Ombudsman Nilai Kebijakan Perberasan Nasional Masih Bermasalah | IVoox Indonesia

September 9, 2025

Ombudsman Nilai Kebijakan Perberasan Nasional Masih Bermasalah

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika. (ANTARA/HO-Ombudsman RI)

IVOOX.id – Ombudsman Republik Indonesia menilai kebijakan perberasan nasional saat ini belum stabil dan berdampak pada naiknya harga beras, lambatnya penyaluran stok, serta ketidakpastian bagi pelaku usaha. 

Pemerintah diminta segera menata kebijakan agar masyarakat tetap mendapat akses pangan dengan harga wajar. Hal tersebut disampaikan Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dalam Diskusi Publik Paradoks Kebijakan Hulu-Hilir Perberasan Nasional di Gedung Ombudsman RI, Selasa (26/8/2025).

Yeka mengatakan, berdasarkan catatan Badan Pangan Nasional, stok beras bulan Juli 2025 mencapai 4.2 juta ton, ini merupakan jumlah tertinggi sepanjang sejarah. Sebagai perbandingan pada tahun 1984 dan 1997 stok tertinggi hanya sekitar 3 juta ton.

Menurutnya, angka tersebut memang terlihat baik, namun stok besar belum tentu aman jika tidak dikelola dengan hati-hati. Ia menegaskan bahwa swasembada bukanlah capaian sesaat, melainkan keberlanjutan

"Jika stok itu gambaran swasembada maka concern Ombudsman bukan swasembada di satu titik melainkan swasembada berkelanjutan. Apa artinya kita merayakan swasembada tapi akhirnya mengimpor lagi. Itulah perlunya membuat kebijakan yang lebih terencana dengan baik sehingga target swasembada diterapkan dengan tujuan sebenarnya," ujar Yeka dikutip dari kanal YouTube Ombudsman Selasa (26/8/2025)

Yeka juga menjelaskan bahwa kebijakan any quality dengan harga gabah Rp 6.500/kg dan penumpukan stok di Bulog sempat meningkatkan Nilai Tukar Petani Beras (NTPb) hingga 120. Namun pasca kebijakan tersebut, harga gabah melonjak ke Rp 7.500-8.000/kg dan harga beras melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET). Ia menyebut masa panen raya sudah lewat, tetapi stok pemerintah hingga Juli belum optimal dilepas ke pasar sehingga memperburuk kelangkaan.

Situasi juga diperparah oleh sulitnya penyaluran beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan). Aturan yang ketat dan ancaman pidana membuat pelaku usaha enggan terlibat distribusi. Beberapa distributor bahkan diproses hukum akibat perbedaan persentase broken beras dengan label kemasan. Sementara itu, penggilingan beras tidak memperoleh margin usaha karena HET belum disesuaikan dengan ongkos produksi.

"Saya melihat HET perlu diformulasikan lagi, apakah tepat pelaku usaha dibebankan dengan HET. Sebagian besar pengamat melihat bahwa HET untuk swasta sebaiknya dilepas saja. Jadi ada paradoks apakah betul HET ini mensejahterakan masyarakat," kata Yeka.

Berdasarkan data Bapanas, konsumsi beras nasional sekitar 2,6 juta ton per bulan. Stok masyarakat rata-rata hanya 4 juta ton (per Desember 2023). Jika suplai pemerintah tersendat, stok hanya mampu bertahan sekitar 1,6 bulan.

Hingga Juli 2025, penyaluran beras SPHP baru 236.128 ton (data Bulog), jauh di bawah kebutuhan. Produksi beras komersial pun terhambat kebijakan HET. Belakangan, pemerintah juga meminta produsen dan distributor menandatangani surat komitmen membeli Gabah Kering Panen Rp 6.500/kg dan menjual beras sesuai HET.

Ombudsman menilai ketidakjelasan aturan HPP dan HET membingungkan semua pihak. Produsen tidak jelas pedoman HPP gabah, pengolah dan distributor rugi karena HET tak menutup biaya, dan konsumen bingung dengan kualitas beras. Ancaman pidana makin menambah ketidakpastian sehingga berbisnis dengan aturan yang berubah-ubah dan berisiko pidana dan tidak kondusif.

Sebagai solusi, Ombudsman meminta pemerintah mempercepat penyaluran beras SPHP dengan memperbaiki distribusi, melibatkan pelaku usaha, memberikan kejelasan aturan bagi beras komersial agar sesuai mekanisme pasar, serta memastikan bantuan pangan tepat sasaran bagi masyarakat miskin sebagaimana amanat Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. 

0 comments

    Leave a Reply