rendah hati terhadap dunia baru anak.

Menariknya, Roblox sejatinya bukan platform jahat. Ada potensi edukatif yang justru bisa menjadi alat bantu pendidikan jika diarahkan dengan baik. Roblox Studio, misalnya, memungkinkan anak-anak belajar dunia desain game dan dasar-dasar pemrograman dengan bahasa Lua.

Banyak anak belajar berpikir logis, menyusun algoritma, dan menyelesaikan masalah secara kreatif saat mereka membangun game mereka sendiri.

Sayangnya, potensi ini sering tidak dikenali karena kita terlalu fokus pada sisi gelapnya. Padahal, seperti halnya dunia nyata, dunia digital juga tidak hitam-putih. Yang menentukan apakah ia membawa manfaat atau mudarat bukan hanya dari medianya, tetapi dari cara kita memakai, mengakses, dan mendampinginya.

Jalan tengah

Maka, dibutuhkan pendekatan yang lebih bijak dan jangka panjang. Bukan semata pelarangan, tetapi pendampingan dan edukasi digital yang menyeluruh. Beberapa hal bisa menjadi bagian dari solusi jalan tengah.

Pertama, perlu dilakukan literasi digital sejak dini. Anak perlu diajari mengenali risiko dan peluang dunia maya. Kurikulum sekolah semestinya memasukkan tema-tema etika digital, keamanan online, dan kesadaran akan jejak digital (digital footprint).

Kedua, dibutuhkan keterlibatan orang tua secara aktif. Orang tua perlu mengubah pola komunikasi dari melarang menjadi dialog. Misalnya, menanyakan bukan hanya “Main Apa?” tetapi juga “Apa yang kamu pelajari dari game itu?” Anak perlu merasa dunia digital mereka dipahami, bukan dimusuhi.

Ketiga, pemanfaatan fitur pengawasan. Platform seperti Roblox menyediakan fitur parental control yang memungkinkan pembatasan akses, mematikan chat, atau memfilter konten. Namun fitur ini sering diabaikan karena ketidaktahuan atau ketidakpedulian.

Keempat, perlu diadakan pelatihan bagi guru dan pendidik. Dunia pendidikan tidak boleh tertinggal. Guru perlu dibekali pemahaman tentang dinamika digital anak. Mereka bisa menjadi mitra orang tua dalam mengarahkan anak secara bijak.

Generasi anak-anak kita hidup di dua dunia: dunia nyata dan dunia digital. Keduanya saling terkait, saling mempengaruhi, dan saling membentuk. Kita tidak bisa melindungi mereka hanya dengan mengunci satu pintu, sebab akan selalu ada pintu lain yang terbuka. Maka tugas kita adalah membekali mereka dengan kompas yang tepat untuk menavigasi keduanya.

Pelajaran dari pelarangan Roblox adalah ajakan reflektif: bukan hanya untuk anak-anak, tetapi untuk kita sendiri sebagai orang dewasa. Apakah kita siap hadir di dunia digital mereka? Ataukah kita akan terus menjadi pengamat yang terkejut dan reaktif?

Roblox hanyalah sebuah paltform. Dunia digital akan terus berkembang. Tapi nilai yang kita tanam hari ini - kejujuran, tanggung jawab, kehati-hatian, dan kesadaran - akan menjadi fondasi anak untuk berjalan bijak di dunia mana pun, nyata atau maya.

 

Penulis: Pormadi Simbolon

Pengamat isu pendidikan, alumnus magister ilmu filsafat STF Driyarkata Jakarta, tinggal di Banten

Sumber: Antara

0 comments

    Leave a Reply