Revisi RUU Penyiaran Batasi Kebebasan Pers dan Demokrasi | IVoox Indonesia

May 1, 2025

Revisi RUU Penyiaran Batasi Kebebasan Pers dan Demokrasi

antarafoto-aksi-wartawan-tolak-revisi-undang-undang-penyiaran-190584-ard-2
Wartawan meletakkan kartu identitasnya saat menggelar aksi tolak Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran di Tugu Adipura, Bandar Lampung, Lampung, Minggu (19/5/2024). Sejumlah wartawan dari Pewarta Foto Indonesi (PFI) Lampung, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan AJI Bandar Lampung tersebut menolak keras draft rancangan undang-undang (RUU) penyiaran yang kini sedang di bahas oleh badan legislatif (Baleg) DPR RI, karena terdapat sejumlah pasal yang dinilai akan membungkam kerja jurnalisme, salah satunya mengenai pelarangan penyiaran jurnalisme investigasi. ANTARA FOTO/Ardiansyah

IVOOX.id - Guru Besar Ilmu Komunikasi, Prof. Andi Faisal Bakti berpendapat Revisi RUU (Rancangan Undang-Undang) Penyiaran berdampak negatif membatasi kebebasan pers, mengancam demokrasi, dan merusak prinsip-prinsip good governance.

"Kalau kita perhatikan, RUU yang sedang kita bicarakan itu memang jelas sekali menurut pandangan saya meyakini bahwa ini dapat mengekang kebebasan pers, jadi nanti bisa asas keadilan demokrasi tercederai," kata Prof. Andi Faisal Bakti dalam Diskusi yang dilaksanakan oleh Forum Insan Cita secara daring, Minggu (19/5/2024).

Maka hal tersebut menuerutnya harus dicabut karena merugikan publik secara luas dan diperlukannya kembali disusun ulang dari awal dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan seperti Dewan Pers dan KPI sendiri serta ahli-ahli bersama media

Kemudian ia menyoroti peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang tidak memiliki mandat untuk menilai etika pers, yang seharusnya menjadi tanggung jawab Dewan Pers berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Jadi KPI ini lembaga yang tidak punya mandat untuk menilai etik sehingga tidak sesuai dengan Undang-Undang Pers Pasal 40 Tahun 1999 yang kita semua tahu itu tidak mengenal penyensoran, pembredelan, penutupan, pelarangan, penangkapan," jelasnya.

Selanjutnya Andi menyebut bahwa ketentuan dalam draf RUU Penyiaran yang berpotensi mengembalikan praktik-praktik represif era Orde Lama dan Orde Baru, serta memperkuat UU ITE, sangat disayangkan di era reformasi saat ini.

"Ini memang sangat berkaitan dengan demokrasi dan good governance bisa melemah, bisa terancam, bisa tidak berfungsi karena ditengarai bisa ikut model Orde Lama yang dulu demokrasi terpimpin, atau ikut Orde Baru, atau memperkuat ITE yang sebetulnya itu adalah gratifitas," ujarnya.

Lalu ia menegaskan bahwa kritik dalam demokrasi adalah hal yang wajar dan seharusnya tidak dibalas dengan undang-undang yang membungkam atau mengkriminalisasi pers.

"Demokrasi tentu saja wajar kalau ada kritik, tapi jangan dibalas dengan undang-undang pembungkaman bahkan kriminalisasi. Dewan Pers kan sudah menangani etika pers, jadi sebetulnya sudah cukup lah,Kalau mau dikurangi dan mengganggu memang mengganggu demokrasi kita dan good governance." tambahnya.

Ia juga menekankan pentingnya jurnalisme investigatif dalam mengungkap kasus korupsi dan membantu penegak hukum memahami akar masalah.

"Banyak kasus korupsi nanti tertutup kalau tidak diungkap oleh jurnalis-jurnalis melalui investigative journalism. Jadi sebetulnya kerja jurnalistik investigatif ini bisa memberi dampak positif karena dapat memberi informasi yang sangat baik, sangat fundamental, membantu penegak hukum dalam memahami akar masalah. Jadi seharusnya dibuka seluas-luasnya" pungkasnyaya.

0 comments

    Leave a Reply