Pelajaran Makrifat dari Guru Kobayashi | IVoox Indonesia

May 16, 2025

Pelajaran Makrifat dari Guru Kobayashi

SS Film TOTTO-CHAN_THE LITTLE GIRL AT THE WINDOW
Tangkapan layar Film Totto-Chan: The Little Girl at The Window. IVOOX.id/akbar

BEBERAPA hari lalu saya bersama keluarga tercinta pergi ke bioskop untuk menonton sebuah film animasi yang sudah cukup lama kami tunggu-tunggu: Totto Chan.

Saya amat bersuka cita dengan kehadiran film animasi ini, maklumlah, sudah cukup lama saya membaca bukunya, dan begitu terinspirasi tentang banyak hal terkait konsep pendidikan yang termaktub secara lugu dan disampaikan secara lugas oleh Tetsuko Kuronayagi penulis sekaligus aktor utama dalam kisah di buku itu.

Ya, Kuronayagi adalah si gadis kecil di jendela, alias Totto Chan. Kuroyanagi adalah seorang aktris dan pembawa acara talk show Jepang yang terkenal secara internasional. Dia juga mendirikan Totto Foundation, yang diberi nama berdasarkan nama tokoh protagonis otobiografinya dan eponymous dari bukunya.

Membaca buku dan melihat filmnya membuat saya terpukau oleh metoda pendekatan Pak Sosaku Kobayasi, selaku kepala sekolah yang mau menerima Totto chan dengan senang hati.

Sekolah Tomoe Gakkuen tidak seperti sekolah pada umumnya, Tomoe gakuen adalah sekolah dengan ruang kelas yang terbuat dari gerbong kereta api yang sudah tidak dipakai lagi.

Pak kepsek Kobayashi memperlihatkan kompetensi psikologis seorang guru yang luar biasa, ia mengajarkan konsep assertiveness yang ditandai dengan kemampuan mengungkapkan apa yang dirasakan, sekaligus mau mendengar dan menerima.

Hingga murid-murid beliau yang diajak berkomunikasi dan berdiskusi berani dan mampu mengungkapkan gagasan-gagasan, pemikiran, sampai keluhan dan kekhawatiran, tanpa ragu dan takut salah. Konsep belajar merdeka juga beliau terapkan di kelas-kelas Tomoe Gakuen. Setiap murid boleh belajar apa saja sesuai dengan keinginan mereka pada saat masuk ke kelas. Ada pula kelas-kelas yang dirasa amat menyenangkan oleh murid-murid, misal kelas euritmic yang memadukan kecerdasan kognisi, afeksi, dan konasi. Musik mengalir gerak berirama sesuai alunan lagu berpadu riang dengan tawa yang gembira, sungguh obat penyubur bagi rerimbunan perdu jiwa.

Kelebihan Pak Kobayashi di Tomoe Gakuen ini antara lain maujud dalam kemampuan dan niat baiknya dalam menumbuhkan harapan serta pokok-pokok kokoh impian para murid-muridnya. Beliau selalu percaya bahwa setiap muridnya dapat menjadi apa saja sesuai dengan keinginan dan mimpi-mimpi mereka.

Efek prasangka baik Pak Kobayashi ini lah yang mungkin membuat seseorang tergerak untuk berubah menjadi pribadi yang "fit" dengan prasangka baik tersebut. Dalam ilmu psikologi efek itu dikenal sebagai Pygmalion effect.

Efek Pygmalion adalah fenomena di mana harapan atau ekspektasi seseorang terhadap individu lain dapat memengaruhi kinerja individu tersebut. Dengan kata lain, jika seseorang diharapkan berhasil, mereka cenderung lebih mungkin untuk berhasil, dan sebaliknya. Efek Pygmalion juga dikenal sebagai efek harapan guru dalam konteks pendidikan, karena sering kali diamati dalam hubungan antara guru dan murid.

Secara neurologis, efek Pygmalion dapat dipahami melalui konsep plastisitas otak. Plastisitas otak merujuk pada kemampuan otak untuk berubah dan menyesuaikan diri sebagai respons terhadap pengalaman dan lingkungan.

Ketika seseorang menerima harapan konstruktif atau dorongan dari orang lain, ini akan mempengaruhi motivasi, kapasitas percaya diri, dan persepsi diri, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi aktivitas dan pengorganisasian struktural di otak.

