Penyederhanaan Surat Suara Gagasan Progresif, Tapi Jangan Membingungkan

IVOOX.id, Jakarta - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan bahwa penyederhanaan surat suara pemilu merupakan gagasan yang progresif dan konstruktif.
"Ini merupakan salah satu jawaban atas kompleksitas dan kerumitan pemilu kita," kata Titi seperti dilansir Antara.
Kompleksitas pemilihan umum (pemilu) berdampak pada pada gangguan terhadap kemurnian suara pemilih.
Mengacu pada data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), tercatat sebanyak 17,5 juta suara yang dinyatakan tidak sah di pemilu DPR pada tahun 2019. Angka tersebut, kata Titi, telah melampaui standar toleransi suara tidak sah dalam praktik global. Adapun standar suara tidak sah berada pada kisaran 2-4 persen.
"Sedangkan pemilu DPR 2019 bahkan mencapai 11,12 persen (suara tidak sah, red)," tutur mantan Direktur Eksekutif Perludem ini.
Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa masyarakat membutuhkan penyederhanaan surat suara untuk mengatasi kompleksitas pemilu Indonesia. Khususnya, untuk memudahkan pemilih dalam memberikan suara dan memudahkan petugas dalam memahami intensi pemilih di surat suara.
Selain kerumitan surat suara, Titi Anggraini mengatakan bahwa terdapat faktor-faktor lain yang juga memengaruhi mudah atau tidaknya suara diberikan. Faktor-faktor tersebut adalah seberapa mudahnya pemilih mencapai tempat pemungutan suara, mutakhir tidaknya daftar pemilih, dan sejauh mana pemilih yakin bahwa suara yang diberikannya bersifat rahasia.
"Penyederhanaan surat suara hanya salah satu dari upaya untuk mengurai kerumitan pemilu kita," ucap Titi melanjutkan.
Meski demikian, Titi menyarankan agar penyederhanaan surat suara tidak bersifat terlalu fundamental.
"Sebaiknya penyederhanaan surat suara tidak mengubah tata cara pemberian suara," katanya.
Menurutnya perubahan yang terlalu fundamental akan menyulitkan pemilih dan membuat kebingungan baru, sehingga akan memerlukan simulasi dan sosialisasi yang masif.
Perubahan fundamental tersebut merujuk pada desain surat suara yang mengubah tata cara pemberian suara. Dari yang sebelumnya memberi suara dengan cara mencoblos, kini terdapat desain di mana pemilih akan menulis nomor urut calon atau menandai kolom calon sebagai cara untuk memberi suara.
Perubahan tata cara tersebut juga akan berbenturan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam UU tersebut, telah diatur mengenai tata cara pemberian suara, yaitu dengan cara dicoblos.
"Selama tidak ada perubahan UU atau pun Perpu, maka ketentuan yang ada di dalam UU No. 7 Tahun 2017 harus dipedomani oleh semua pihak, termasuk KPU,” ucap Titi menegaskan.

0 comments