Nelayan Kecil Indonesia Butuh Perlindungan Hukum dan Keadilan | IVoox Indonesia

July 11, 2025

Nelayan Kecil Indonesia Butuh Perlindungan Hukum dan Keadilan

100725-Nelayan3
ILUSTRASI - Tidak adanya perlindungan terhadap dampak krisis iklim di laut, belum diakuinya Masyarakat Adat di wilayah pesisir dan laut, serta tidak adanya perlindungan hukum bagi perempuan nelayan menjadi isu mendesak. IVOOX.ID/AI

pemerintah harus berpihak kepada nelayan kecil, perempuan nelayan, pekerja perikanan, dan masyarakat adat di pesisir.

IVOOX.id - Pemberdayaan komunitas adat, lokal, dan nelayan skala kecil menjadi sorotan dalam Konferensi Kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Ocean Conference (UNOC) 2025 yang berlangsung pada 9–13 Juni di Nice, Perancis. 

Agung Nugroho, pengajar dan peneliti dari Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) yamg menghadiri konferensi UNOC 2025, membawa isu perlindungan nelayan kecil dan perempuan pesisir dari ancaman penggunaan alat tangkap trawl yang merusak.

Agung bergabung sebagai delegasi dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan The Invisible Thread (TINTA), sebuah organisasi nirlaba internasional yang berfokus pada pemberdayaan komunitas adat, lokal, dan nelayan skala kecil.

Dalam forum tersebut, KNTI bersama Koalisi Transform Bottom Trawling (TBT) menekankan pentingnya pelarangan penggunaan trawl dan modifikasinya di wilayah tangkap tradisional, demi menjaga keberlanjutan sumber penghidupan nelayan lokal.

"Agung Nugroho bersama perwakilan TINTA dari Puerto Riko, India, dan Brasil, menyuarakan pengalaman nyata komunitas nelayan di lapangan," demikian keterangan resmi laman UI, yang diakses Minggu (6/7/2025).

Delegasi ini menyerukan perlunya pengawasan dan penegakan hukum yang lebih kuat terhadap pelanggaran alat tangkap, serta mendorong reformasi tata kelola kelautan yang inklusif dan berkeadilan.

UNOC 2025 menjadi panggung penting untuk memperkuat komitmen global terhadap keadilan kelautan dan konservasi keanekaragaman hayati laut, termasuk pencapaian target 30×30, serta penguatan kebijakan berbasis sains dan pendanaan untuk ekonomi biru dan ketahanan masyarakat pesisir.

Ironi dan Ketimpangan

Nelayan berkontribusi besar dalam penyediaan protein laut dan menjaga kedaulatan pangan. Namun, peringatan Hari Nelayan 2025 tanggal 6 April lalu memunculkan ironi yang mendalam bagi nasib nelayan kecil dan tradisional di Indonesia.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menyampaikan bahwa Hari Nelayan seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk mengevaluasi sejauh mana perlindungan, pengakuan, dan pemberdayaan terhadap nelayan telah dijalankan. Ia menegaskan bahwa pemerintah harus berpihak kepada nelayan kecil, perempuan nelayan, pekerja perikanan, dan masyarakat adat di pesisir.

“Momentum Hari Nelayan ini menjadi momentum pengingat kepada Presiden Prabowo untuk memberhentikan dan melakukan evaluasi terhadap kebijakan dan perizinan yang selama ini telah terbukti dan yang akan berpotensi untuk merampas ruang hidup dan memarginalkan nelayan,” ujar Susan, dalam keterangan resmi.

KIARA mencatat adanya kebijakan yang dianggap mengancam ruang hidup nelayan, antara lain: Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, kebijakan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), reklamasi, integrasi penataan ruang tanpa pelibatan nelayan, skema Penangkapan Ikan Terukur, serta legalisasi industri pertambangan nikel dan proyek strategis nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025.

Ancaman Serius bagi Nelayan Kecil

Selain kebijakan yang bermasalah, KIARA juga menyoroti berbagai kekosongan hukum yang memperparah ketidakadilan yang dialami nelayan kecil. Tidak adanya perlindungan terhadap dampak krisis iklim di laut, belum diakuinya Masyarakat Adat di wilayah pesisir dan laut, serta tidak adanya perlindungan hukum bagi perempuan nelayan menjadi isu mendesak.

Susan juga menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan tidak dijalankan secara efektif. Ditambah lagi dengan ego sektoral antar kementerian dan belum diratifikasinya Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Data kriminalisasi juga menjadi catatan kelam. Sejak 2015 hingga 2025, sebanyak 72 orang masyarakat pesisir dan pulau kecil mengalami kriminalisasi, lima di antaranya meninggal dunia—satu dibunuh oleh preman, dan empat ditembak oleh aparat. Dari jumlah tersebut, 40 orang adalah nelayan yang menolak aktivitas pertambangan di wilayahnya.


Penulis: Diana

Kontributor

0 comments

    Leave a Reply