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa harapan atau ekspektasi yang diberikan oleh orang lain dapat memengaruhi aktivitas otak. Sebagai contoh, sebuah studi yang dilakukan oleh J.C. Wager dan koleganya (2004) menemukan bahwa ketika partisipan yang diharapkan merasakan rasa sakit dengan intensitas lebih rendah, maka aktivitas di area otak yang terkait dengan persepsi rasa sakit menurun.

Pendekatan berbasis akomodasi harapan itu pula yang pada gilirannya akan membawa seorang manusia untuk berupaya menikmati dan mensyukuri segenap jalan hidupnya, sehingga hidup menjadi aliran waktu yang tak sekedar memusar tapi larut dalam thawaf semesta yang memutar melingkar-lingkar, dan berpendar di seputar nalar sadar yang berakar pada kerinduan tak tertakar.

Lalu pengalaman belajar itupun bertransformasi menjadi sebuah petualangan spiritual. Terlepas dari penjara konseptual yang cenderung tekstual, pembelajar merdeka akan kembali pada hal-hal yang paling fundamental.

Studi neuroimaging telah menunjukkan bahwa pengalaman spiritual bisa melibatkan berbagai area di otak, termasuk lobus frontal, lobus parietal, dan sistem limbik. Penelitian oleh Newberg dan dkk. (2001) dengan menggunakan tomografi positron (PET) menunjukkan bahwa pengalaman spiritual melibatkan aktivitas yang signifikan di lobus parietal, yang mereka gambarkan sebagai perasaan kehampaan diri (suwung) atau kehilangan batasan ego, kondisi keakuan yang melebur ke dalam ke-AKU-an.

Terkait mengalir dan kosong atau suwung ini jika terjebak teori yang kemudian disertai indikasi tereduksi aspek rasanya yang sejatinya akan tumbuh secara afdhol jika dihayati.

Demikian pula values, jika kita mendefinisikan nilai dan menjadikan deskripsinya sebagai acuan baku, maka dinamisitas dan volatilitas adaptif yang menjanjikan mekanisme keselarasan yang berkesinambungan akan melambat dan mungkin terhambat karena tata nilai berhenti bertumbuh.

Karena value itu genetik yang harus diekspresikan melalui serangkaian proses transkripsi dan translasi yang bersifat menyerap dinamika perubahan pada media hidup atau semesta.

Sejalan dengan konsep transendensi dalam konteks melampaui segenap kesadaran yang bersifat relatif karena sifatnya yang bergantung kepada perspektif dan desakan kebutuhan serta hasrat dan keinginan yang menjadi afirmasi ataupun proyeksi idealisme subjektif yang bersifat lokal, relatif, dan mengandung bias perseptif.

Apa persepsi kita tentang hidup? Maka konstruksi bahagia relatif akan mulai dibangun dari fondasi itu. Ada orang yang berbahagia dengan pertanyaan yang tak berkesudahan, ada pula yang berbahagia dengan rasa kenyang dan berkecukupan, pun ada yang berbahagia dengan tidak tahu apa-apa atau juga tidak ingin apa-apa.

Dari setiap kondisi itu ada faktor kontribusinya masing-masing. Yang diam saja punya kontribusi, yang terus bertanya seperti Nabi Musa dan Socrates punya kontribusi.

Yang merasa bahagia belum tentu yang kita kira bahagia. Yang kita kira bahagia bisa saja memang bahagia, atau juga tidak bahagia.

Mungkin memberi dan menerima itu nilai dan kontribusi, karena memberi bisa dihayati dan menerima itu bisa jadi ekpresi jembaraning ati untuk mau berbagi oportuniti bagi kebaikan yang memerlukan objek penerima kebaikan, dan seterusnya. Maka manusia sah-sah saja marah dan lelah. Karena dalam memainkan perannya ada banyak hal di luar kuasa dan kehendaknya. Yang jahat mengapa menjadi jahat, tak punya kuasa kita menetapkan definisi atasnya. Apakah kita kecewa dengan sikap dan kehadiran berbagai hal/kondisi yang tidak ideal bagi kita itu? Sekali lagi kita boleh saja marah, kecewa, sedih, gundah, gulana, cemas, dan khawatir, karena itu semua sifat yang dikaruniakan Allah. Karena dengan sedih, marah, dan kecewa itulah kita punya referensi tentang rasa yang ingin kita rasakan dan keinginan untuk merasakan itu pada gilirannya akan kita proyeksikan sebagai sebentuk empative projection pada orang lain.

