Pembahasan RKUHAP Dinilai Formalitas dan Minim Partisipasi | IVoox Indonesia

August 2, 2025

Pembahasan RKUHAP Dinilai Formalitas dan Minim Partisipasi

280725-Poster Semua Bisa Kena
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar Presiden dan DPR menghentikan dan menarik kembali pembahasan RKUHAP. Pembahasan ini dinilai sekadar formalitas dan minim partisipasi. IVOOX.ID/Poster: YLBHI

IVOOX.id – Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi, praktisi, dan organisasi masyarakat sipil.

Dalam agenda bertajuk “Akademisi dan Praktisi Menggugat RKUHAP 2025: Revisi KUHAP untuk Siapa?” yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 21 Juli 2025, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mempertegas kritik terhadap proses revisi RKUHAP yang dinilai jauh dari cita-cita reformasi hukum.

Agenda ini dihadiri oleh sepuluh akademisi dan praktisi hukum dari berbagai institusi, terbagi dalam dua sesi dialog yang dimoderatori oleh Asfinawati dari STHI Jentera dan Iftitah Sari dari ICJR. Para pembicara menyampaikan analisis kritis atas proses pembahasan RKUHAP, baik dari sisi prosedural maupun substansi.

“Rapat Dengar Pendapat Rakyat ini adalah bentuk perlawanan untuk melawan narasi RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum). Kenapa Koalisi Masyarakat Sipil akhir-akhir ini tidak mau datang ke RDPU? Karena setiap pertemuan seringkali diklaim sebagai RDPU,” tegas Bivitri Susanti dari STHI Jentera.

Sorotan tajam datang dari Wakil Ketua Umum DPN Peradi, Ifdhal Kasim. Ia menyebut penyusunan RKUHAP dilakukan dengan paradigma yang bertentangan dengan prinsip keadilan (due process of law). “Penyusunan RKUHAP ini, walau disebutkan berbasis pada due process of law, disusun dengan paradigma crime control, yaitu bagaimana proses penanganan perkara berjalan dengan efektif tanpa terlalu banyak sanggahan yang berasal dari advokat maupun dari tersangka,” kata Ifdhal.

Dalam paparannya, Aristo Marisi Adiputra Pangaribuan dari Universitas Indonesia menyoroti kaitan antara ideologi negara dan hukum acara pidana. “Hukum Acara Pidana itu refleksi dari ideologi negara. Permasalahan seperti keseimbangan, akses, proteksi, praperadilan, ini merupakan gejala sebuah persoalan fundamental ideologi,” jelasnya.

Dominique Nicky Fahrizal dari CSIS menambahkan bahwa pembahasan RKUHAP mencerminkan kecenderungan legislasi yang minim partisipasi. “Fenomena legislasi kilat yang minim partisipasi publik ini berakar dari normalisasi kedaruratan yang terjadi karena kondisi darurat dikelola secara terus menerus dan menjadi bagian dari pembentukan aturan dan kebijakan,” katanya.

Adapun Choky R. Ramadhan dari Universitas Indonesia mempertanyakan penegakan hukum yang timpang, terutama dalam konteks internal kepolisian.

“Menegakkan hukum tidak hanya menghukum pelaku di luar kepolisian tetapi juga menghukum anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana. Orang yang seharusnya dihukum dengan tindak pidana tapi justru terkena etik, apakah kita membiarkan pelaku tindak pidana bergerak bebas? Jika demikian, di mana tugas polisi dalam menegakkan hukum?” papar Choky.

Kritik lain disampaikan oleh Ahmad Sofian dari ASPERHUPIKI. “Pembahasan RKUHAP ini hanya sekedar formalitas belaka, jauh dari cita-cita pembaharuan. Prosesnya, substansinya, dan cita-cita yang ingin dibangun itu tidak jelas. RKUHAP gagal dalam mengintegrasikan semangat progresif KUHP,” katanya.

Satria Unggul Wicaksana Prakarsa dari KIKA menilai RKUHAP justru menciptakan ketidakpastian hukum. “RKUHAP memiliki kekosongan-kekosongan hukum yang kemudian jadi cikal bakal masalah kenapa ekonomi kita tidak pernah berkembang. Akar masalahnya adalah kepastian hukum. Faktor-faktor perilaku koruptif justru menciptakan ketakutan investor,” katanya.

