Pakar Sebut Layanan Angkutan Umum Perkotaan Butuh Intervensi Pemerintah

IVOOX.id - Pembenahan layanan angkutan umum perkotaan di Indonesia membutuhkan partisipasi berbagai pihak. Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, menekankan pentingnya intervensi pemerintah dengan kolaborasi lintas kementerian dan lembaga untuk membenahi layanan angkutan umum perkotaan.
"Membenahi angkutan umum jangan berhenti hanya di Kementerian Perhubungan. Keikusertaan Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri juga diperlukan. Dan tidak kalah pentingnya alokasi anggaran dari Kementerian Keuangan untuk keberlangsungannya dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK)," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima ivoox.id Senin (8/7/2024).
Djoko mengatakan tantangan dalam membenahi angkutan umum di Indonesia sangat besar. Contoh nyata adalah Kota Semarang yang memerlukan waktu lima tahun untuk mengoperasikan Bus Trans Semarang sejak dirintis pada 2005. Bus Trans Jateng, yang mulai beroperasi pada 2017, memerlukan waktu delapan tahun sejak 2009 untuk kajian, perencanaan, sosialisasi, hingga pengalokasian anggaran. Program Pembelian Layanan (buy the service/BTS) yang dirintis sejak akhir 2017 baru efektif beroperasi pada Juni 2020.
"Semua itu membutuhkan proses dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Itu pun Program BTS hingga sekarang masih harus dilakukan proses penyempurnaan agar mendapatkan model yang tepat dalam mengelola angkutan umum bersubsidi di Indonesia," kata Djoko.
Untuk mewujudkan angkutan umum yang humanis, Djoko menekankan bahwa masalah sosial lebih mengemuka ketimbang persoalan teknis. Melibatkan operator eksisiting lebih tepat meski memerlukan waktu untuk meyakinkan. Selain ketersediaan anggaran, kemauan politik (political will) kepala daerah juga sangat penting.
"Proses menggeser lebih tepat ketimbang menggusur operator yang ada. Menggeser praktik pengemudi dari setoran menjadi mendapat gaji bulanan. Dari manajemen perorangan menjadi angkutan umum berbadan hukum sesuai Amanah pasal 139 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Memilih bentuk koperasi dianggap lebih tepat, sehingga sekumpulan kendaraan milik pribadi dapat diakomodir," katanya.
Djoko juga menggarisbawahi bahwa layanan angkutan umum tidak bisa berdiri sendiri. Layanan yang ada harus didukung dengan edukasi, teladan, dan insentif-insentif untuk meningkatkan ridership.
"Kurang tepat kita hanya fokus pada satu sisi saja. Ada tiga faktor untuk edukasi angkutan umum, yaitu dukungan komunitas, komunikasi media, dan endorsements pemerintah. Jangan serahkan sepenuhnya masalah edukasi kepada pemerintah karena pasti tidak jalan. Peran serta masyarakat sadar jauh lebih penting," tambahnya.
Rendahnya pelayanan angkutan umum perkotaan di tengah ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi berpotensi mengurangi jumlah angkutan umum yang beroperasi. Banyak kota menanti kematian angkutan perkotaan secara bergiliran. Djoko menyebut beberapa kota kecil seperti Kediri dan Tanjung Pandan sudah tidak memiliki layanan angkutan umum.
"Intervensi pemerintah sangat diperlukan untuk menghindari kegagalan pasar layanan angkutan perkotaan," ujar Djoko.
Sejak tahun 2020 hingga 2024, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat menerapkan Program Pembelian Layanan (Buy the Service) di 10 kota. Data dari Direktorat Angkutan Jalan (Juni 2024) menunjukkan berbagai kota telah mengoperasikan layanan angkutan umum dengan berbagai koridor dan jumlah bus yang beragam.
Langkah awal sudah dilakukan, namun masih perlu upaya lain mencari pendanaan pengoperasian angkutan umum selain APBN/APBD.
Djoko menyarankan pengenaan tarif penumpang dan iklan, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), retribusi parkir, Tanggung Jawab Lingkungan Sosial (TJLS) BUMN, Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan swasta, alokasi angkutan pelajar dari Dana Pendidikan, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Angkutan Darat dari Kementerian Keuangan.

0 comments