Kita dengan sedikit sotoy menjadi seolah tahu apa yang orang lain ingin rasakan. Seperti game theory yang setelah lelah menebak isi pikiran orang dalam pusar ketidakpastian, lebih baik dengan cerdas menisbatkan pada ilmu statistika dengan pendekatan probabilitasnya yang lebih deterministik dan mekanistik.

Karena peluang itu sifatnya determinan, punya kemungkinan berulang dengan derajat ketidakpastian yang setelah berulang-ulang pada gilirannya akan diketahui pola dan alur pastinya.

Maka hidup itu adalah kepastian, seperti juga kematian. Pasti tidak tahunya dan pasti tidak pastinya. Karena siklus dalam hidup itu bukan pilihan, ia kepastian yang melahirkan ketidakpastian dalam konteks pengamatan.

Ada heavy rotation-nya JKT 48 yang dari awal lagu sampai akhir kita bisa pelajari, hafalkan, dan bahkan ikuti, karena rotasinya singkat dan teramati. Observeable circle. Tetapi ada sirkel amat besar yang secara subjektif tak mampu kita amati karena kita hidup terlalu singkat dan punya entitas fisik serta kapasitas intelijensia terlalu kecil untuk bisa melihat keseluruhan siklus yang sangat besar, maka bagi kita siklus itu menjadi tidak pasti. Tepatnya tak terdefinisi dan kita nisbatkan sebagai relativitas di luar akal budi. Bukan lagi heavy rotation-nya JKT 48, ia berubah menjadi bianglala misteri yang menawarkan sebuah perjalanan ghoib yang dipenuhi ketidaktahuan. Pada saat itulah manusia (baca: kita) mengalami turbulensi identitas diri, serta "muntah-muntah" karena menderita morning sickness saat ngidam akan pengetahuan dan pencerahan.

Karena yang didapati adalah lapis-lapis ketidakpastian yang menawarkan algoritma-algoritma tanpa pilihan. Algoritma tanpa bayangan. Karena apapun jalan yang kita ambil kita akan kembali pada titik dimana kita memulai pertanyaan. Pilihan yang mengembalikan. Pilihan yang menihilkan proses. Pilihan yang membunuh waktu. Pilihan yang melipat ruang. Pilihan yang menisbikan sifat nisbi. Dimana keberadaan atau being adalah definisi yang relativus, bisa ditegakkan jika "berhubungan dengan".

Dengan siapa? Jika kita tidak terhubung maka semua konstruksi relativus akan pupus bukan?

Maka tidak penting lagi perkara memberi dan menerima, karena menerima adalah memberi bukan? Memberi peluang, kesempatan, dan ruang untuk berbagi. Maka baik ya baik saja tanpa tujuan, karena jika bertujuan maka tujuan akan menjadi niat bukan?

Ini esensi becoming, menjadi apa? Ya tidak menjadi apa-apa karena kita kan bukan apa-apa. Karena hanya satu yang APA dan ADA, dan kita bukan yang ADA, lalu mau jadi apa? Karena kalau kita mau jadi apa, ya kita takkan pernah bisa. Kecewanya menjadi dunia dan berubah menjadi semesta kita, bukan semesta nyata. Maka kita tersesat di semesta. Semesta kita, bukan semesta yang nyata.

Maka pendidikan yang memerdekakan dan prasangka baik yang membangunkan harapan (efek Pygmalion) adalah keniscayaan untuk memberi kesempatan jiwa-jiwa nan cerdas untuk menjalani hidup dengan ikhlas. Tidak terburu-buru menghakimi, tidak tergesa-gesa memaknai secara denotatif dan konotatif pada berbagai fenomena yang menerpa indera.

Menjadi manusia yang melambat hingga tak berkejaran dengan hasrat, sekaligus tidak terjerat oleh jejaring syahwat yang kuat melekat.

Manusia pemulung syafaat yang terus menghadirkan manfaat dan menjadi jalan selamat bagi individu dan masyarakat.

 

Penulis: Tauhid Nur Azhar

Ahli neurosains dan aplikasi teknologi kecerdasan artifisial, SCCIC ITB/TFRIC-19.

0 comments

    Leave a Reply