Dari sisi perlawanan sipil, Mamik Sri Supatmi dari Universitas Indonesia mengingatkan pentingnya terus bersuara. “Kekuatan sipil adalah satu satunya harapan, sepelan apa pun suara yang kita sampaikan adalah suara perlawanan, cahaya perlawanan. Jadi teruslah kita bersuara, perubahan bisa dilakukan dimulai dengan membuat aparat yang lebih humanis,” katanya.

Desakan untuk Mengulang Proses

Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar Presiden dan Ketua Komisi III DPR RI menghentikan dan menarik kembali pembahasan RKUHAP. Mereka meminta agar proses dirancang ulang dengan melibatkan publik secara luas, termasuk universitas, lembaga negara, organisasi bantuan hukum, hingga korban penyalahgunaan kewenangan aparat

Desakan serupa juga datang dari YLBHI dan jaringan LBH se-Indonesia yang mengeluarkan siaran pers pada hari yang sama. YLBHI menilai pembahasan RKUHAP dilakukan secara ugal-ugalan dan penuh pelanggaran terhadap prinsip negara hukum serta hak asasi manusia.

YLBHI juga mencatat pembahasan 1.676 daftar isian masalah hanya berlangsung dalam dua hari, tanpa diskusi publik yang memadai dan partisipasi bermakna. Draf RKUHAP pun dinilai muncul tiba-tiba tanpa kejelasan asal-usul dan tanpa keterlibatan substansial dari para ahli yang diundang.

YLBHI bersama Koalisi Masyarakat Sipil mengidentifikasi 11 persoalan krusial dalam draf RKUHAP, di antaranya:

Dominasi Polri dalam penyidikan dan penyidik non-Polri hanya dikecualikan untuk KPK, Kejaksaan, dan TNI; Penyidik dari semua matra TNI diizinkan menangani tindak pidana umum; Penangkapan oleh polisi dapat berlangsung hingga 7 hari, lebih buruk dari KUHAP sebelumnya; Penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan dapat dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan mendesak yang bersifat subjektif.

Selain itu mekanisme pengaduan masyarakat terhadap penyidik tidak independen dan hanya berada dalam struktur internal kepolisian; Bantuan hukum terbatas dan tidak menyentuh kelompok rentan; Hak tersangka memilih kuasa hukum sendiri dihapus dan diganti dengan penunjukan oleh penyidik.

Atas dasar temuan dan kekhawatiran tersebut, YLBHI mendesak agar seluruh proses penyusunan dan pembahasan RKUHAP diulang secara menyeluruh dengan melibatkan seluruh elemen bangsa secara terbuka dan bermakna.

Di sisi lain, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengklaim bahwa seluruh tahapan pembahasan KUHAP berjalan sesuai mekanisme yang diatur, dengan prinsip transparansi dan keterbukaan sebagai pedoman utama.

“Proses penyusunan RUU KUHAP ini dimulai dari rapat kerja dengan Pemerintah, diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Sekretaris Negara, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam rapat Panitia Kerja (Panja). Karena perubahan DIM hanya sekitar 20 persen, pembahasan di Panja dapat diselesaikan dalam waktu dua hari,” jelas Habiburokhman dalam konferensi pers terkait KUHAP yang digelar di Ruang Rapat Komisi III, Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (14/7/2025).

Lebih lanjut, Legislator Fraksi Partai Gerindra tersebut menerangkan bahwa Panja terdiri dari perwakilan partai politik secara proporsional, mencerminkan susunan keanggotaan di Komisi III. Setelah tahap Panja, pembahasan masuk ke Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) yang bertugas melakukan penyesuaian redaksional terhadap pasal-pasal, termasuk koreksi tanda baca, penyelarasan paragraf, hingga perapihan format.

“Timus dan Timsin ini bekerja secara teknis, terdiri dari Tenaga Ahli Komisi III, Sekretariat Komisi, Badan Keahlian DPR, serta tim teknis dari Kementerian Hukum dan HAM. Saat ini mereka telah menyelesaikan batang tubuh RUU dan sedang merampungkan bagian penjelasan,” imbuhnya.

Setelah seluruh dokumen lengkap, draf RUU akan kembali diserahkan ke Panja untuk finalisasi.

 

Penulis: Diana

Kontributor

0 comments

    Leave a Reply