April 30, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Pemulihan Harga Migas

Pemulihan Harga Minyak Mentah, Kunci Utama Pengembangan Bisnis Migas

iVooxid, Jakarta-Pemulihan bisnis industri minyak dan gas bumi (migas) hingga kini masih terasa berat. Pasalnya, pemulihan di sektor ini harus berawal dari perbaikan harga minyak dan peningkatan belanja modal (capex) perusahaan-perusahaan migas berskala besar. Perbaikan harga minyak tergantung pada keberhasilan konsolidasi industrinya melalui proses merger dan akuisisi, kemampuan perusahaan migas besar meningkatkan capex-nya, peningkatan utilisasi penggunaan rig serta kemampuan perusahaan kapal penunjang kegiatan lepas pantai untuk mengganti armada kapal-kapal tuanya. Demikian diungkapkan William Simadiputra, analis DBS Group Research.

Dalam laporan riset edisi September 2016, William mengemukakan, penurunan harga

minyak sejak pertengahan 2014 telah memaksa perusahaan migas untuk memangkas belanja modal karena tingginya biaya produksi. Penurunan harga minyak dan pemangkasan belanja modal tersebut dapat menjadi risiko yang mengancam pemulihan di sektor industri migas dalam jangka panjang. Pasalnya, harga minyak yang rendah dapat menghambat perusahaan-perusahaan migas untuk menaikkan dana investasi mereka.

Saat ini, harga minyak cenderung meningkat ke kisaran US$ 45-50 per barel, atau lebih tinggi dibanding perkiraan pada awal 2016 sebesar US$ 43 per barel. Pada tahun depan dan awal 2018, harga minyak diperkirakan bergerak pada kisaran US$ 50-55 per barel dan US$ 60-65 per barel. Meski demikian, sektor industri migas tetap tidak mudah untuk merealisasikan perkiraan-perkiraan harga tersebut.

Ketika harga minyak naik, demikian William, maka perusahaan yang akan langsung menikmati hasilnya adalah mereka-mereka yang bergerak di bisnis eksplorasi dan produksi migas. Sedangkan bagi perusahaan pengolahan minyak, kenaikan tersebut dapat menurunkan marjin keuntungan. Meski demikian, penurunan tersebut dapat ditutup oleh melimpahnya stok minyak mentah yang dibeli ketika harga minyak rendah.

Hal serupa juga bakal dialami oleh berbagai perusahaan penyedia jasa rig dan perkapalan. Pasalnya, mereka masih akan menghadapi ketidakpastian permintaan dalam satu hingga dua tahun kedepan. Ketika harga minyak naik, perusahaan-perusahaan migas besar pada umumnya akan menggelontorkan stok minyaknya untuk memenuhi kebutuhan pasar tanpa harus melakukan eksploitasi terlebih dahulu. Kondisi ini diperkirakan akan berlangsung antara satu hingga dua tahun kedepan mengingat tingginya stok minyak yang ditimbun mereka ketika harga masih rendah.

Meski demikian, menurut William, sektor industri migas di Indonesia masih memiliki daya tahan yang tinggi di tengah penurunan harga minyak global. Kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas menjalankan strategi efisiensi. Itu diharapkan dapat menurunkan biaya produksi yang kini mencapai US$25 per barel. Kemudian para kontraktor tersebut juga akan memusatkan perhatiannya pada blok migas yang menguntungkan serta menunda rencana produksi blok migas berbiaya tinggi, terutama di kawasan lepas pantai (offshore). Di sisi lain, efisiensi menekan marjin perusahaan jasa kontraktor dan dan kapal penunjang kegiatan lepas pantai karena penurunan kontrak.

Namun tantangan terbesar yang dihadapi industri migas di Indonesia adalah ketidakpastian politik dengan berbagai kebijakannya. Selain itu, pemerintah masih lambat mereformasi tata kelola migas. Padahal, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan dalam situasi seperti ini. Masalahnya, upaya pemerintah untuk melaksanakan berbagai kebijakan dan reformasi energi hingga kini pun belum optimal mendorong produksi migas nasional. Karena itu, kedua faktor tersebut tampaknya akan menjadi risiko utama industri migas nasional di masa depan.[abr]

0 comments

    Leave a Reply