Refleksi Hari Pangan Sedunia, “Berilah kami makanan secukupnya”

IVOOX.id – Hari Pangan Sedunia setiap 16 Oktober sudah seharusnya menjadi momentum dan pengingat keras bahwa makanan bukanlah barang mewah, melainkan hak hidup paling dasar yang menjadi hajat hidup orang banyak. Namun realitas yang terjadi justru paradoksal.
Dunia ini hidup dalam satu keping mata uang yang begitu berbeda. Pada satu sisi, data FAO dalam The State of Food Security and Nutrition in the World 2024 mencatat sekitar 673 juta orang masih terjerat kelaparan kronis, dengan fakta setiap empat detik satu orang meninggal karena kekurangan gizi.
Di sisi lain, UNEP Food Waste Index Report (2021 dan pembaruan 2024) melaporkan lebih dari satu miliar ton makanan terbuang sia-sia setiap tahun. Itu cukup untuk memberi makan populasi kelaparan empat kali lipat.
Kesenjangan ini menunjukkan ada yang sangat keliru dalam cara memandang, memproduksi, dan mendistribusikan pangan. Persoalan kelaparan global sesungguhnya tidak terletak pada ketidakmampuan bumi menyediakan makanan, tetapi pada ketimpangan struktural dalam distribusi dan akses terhadapnya.
Ketimpangan ini tidak hanya mencerminkan ketidakseimbangan ekonomi, tetapi juga kegagalan moral kolektif umat manusia. Laporan World Inequality Report menunjukkan bahwa lebih dari empat miliar orang hanya berbagi satu persen kekayaan dunia, sementara 89 juta orang menguasai hampir setengahnya.
Di tengah kenyataan ini, hedonisme dan gaya hidup berlebihan bukan lagi sekadar pilihan pribadi, melainkan bentuk kekejaman yang tak kasat mata. Ketika tokoh-tokoh publik memamerkan kemewahan sementara rakyat masih berjuang untuk sesuap nasi, maka keadilan sosial terusik. Menjadi gambaran yang ironis bahwa krisis pangan global justru berlangsung di tengah kelimpahan.
Sebagian besar makanan yang terbuang berasal dari rumah tangga menjadi bukti bahwa masalahnya bukan kekurangan produksi, melainkan pola konsumsi yang tidak bertanggung jawab.
Indonesia, misalnya, membuang sekitar 14,73 juta ton makanan setiap tahun, hingga FAO dan Bappenas menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan food loss and waste tertinggi di ASEAN. Angka ini menunjukkan adanya paradoks besar bahwa di satu sisi The State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI 2024) melaporkan sebanyak 149 juta anak mengalami stunting karena kekurangan gizi, di sisi lain makanan dibuang begitu saja karena dianggap berlebih.
Kalimat sederhana “Berilah kami makanan pada hari ini secukupnya,” seharusnya menjadi mantra perlawanan terhadap absurditas ini. Ini bukan hanya doa spiritual, tetapi juga refleksi mendalam tentang cara kita memandang kehidupan.
Kata “secukupnya” mengandung tiga kesadaran penting bahwa makanan adalah hak hidup paling mendasar, bahwa kelaparan adalah kenyataan yang harus segera diakhiri, dan bahwa cukup adalah bentuk keadilan sosial. Namun kata sederhana ini nyaris hilang dari kamus manusia modern yang dibanjiri slogan “lebih cepat, lebih besar, lebih banyak.”
Dunia saat ini terobsesi pada pertumbuhan tanpa batas, konsumsi tanpa kendali, dan ambisi tanpa empati. Di sinilah akar persoalannya, bahwa manusia telah melupakan bahwa setiap keping makanan yang dibuang berarti ada seseorang di tempat lain yang kehilangan haknya untuk hidup.
Panggilan moral
Peringatan Hari Pangan Sedunia seharusnya menjadi panggilan moral, bukan sekadar seremoni tahunan. Ini harus menjadi momen untuk bertanya dengan jujur kepada diri sendiri tentang apakah cara hidup seseorang hari ini turut memperpanjang penderitaan mereka yang lapar? Apakah gaya hidup konsumtif seseorang telah merampas hak orang lain untuk sekadar bertahan hidup?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena solusi untuk krisis pangan global tidak akan datang dari satu kebijakan atau lembaga, tetapi dari perubahan kolektif dalam cara berpikir dan bertindak.
Negara-negara perlu memperbaiki tata kelola pangan dengan memperkuat distribusi, mengurangi pemborosan, dan memastikan akses terhadap makanan bergizi bagi semua lapisan masyarakat. Namun tanggung jawab itu tidak berhenti di tingkat pemerintah. Individu dan komunitas juga harus mengambil peran nyata.
Mengurangi sampah makanan, mengonsumsi secukupnya, mendukung gerakan pangan berkelanjutan, dan membantu program bantuan gizi adalah langkah-langkah kecil yang jika dilakukan secara kolektif akan membawa dampak besar.
Kesadaran bahwa “cukup” bukan berarti kekurangan, melainkan keadilan, adalah fondasi penting dalam membangun sistem pangan yang inklusif. Dalam konteks ini, gaya hidup sederhana bukanlah kemunduran, tetapi kemajuan moral. Hidup yang sederhana bukan hanya lebih sehat dan bermakna, tetapi juga menjadi bentuk solidaritas nyata kepada mereka yang masih berjuang untuk hidup.
Kemewahan yang didapat dan dinikmati hari ini mungkin tidak membunuh seseorang secara langsung, tetapi membunuh jutaan orang lain secara perlahan. Dunia yang lebih adil tidak akan lahir dari retorika, melainkan dari keberanian untuk berkata “cukup” saat seseorang bisa mengambil lebih.
Pada akhirnya, doa sederhana itu menyimpan pesan yang sangat dalam. “Berilah kami makanan pada hari ini secukupnya,” bukan hanya permohonan agar satu makhluk tidak kelaparan, tetapi juga peringatan agar seseorang tidak serakah.
Kalimat ini mengajak semua untuk memandang makanan bukan sebagai komoditas, tetapi sebagai hak hidup. Ini menuntun semua untuk membangun dunia yang lebih adil, di mana tidak ada lagi anak yang tidur dengan perut kosong sementara yang lain berpesta pora.
Selama masih ada manusia yang kelaparan di bumi ini, kalimat itu akan tetap relevan, mendesak, dan menjadi cermin bagi nurani siapa saja. Sebab pertanyaan sejati dari Hari Pangan Sedunia bukanlah seberapa banyak yang dipunyai, tetapi apakah kita sudah hidup secukupnya agar orang lain juga bisa hidup.
Penulis: A Roni Kurniawan
Pemerhati isu pangan dan ketahanan gizi, praktisi pendidikan yang fokus pada literasi pangan berkelanjutan.
Sumber: Antara

0 comments