October 19, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Pakar Khawatirkan Politik Bansos Terulang di Pilkada 2024, Pintu Masuk Politik Dinasti dan Nepotisme

IVOOX.id - Penyelenggaraan Pemilu 2024 lalu mendapatkan banyak kritikan dari berbagai lembaga pemantau pemilu karena dianggap sebagai pemilu terburuk sepanjang sejarah pasca-reformasi dengan banyaknya catatan negatif dalam pelaksanaannya. Pengamat khawatir terulang kembali dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Koordinator Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, mengingatkan bahwa praktik politik bantuan sosial (bansos), politik uang, dan pengerahan aparatur negara secara masif yang terjadi di Pemilu 2024, jika terulang di Pilkada 2024, akan menjadi pintu masuk bagi dinasti politik dan nepotisme yang makin merajalela.

“Kenapa makin merajalela? Karena secara hukum, dinyatakan boleh. Atau tidak bisa dibuktikan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin. Bawaslu juga mengatakan demikian. Yang lebih parah dari sekadar boleh atas hukum, masyarakat kita mengatakan juga boleh selama yang bersangkutan dipilih,” ujar Ray dalam diskusi ‘‘Buruk Pilpres, Akankah Berlanjut di Pilkada?’ di Jakarta, Jumat (21/6/2024).

Ray menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak ada yang disebut dengan nepotisme jika seseorang dipilih oleh masyarakat secara langsung. "Apa artinya? Kita sedang membuka pintu seluas-luasnya bagi munculnya praktik nepotisme atau dinasti politik," katanya.

Menurut Ray, hal ini bukan lagi sekadar asumsi. Jika dilihat dari kondisi saat ini, terutama dari calon kepala daerah yang dikabarkan akan maju dalam kontestasi Pilkada, dapat ditelusuri bahwa mereka semua berasal dari keluarga para petahana.

“Cek di daerah Anda, kabupaten, kota madya Anda, di provinsi Anda, yang maju si A, ketahuan itu anak si B, istri si B atau suami si B, ponakan si B, menantu si B. Yang ada itu nanti kavling politik. Ini sudah di-kavling oleh dinasti. Di Jakarta siapa? Di Jawa Barat punya siapa, Jateng siapa, Jatim siapa? Di Sumut siapa. Sudah di-kavling,” ucap Ray.

Jika tren pemilihan umum terus seperti pelaksanaan Pemilu 2024, pilkada nanti tidak lebih akan membuat keluarga tertentu terus menerus menjadi pejabat di daerah tertentu.

"Itu bukan cerita baru. Ada satu daerah, sepanjang 20 tahun hanya satu keluarga yang pegang. Awalnya istrinya 2 periode, diganti oleh suaminya 2 periode, 10 tahun. Sekarang anaknya mau masuk lagi. Bakal 25 tahun. Itu cuma satu keluarga. Lalu kita mengatakan nepotisme itu sah-sah saja? Boleh-boleh saja? Kalau pilkada dan pemilu dibuat untuk melegalisasi nepotisme, ya, saya tidak tahu apa perlu bagi kita pemilu ini? Apa perlu bagi kita pilkada?” kata Ray.

Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) juga menyoroti isu yang sama. Keduanya mengingatkan jika praktik-praktik ini dibiarkan, maka demokrasi yang sejati tidak akan pernah terwujud, dan akan sulit bagi calon-calon yang kompeten namun tidak memiliki hubungan keluarga dengan pejabat petahana untuk bersaing secara fair.

0 comments

    Leave a Reply