October 6, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Pasal Karet Jerat Baiq Nuril, Mendesak Revisi UU ITE

IVOOX. id, Jakarta -  Perjalanan mencari keadilan bagi korban pelecehan seksual, Baiq Nuril berakhir dengan amnesti dari Presiden. Ini upaya terakhir yang bisa dilakukan, agar Baiq Nuril dapat bebas dari hukuman penjara. “Yang paling dimungkinkan amnesti. Karena grasi menurut UU No.22 tahun 2002, Junto No.5 tahun 2010 kalau grasi itu minimal hukumannya 2 tahun,” kata Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM. 

Tetapi amnesti sebenarnya tidak menghilangkan keputusan pengadilan bahwa Baiq Nuril bersalah. Ini ironis, karena Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual namun berbalik harus menjadi pesakitan bersalah sebagai penyebar konten asusila berdasarkan UU ITE. Yasonna menilai ini bukan kasus kecil. Sebab Baiq Nuril mewakili korban pelecehan dan kekerasan seksual yang selama ini diam karena takut melaporkan kasusnya. “Ini adalah menyangkut rasa keadilan yang dirasakan oleh baik Ibu Nuril, dan banyak wanita-wanita lainnya,” katanya.

Jika tidak ditangani dengan serius, kekalahan Baiq Nuril akan menjadi contoh buruk bagi penegakkan hukum korban pelecehan seksual. “Ada mungkin ratusan, ribuan, ratusan ribu wanita-wanita korban kekerasan atau pelecehan seksual tidak berani bersuara. Karena takut bisa-bisa kalau mengadu, aku yang dikorbanin,” tambah Yasonna.

Seperti diketahui, Baiq Nuril saat menjabat guru honorer di SMAN 7 Mataram, NTB dilaporkan ke polisi oleh atasannya, Kepala Sekolah SMAN 7 Muslim. Baiq Nuril dituduh telah mempermalukan Muslim karena merekam percakapan dengan dirinya. Dalam percakapan tersebut Muslim secara vulgar menceritakan pengalaman seksnya.

Dalam kasus ini Baiq Nuril dijerat Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal ini menurut catatan SAFEnet kerap kali menjadi pasal karet untuk menjerat ekspresi seseorang menjadi unsur pidana.

Momentum Evaluasi Pasal Karet

“Pasal-pasal ini telah banyak digunakan untuk melawan ekspresi yang sah dalam standar hak asasi manusia internasional dan keberadaannya akan menggerus kebebasan berekspresi di Indonesia,” kata Koordinator Regional SAFEnet, Damar Juniarto dalam keterangan persnya.

SAFEnet mencatat periode 2008 – 2019 (Juli) sedikitnya 269 laporan terkait dengan pasal-pasal karet untuk memberangus kebebasan ekspresi seseorang. Pasal-pasal yang dimuat antara lain berkenaan dengan tuduhan pencemaran nama baik atau penghinaan (defamasi), pengancaman, penodaan agama, dan menyebar kebencian. 

Berdasarkan data yang telah diolah independen.id, pelaporan paling banyak digunakan adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Pasal ini berisi “melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Sementara itu, pasal lain yang tak kalah banyak digunakan untuk mengganjal kebebasan berekspresi adalah Pasal 310 dan 311 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Biasanya pelapor menggunakan pasal ini satu paket dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Pasal selanjutnya, adalah Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Pasal ini berisi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Salah satu kasus yang cukup besar dalam penjeratan kasus ini adalah Basuki Tjahaja Purnama saat perhelatan Pilkada Jakarta 2017 lalu.

“Sedari semula untuk mengatur informasi dan transaksi di internet, tapi kemudian pada praktiknya regulasi di internet ini digunakan untuk mengekang kebebasan ekspresi di Indonesia,” kata Damar dalam keterangan tertulisnya di situs SAFEnet.

Damar juga menjelaskan, UU ITE pasal 27 ayat 3 – mengorbankan banyak warga sipil yang mengkritik penguasa, aktivis, jurnalis, whistleblower, lalu UU ITE pasal 28 ayat 2 lebih banyak digunakan untuk memenjarakan mereka yang mengaku atheis atau dari kelompok minoritas agama. 

Selain itu akibat tersebarnya hoax politik, terjadi pembungkaman ekspresi bari mereka yang dianggap menghina presiden dan lembaga pemerintahan dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE. 

“Lalu pasal 28 ayat 2 UU ITE digunakan untuk orang yang distigma sebagai penista agama/penghina ulama,” lanjut Damar.

0 comments

    Leave a Reply