Pengamat Transportasi Sebut Penyalahgunaan jadi Alasan Sirene dan Rotator Diprotes Masyarakat | IVoox Indonesia

September 28, 2025

Pengamat Transportasi Sebut Penyalahgunaan jadi Alasan Sirene dan Rotator Diprotes Masyarakat

mobil patwal Polres Situbondo
Ilusterasi - Pendistribusian logistik Pilkada Serentak 2024 dari Gudang Logistik KPU Situbondo, jawa Timur, dikawal mobil patwal Polres Situbondo. Sabtu (23/11/2024). ANTARA/HO-Humas Polres Situbondo

IVOOX.id – Sirene dan rotator, atau yang lebih akrab disebut strobo, sejatinya dirancang sebagai alat peringatan darurat untuk kendaraan tertentu seperti ambulans, pemadam kebakaran, dan kepolisian. Namun, penggunaannya di jalan raya justru kerap menimbulkan polemik. Tidak sedikit masyarakat merasa terganggu, bahkan menolak keberadaan alat ini karena sering dipakai tidak sesuai aturan.

“Sirene dan rotator, yang dikenal sebagai strobo, adalah alat yang dirancang untuk memberikan peringatan darurat. Namun, penggunaan yang tidak tepat seringkali membuat masyarakat menolaknya. Masyarakat sudah cukup gerah dengan kebisingan di jalanan,” ujar Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat kepada ivoox.id Senin (22/9/2025).

Menurut Djoko, ada beberapa alasan utama yang membuat strobo dan sirene kerap ditolak. Pertama adalah penyalahgunaan. Banyak masyarakat melihat kendaraan pribadi maupun pejabat yang bukan dalam keadaan darurat menggunakan sirene hanya untuk menerobos kemacetan. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa strobo menjadi simbol hak istimewa, bukan lagi sarana keselamatan publik.

Alasan kedua adalah gangguan kenyamanan akibat kebisingan. Suara sirene yang nyaring, terutama di area padat penduduk atau saat malam hari, sering memicu stres, kecemasan, hingga mengganggu waktu istirahat masyarakat.

Ketiga, regulasi yang ada dinilai kurang tegas. Walau Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 sudah mengatur dengan jelas kendaraan yang berhak menggunakan sirene dan rotator, penegakannya masih lemah. Kondisi ini membuka ruang bagi banyak pelanggaran.

Akibat dari penyalahgunaan tersebut, kepercayaan publik terhadap sistem darurat ikut menurun. Saat mendengar sirene, masyarakat sering ragu apakah itu betul-betul situasi darurat atau hanya kendaraan yang ingin mencari jalan pintas.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 sebenarnya sudah mengatur urutan prioritas kendaraan di jalan, mulai dari pemadam kebakaran, ambulans, hingga kendaraan pengantar jenazah. Kendaraan dengan hak utama wajib dikawal polisi dan dilengkapi lampu serta sirene resmi. Namun, sanksi pelanggaran yang hanya berupa kurungan maksimal satu bulan atau denda Rp250 ribu dianggap terlalu ringan. Djoko menilai sanksi ini perlu direvisi agar ada efek jera yang nyata.

Di tengah situasi lalu lintas yang padat, Djoko menegaskan bahwa pengawalan sebaiknya hanya diberikan untuk Presiden dan Wakil Presiden. Pejabat lain, menurutnya, tidak perlu memperoleh fasilitas khusus semacam itu.

Penertiban penggunaan sirene dan rotator oleh Kakorlantas Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho mendapat apresiasi karena dianggap sebagai langkah awal untuk mengembalikan fungsi strobo ke jalurnya. Namun, Djoko mengingatkan agar kebijakan itu tidak bersifat sementara. Tanpa penegakan yang konsisten, masalah penyalahgunaan sirene dan rotator akan terus menciptakan ketidakadilan, mengganggu kenyamanan, dan merusak esensi keselamatan lalu lintas.

0 comments

    Leave a Reply