Mitigasi Sosial untuk Mengakhiri Siklus Kerentanan Buruh Smelter

IVOOX.id – Persoalan yang menimpa para pekerja smelter di Bangka Belitung akhir-akhir ini kembali membuka mata semua pihak bahwa perlindungan buruh masih memerlukan penataan serius.
Lebih dari 1.800 pekerja kini berada dalam situasi tidak menentu setelah smelter tempat mereka bekerja dihentikan operasionalnya. Penulis melihat persoalan ini bukan sekadar isu ketenagakerjaan, tetapi cermin bagaimana negara memposisikan pekerja dalam proses penataan industri.
Di tengah upaya menegakkan aturan, bangsa ini tidak boleh lupa bahwa di balik mesin dan pabrik, ada manusia yang menggantungkan seluruh hidupnya pada pekerjaan itu. Karena itu harus disadari bahwa penertiban memang penting, tetapi perlindungan pekerja juga merupakan persoalan yang mendasar.
Penutupan suatu tempat kerja, apa pun status hukumnya, idealnya tidak boleh membuat pekerja kehilangan kesempatan untuk memenuhi hak dasar mereka. Mereka berhak atas pesangon dan kepastian. Hubungan kerja tidak hapus begitu saja karena ada temuan pelanggaran perusahaan.
Di sinilah mitigasi sosial seharusnya menjadi langkah pertama sebelum kebijakan penutupan dilakukan. Ketika sebuah smelter dinyatakan ilegal, proses administrasi boleh berjalan, tetapi pekerja tidak boleh menjadi korban dari ketidakteraturan tersebut.
Lembaga seperti Danantara sebenarnya memiliki kapasitas besar untuk melakukan pengambilalihan sementara smelter yang bermasalah. Dengan aset finansial yang kuat, tidak sulit bagi mereka untuk menjaga keberlangsungan produksi sembari proses hukum berjalan. Bila langkah ini dilakukan, buruh dapat tetap bekerja, perekonomian lokal tidak terhenti, dan negara dapat menghindari potensi gejolak sosial.
Penulis tidak melihat hal ini sebagai solusi yang rumit, justru ini adalah bentuk kehadiran negara yang paling nyata. Jika negara mampu menyelamatkan perusahaan besar di masa krisis, maka menyelamatkan ribuan buruh seharusnya menjadi prioritas yang jauh lebih mendesak.
Pekerja Berserikat
Namun, persoalan yang muncul tidak hanya terkait smelter. Dalam dialog yang berkembang, Maryam anggota Komisi IV DPR RI sempat menyoroti masalah perusahaan outsourcing dari luar daerah yang selama ini merugikan pekerja.
Penulis melihat praktik outsourcing yang tidak transparan ini sebagai salah satu akar ketidakadilan di dunia kerja. Ketika perusahaan memindahkan risiko kepada pekerja tanpa memberikan perlindungan memadai, maka yang lahir adalah hubungan kerja yang timpang dan rawan konflik.
Maka memang masalah ini harus dituntaskan dengan tegas. Pekerja tidak boleh terus-menerus menjadi pihak yang paling lemah hanya karena posisi tawarnya rendah.
Me Hoa, Wakil Ketia Komisi IV DPR RI, juga pernah menyampaikan bahwa masih banyak pengaduan pekerja yang belum tertangani. Hal ini menunjukkan bahwa sistem penyelesaian sengketa ketenagakerjaan di Indonesia masih belum berjalan optimal. Ketika pengaduan menumpuk tanpa solusi, pekerja akan kehilangan kepercayaan, dan situasi ketenagakerjaan menjadi semakin rentan.
Ke depan perlu ada percepatan mekanisme penyelesaian, baik melalui negosiasi langsung di tingkat perusahaan maupun melalui mediasi pemerintah. Sebuah sistem hanya layak disebut melindungi bila ia responsif terhadap masalah, bukan hanya mencatat keluhan.
Dalam konteks inilah pandangan Darusman, Ketua DPD KSPSI Bangka Belitung, menjadi sangat relevan. Ia menekankan pentingnya pekerja berserikat. Faktanya memang serikat pekerja bukan untuk menciptakan konflik, melainkan untuk menghadirkan dialog yang lebih setara.
Bila pekerja berserikat, banyak masalah dapat diselesaikan di tingkat perusahaan tanpa harus melebar ke ranah hukum. Serikat memberikan suara, struktur, dan keberanian bagi pekerja untuk menyampaikan aspirasi. Ini bentuk kemandirian pekerja yang sangat diperlukan.
Lembaga Tripartit
Lebih jauh, penyelesaian ketenagakerjaan yang komprehensif memerlukan forum yang mempertemukan semua pihak secara reguler. Di sinilah Lembaga Kerja Sama Tripartit berperan. Kepala Dinas Tenaga Kerja mewakili pemerintah, pengusaha hadir sebagai pemilik usaha, dan pekerja diwakili oleh serikat.
Dedi Sudarajat sebagai Anggota LKS Tripartit Nasional sekaligus Ketua Bidang OKK DPP KSPSI mengingatkan pentingnya menghidupkan kembali lembaga ini. Tripartit adalah ruang dialog yang mampu mencegah konflik sebelum membesar.
Bila lembaga ini berjalan aktif, banyak masalah dapat diselesaikan melalui kesepahaman, bukan tekanan. Dari seluruh persoalan yang muncul, dapat ditekankan bahwa perlindungan buruh tidak boleh ditempatkan sebagai beban, tetapi sebagai prasyarat keadilan sosial.
Persoalannya bukan soal belas kasihan, tetapi tentang hak. Ketika pekerja kehilangan pekerjaan karena penertiban industri, mereka tidak boleh dipaksa menanggung seluruh beban akibat tindakan yang bukan mereka lakukan.
Negara harus hadir bukan hanya melalui aturan, tetapi melalui tindakan yang memastikan setiap pekerja tetap memiliki masa depan. Karena itu beberapa solusi yang realistis dan dapat segera dilakukan di antaranya, negara perlu membuat mekanisme pengambilalihan sementara terhadap smelter yang bermasalah agar buruh tetap bekerja sembari proses penataan berlangsung.
Kemudian, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktik outsourcing yang merugikan pekerja lokal, termasuk memeriksa apakah perusahaan mengikuti prinsip-prinsip perlindungan dasar.
Selanjutnya, mendorong penguatan serikat pekerja di tingkat perusahaan sebagai wadah dialog yang efektif, dan mengaktifkan kembali LKS Tripartit secara reguler agar persoalan ketenagakerjaan dapat ditangani secara cepat, bersama, dan transparan.
Semua harus percaya bahwa perbaikan itu selalu mungkin bila kemauan politik dan keberpihakan pada keadilan benar-benar diwujudkan. Namun, di saat yang sama, tetap harus kritis karena situasi ini menyentuh kehidupan ribuan keluarga.
Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk membiarkan masalah ini berlarut-larut. Ketika pekerja diberi perlindungan yang pantas, ketika industri ditata dengan adil, dan ketika dialog sosial berjalan sehat, maka bangsa ini tidak hanya sedang menyelesaikan masalah hari ini tetapi juga membangun fondasi ketenagakerjaan yang lebih manusiawi untuk masa depan.
Penulis: Mohammad Jumhur Hidayat
Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
Sumber: Antara


0 comments