Asosiasi Sebut Birokrasi Pro Impor Jadi Penyebab Sritex dan Puluhan Perusahaan Tekstil Tutup | IVoox Indonesia

May 1, 2025

Asosiasi Sebut Birokrasi Pro Impor Jadi Penyebab Sritex dan Puluhan Perusahaan Tekstil Tutup

phk-buruh-dan-karyawan-pt-sritex-280225-yud-7
Ilustrasi - Pekerja berjalan keluar pabrik melintas di samping patung pendiri Sritex HM. Lukminto di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/tom.

IVOOX.id – Penutupan massal perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT), termasuk Sritex, memicu gelombang kritik terhadap pemerintah. Kalangan industri menilai kebijakan yang cenderung mendukung impor telah menjadi faktor utama dalam runtuhnya sektor ini. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI ), Redma Gita Wirawasta, menuding pemerintah membiarkan industri tekstil nasional terpuruk akibat banjirnya produk impor murah dalam dua tahun terakhir.  

"Pemerintah sudah sangat paham bahwa masalah utama sektor TPT adalah masuknya barang impor murah, baik secara legal maupun ilegal. Jadi solusinya sudah jelas, kendalikan impor legal dan berantas praktik importasi ilegal melalui penegakan hukum dan perbaikan kinerja bea cukai," ujar Redma dalam keterangan resmi yang diterima ivoox.id Senin (10/3/2025). 

Ia menyoroti inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam mengendalikan impor. Menurutnya, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 yang awalnya bertujuan membatasi impor hanya berlaku selama tiga bulan sebelum akhirnya direlaksasi menjadi Permendag Nomor 8 Tahun 2024. 

"Apa lagi yang ilegal, pemerintah tutup mata bahkan enggan mengakuinya, seakan semua baik-baik saja, padahal ini terlihat jelas di lapangan," katanya. 

Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, mengungkapkan bahwa jumlah PHK yang terungkap selama ini hanya mencakup perusahaan menengah besar. Namun, dampak terbesar justru dirasakan oleh industri kecil dan menengah (IKM). 

"IKM yang tutup jumlahnya hampir mencapai 1.000 unit, dengan ratusan ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan," ujarnya. 

Nandi juga menyuarakan kekecewaan terhadap kinerja Kementerian Keuangan, terutama dalam pengawasan Bea Cukai. Menurutnya, praktik impor borongan dibiarkan berlanjut, sementara industri lokal justru menghadapi kenaikan pajak yang semakin membebani. 

"Ibu Menteri membiarkan jajarannya menjalankan praktik impor borongan, padahal negara sedang membutuhkan pendapatan untuk menjalankan program-programnya. Tapi barang impor dibiarkan masuk tanpa membayar bea masuk dan pajak," ujarnya. 

Ia juga menyinggung adanya kepentingan oknum birokrasi dalam kebijakan yang menguntungkan impor. 

"Permasalahan banjir impor ini memang sengaja dibiarkan karena banyak oknum birokrasi yang mendapatkan keuntungan dari praktik ilegal ini. Kami harap Presiden Prabowo segera membersihkannya," katanya. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, menyebut bahwa reformasi di sektor ini harus dimulai dari Kementerian Koordinator Perekonomian. 

"Agenda pengendalian impor selalu dihambat di sini. Bahkan sudah menjadi rahasia umum jika relaksasi impor yang mengubah Permendag 36 Tahun 2023 didorong dari kementerian ini," ujarnya. 

Ia mengkritik tindakan pemerintah yang justru melepas ribuan kontainer barang impor tak lama setelah aturan pembatasan impor dilonggarkan. 

"Selang sehari setelah Permendag 8 Tahun 2024 berlaku, Pak Menteri bersama Bu Menkeu dengan bangga melepas 17 ribu kontainer yang ijinnya bermasalah karena terhambat Permendag 36," ujarnya. 

Agus menambahkan bahwa Bea Cukai selama ini menjadi titik utama dalam praktik impor ilegal. 

"Kementerian Keuangan harus dibenahi, karena Bea Cukai telah menjadi muara dari praktik importasi ilegal," katanya. 

Menurut Agus, pembersihan Bea Cukai akan sulit dilakukan karena oknum yang terlibat sudah berada di berbagai lapisan, termasuk dugaan keterlibatan aparat penegak hukum. Ia pun mengusulkan agar Bea Cukai dibekukan seperti era Orde Baru dan diganti dengan sistem Pre-shipment Inspection (PSI). 

"Kedua kementerian ini yang menjadi biang kerok runtuhnya industri manufaktur padat karya, khususnya sektor tekstil. Ironi di negeri kita, para pejabatnya tidak tahu malu meski menjadi penyebab ratusan ribu rakyatnya kehilangan pekerjaan," katanya.

0 comments

    Leave a Reply