Perang Narkoba Bawa Filipina Masuk Daftar Negara Berbahaya

IVOOX.id, Jakarta - Deklarasi Presiden Rodrigo Duterte tentang ‘perang melawan narkoba’ telah menjadikan Filipina sebagai negara keempat paling berbahaya di dunia karena kekerasan yang ditargetkan atas warga sipil. Sebuah laporan menempatkan negara itu di belakang Yaman yang dilanda konflik.
Laporan dari Proyek Data Lokasi dan Peristiwa Konflik Bersenjata (Acled) mengidentifikasi India sebagai negara paling berbahaya, dengan 1.385 peristiwa kekerasan yang menargetkan warga sipil. Tempat kedua Suriah dengan 1.160, disusul Yaman yang mencapai 500, dan Filipina dengan 345.
Isi laporan senada dengan komentar Michelle Bachelet, komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia. Ia menyuarakan keprihatinan atas pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung di Filipina dan "jumlah kematian yang tinggi luar biasa -- dan laporan terus berlanjut tentang pembunuhan di luar proses pengadilan -- dalam konteks kampanye menentang penggunaan narkoba".
Pada Senin, Amnesty menuduh Duterte melaksanakan usaha pembunuhan skala besar, dan mengatakan dia harus diselidiki oleh PBB untuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Konfirmasi korban tewas sebagai tersangka dalam operasi anti-narkoba saat ini berkisar 5.425 orang sejak Juli 2016. Sesuatu yang digambarkan Bachelet sebagai "masalah yang paling mengkhawatirkan bagi negara mana pun di dunia".
"Temuan Acled konsisten dengan temuan kami dan merupakan penegasan tentang perlunya komunitas internasional, Dewan HAM PBB, dan Pengadilan Kriminal Internasional untuk mengambil tindakan," kata Carlos Conde, peneliti Filipina untuk Human Rights Watch.
Statistik menunjukkan bahwa upaya untuk membersihkan Filipina dari narkoba menghasilkan lebih dari 450 serangan langsung anti-sipil, menyebabkan 490 kematian sejak Januari 2019. Wilayah yang paling banyak ditargetkan ialah Luzon Tengah dan Calabarzon, yang masing-masing menyumbang 23 persen dan 22 persen dari kematian. Daerah Ibu Kota Nasional, yang meliputi ibu kota Manila, melaporkan 10 persen dari kematian itu.
Pejabat politik di Kedutaan Besar Filipina di London, Kristine Salle, menolak klaim tersebut. Ia berkata: "Kesimpulan bahwa Filipina adalah negara paling berbahaya keempat di dunia bukan hanya tidak adil, tetapi juga keliru, mengingat bahwa mungkin ada lebih banyak tempat berbahaya di dunia."
Statistik menunjukkan bahwa strategi Duterte mungkin tidak sepenuhnya salah. Pemerintah dikatakan hanya membuat 60 persen kejadian yang menargetkan warga sipil sejak awal 2019. Kelompok bersenjata tidak dikenal atau anonim dianggap bertanggung jawab atas 27 persen dan anggota grup anti-narkoba sebesar 8 persen.
Tetapi statistik mengungkapkan bahwa pembunuhan di luar proses hukum, yang direstui Duterte, telah berlanjut dari tahun ke tahun sejak pemerintahannya dimulai pada 2016. Terus meningkat pada 2019 dengan dua pertiga dari semua kekerasan politik difokuskan pada warga sipil.
Pasukan negara selalu menjadi "pelaku utama", tersangka narkoba menyumbang hampir 360 kematian warga sipil yang dilaporkan sejauh tahun ini, 75 persen dari total.
Pembunuhan 90 mantan pejabat pemerintah saat ini menyumbang 18 persen dari kematian yang dilaporkan dalam periode yang sama. Laporan itu mengklaim bahwa para korban tersebut cenderung menjadi sasaran kelompok bersenjata anonim yang dimotivasi oleh persaingan politik.
Dua puluh pejabat ini dicap sebagai tersangka narkoba. Peningkatan mencolok dalam serangan selama pemilu sela di bulan Mei dengan anggota partai politik, organisasi sayap kiri, aktivis lahan, petani, pengacara, dan hakim yang semuanya menjadi sasaran.
"Pembunuhan dalam konteks 'perang narkoba' menargetkan bagian yang paling rentan dari populasi Filipina -- kaum miskin kota, orang-orang yang paling terpinggirkan dan tidak bersuara dengan akses keadilan dan pemulihan terendah," kata Conte, dikutip dari Guardian, Rabu, 10 Juli 2019.
Menanggapi temuan Acled, Salle memberikan statistik resmi soal kampanye itu yang menunjukkan bahwa dari Juli 2016 hingga 30 April 2019, 129.500 operasi anti-narkoba menghasilkan harta sitaan USD1,3 juta, 185.401 penangkapan, dan 5.425 tersangka narkoba yang terbunuh selama operasi.
"Presiden Filipina serius dalam memastikan tidak ada toleransi terhadap pelanggaran hak asasi manusia oleh aktor negara. Tingkat pembersihan Polisi Nasional Filipina (PNP) telah meningkat sebesar 20 persen antara 2015 dan 2018. Ini meningkatkan upaya menyingkirkan barisan personelnya yang bersalah," kata Salle, merujuk pada 655 aparat pemerintah yang ditangkap karena korupsi, termasuk 305 pegawai pemerintah, 274 pejabat terpilih dan 75 personel berseragam.
Semua penangkapan yang berkaitan dengan kampanye ini harus diselidiki, tetapi para tersangka telah terbunuh, katanya, PNP sudah melakukan 4.583 penyelidikan di mana 3.619 telah direkomendasikan untuk sidang pemeriksaan disipliner, 352 personel sedang menjalani penyelidikan pra-pengadilan dan 588 kasusnya telah ditutup. PNP juga melaporkan bahwa ada 14.724 pengaduan tentang pelanggaran yang diajukan terhadap petugas dan personel PNP.
Menekankan bahwa kampanye anti-narkoba telah "secara signifikan meningkatkan" perdamaian dan stabilitas Filipina, Salle berkata strategi tersebut mengurangi 30 persen kejahatan sejak Duterte berkuasa, membuat jalan-jalan, dan komunitas lebih aman. Demi meningkatkan transparansi, pemerintah menerbitkan hasilnya di media sosial dengan tagar #RealNumbersPH.
"Filipina memiliki tradisi panjang hak asasi manusia dan merupakan penandatangan delapan perjanjian inti HAM. Karena itu, Filipina telah berkomitmen untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi kewajiban perjanjian hak asasi manusianya," pungkasnya.

0 comments