Ongkos Transportasi Warga di Kalimantan Timur yang Bikin Miris

IVOOX.id – Kalimantan Timur tengah menghadapi ironi besar dalam kebijakan mobilitas. Di satu sisi, pemerintah daerah mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk kendaraan dan perjalanan dinas pejabat. Di sisi lain, masyarakat justru harus menghadapi layanan transportasi umum yang minim, mahal, dan tidak efisien.
“Di Kalimantan Timur, anggaran miliaran rupiah digelontorkan tiap tahun untuk kendaraan dan uang perjalanan dinas para pejabat. Tapi warga, terutama di kota-kota seperti Samarinda dan Balikpapan, harus berjuang dengan kendaraan tua angkutan kota, tarif mahal, dan waktu tunggu lama. Di mana keadilan mobilitas bagi masyarakat?” ujar Tiopan H.M. Gultom, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Kalimantan Timur kepada ivoox.id Jumat (27/6/2025).
Gultom menekankan bahwa transportasi bukan sekadar alat untuk berpindah tempat, tetapi merupakan layanan publik penghubung kehidupan warga dari rumah ke sekolah, ke tempat kerja, pasar, hingga rumah sakit. Bahkan, menurutnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menegaskan bahwa mobilitas adalah kebutuhan dasar yang sangat penting untuk menunjang hak hidup yang lebih luas.
Namun kenyataannya, transportasi di Indonesia belum menjadi layanan dasar yang diwajibkan pemerintah. Sektor ini kerap diposisikan sebagai pelengkap pembangunan semata. Padahal, secara ekonomi, transportasi menyumbang sekitar 30 persen aktivitas ekonomi nasional. Di Kalimantan Timur, dampaknya lebih besar lagi karena sekitar 80 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi ini berasal dari sektor transportasi, terutama dari pajak kendaraan, bea balik nama, dan pajak bahan bakar.
Berdasarkan data Diskominfo Kaltim tahun 2025, pendapatan dari sektor transportasi pada tahun 2023 mencapai Rp 8,39 triliun, angka yang mendominasi PAD Kalimantan Timur sebesar Rp 10,88 triliun. Namun, ironisnya, tidak ada alokasi anggaran yang memadai untuk layanan angkutan umum. Sebaliknya, dana besar justru diberikan untuk pengadaan dan operasional kendaraan serta biaya perjalanan dinas pejabat daerah.
Mengacu pada Peraturan Gubernur Kaltim dan regulasi Kementerian Keuangan, rata-rata biaya satu kendaraan dinas pejabat bisa mencapai miliaran rupiah, belum termasuk biaya pemeliharaan dan bahan bakar tahunan. Jika dijumlahkan, total biaya transportasi pejabat seluruh Kalimantan Timur diperkirakan mencapai Rp 825 miliar per tahun. Dari jumlah itu, Pemprov Kaltim sendiri mengalokasikan lebih dari Rp 420 miliar. Kabupaten dan kota pun tak jauh berbeda, dengan rata-rata pengeluaran di atas Rp 40 miliar per tahun. Belum termasuk anggaran akomodasi hotel yang bisa mencapai Rp 9 juta per malam.
Di tengah angka-angka fantastis tersebut, kondisi transportasi warga justru memprihatinkan. Penelitian pada 2021-2022 mencatat load factor angkot di Samarinda dan Balikpapan hanya berkisar 25-40 persen. Artinya, angkot jarang penuh dan penghasilan sopir rendah, sehingga banyak sopir memilih ngetem berlama-lama di titik-titik tertentu demi mendapat penumpang. Akibatnya, waktu tunggu menjadi lama dan layanan pun tidak bisa diandalkan. Banyak warga akhirnya enggan menggunakan angkot.
Tarif angkot saat ini berada di angka Rp 5.000 sekali jalan. Karena keterbatasan jumlah armada dan lamanya waktu tunggu bisa mencapai 30 menit sehingga masyarakat beralih ke ojek online yang lebih cepat meski harganya juga lebih mahal. Studi lanjutan yang dilakukan Gultom dan Surya tahun 2023 menunjukkan bahwa 90 persen keluarga di Samarinda memiliki minimal satu sepeda motor, dan 40 persen bahkan memiliki dua. Imbasnya, rata-rata pengeluaran transportasi keluarga mencapai Rp 2 juta per bulan dari total penghasilan sekitar Rp 5 juta.
“Jika proporsi biaya transportasi bisa ditekan ke 20 persen, masyarakat bisa menghemat Rp1 juta setiap bulan uang yang bisa dialihkan ke pendidikan atau kesehatan anak,” jelas Gultom, yang juga akademisi transportasi dari Universitas Mulawarman.
Masalah ini, menurut Gultom, bukan semata soal angka anggaran, tapi soal arah kebijakan yang tidak berpihak. Ia menyoroti ketimpangan yang terjadi di mana pejabat mendapat kendaraan dan operasional penuh dari negara, sementara masyarakat menanggung seluruh ongkos mobilitas tanpa jaminan angkutan umum yang layak.
Riset dari Cornell University (Liu et al., 2023) bahkan menunjukkan bahwa rumah tangga berpendapatan rendah di kota besar cenderung bermobilitas lebih sedikit, menempuh jarak lebih pendek, dan menghabiskan waktu lebih lama di perjalanan. Mobilitas terbatas ini, menurut riset tersebut, berdampak langsung pada berkurangnya kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat.
Sebagai solusi, Gultom menekankan pentingnya reformasi anggaran transportasi daerah dengan mengalihkan sebagian dana dari pengadaan kendaraan dinas untuk membenahi layanan angkutan umum. Ia mendorong agar program pengembangan transportasi umum masuk dalam RPJMD dan menjadi indikator kinerja kepala daerah. Dana dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama juga seharusnya bisa dialokasikan untuk membiayai angkutan umum.
Selain itu, insentif berbasis kinerja bagi operator angkot yang memenuhi standar pelayanan minimum perlu dihadirkan, bersamaan dengan peningkatan kualitas sarana dan prasarana angkutan umum, termasuk halte, jalur pedestrian, dan fasilitas penyeberangan jalan.
“Saatnya pemerintah tidak hanya membangun jalan untuk kendaraan para pejabat, tapi juga memastikan agar jalan yang dibangun dapat dimanfaatkan dengan efisien melalui layanan angkutan umum untuk kehidupan rakyat yang lebih baik,” kata Gultom.

0 comments