Mercusuar Willem’s Toren III: Cahaya Abadi dari Ujung Barat Nusantara

IVOOX.id – Di ujung paling barat Indonesia, di Pulau Breueh yang juga dikenal sebagai Pulau Beras, berdiri gagah sebuah menara tua yang memancarkan cahaya sejarah dan harapan. Mercusuar Willem’s Toren III telah berdiri lebih dari satu abad, menjadi penjaga jalur pelayaran internasional sekaligus saksi bisu dari pergulatan kolonialisme, perlawanan rakyat Aceh, dan dinamika maritim Nusantara.
Menara yang dibangun pada tahun 1875 oleh pemerintah kolonial Belanda ini berdiri di Desa Meulingge, Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, di ketinggian 310 meter di atas permukaan laut. Dengan tinggi mencapai 85 meter dan dinding setebal satu meter, bangunan bergaya arsitektur Belanda itu menjadi mercusuar terbesar di ujung barat Indonesia. Nama “Willem’s Toren” diambil dari Raja Belanda kala itu, Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk. Lokasinya yang strategis di pertemuan Selat Malaka dan Samudra Hindia menjadikan mercusuar ini sangat penting bagi kapal-kapal yang melintas di jalur perdagangan internasional.
Mercusuar Willem’s Toren III bukan hanya salah satu yang tertua di Nusantara, tetapi juga bagian dari tiga mercusuar kembar di dunia yang dibangun dengan desain serupa oleh Belanda dua lainnya berada di Belanda dan Kepulauan Karibia. Pembangunan menara ini sempat diwarnai perlawanan sengit dari pasukan Teungku Chik di Tiro, sebagaimana tercatat dalam buku Onze Vestiging in Atjeh karya G.F.W. Borel. Puluhan pekerja bahkan didatangkan dari Ambon untuk menyelesaikan proyek yang dijaga ketat oleh pasukan kolonial.
Meski kini teknologi navigasi modern seperti GPS dan radar mendominasi dunia pelayaran, mercusuar masih memegang peran penting. Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, menegaskan bahwa fungsi mercusuar tetap vital. “Mercusuar merupakan sarana bantu navigasi pelayaran yang berfungsi untuk memastikan keamanan kapal di laut. Ia menjadi penanda lokasi, peringatan bahaya, sekaligus pemandu kapal menuju pelabuhan,” ujarnya kepada ivoox.id Sabtu (18/10/2025).
Djoko menambahkan bahwa keberadaan mercusuar seperti Willem’s Toren III membuktikan peran penting teknologi klasik dalam mendukung keselamatan pelayaran di wilayah terpencil. “Mercusuar adalah alat bantu navigasi tertua, tapi hingga kini tetap dibutuhkan di wilayah perairan yang jauh dari jangkauan teknologi canggih. Willem’s Toren III adalah contoh nyata bagaimana warisan masa lalu masih relevan dalam menjaga keselamatan pelayaran masa kini,” katanya.
Kini, Willem’s Toren III bukan hanya menjadi panduan bagi kapal, tetapi juga destinasi wisata sejarah yang menyuguhkan panorama luar biasa. Dari puncaknya, pengunjung dapat menyaksikan hamparan Samudra Hindia yang biru dan rimbunnya hutan tropis Pulau Breueh. Meski demikian, perjalanan ke sana tidak mudah. Dari Banda Aceh, pengunjung harus menempuh perjalanan laut sekitar tiga jam menuju Pulau Breueh, kemudian melanjutkan perjalanan darat sekitar 30 menit di jalan beraspal kasar dan menanjak menuju mercusuar.
Djoko menilai, potensi wisata sejarah dan bahari di Pulo Aceh akan berkembang pesat jika didukung oleh infrastruktur yang lebih baik. “Pemerintah perlu memperpanjang dermaga agar kapal cepat bisa langsung merapat, memperbaiki jalan menuju mercusuar, dan menyiapkan transportasi lokal. Dengan begitu, wilayah ini tak hanya menjadi mercusuar navigasi laut, tapi juga mercusuar ekonomi bagi masyarakat setempat,” jelasnya.
Kini, Willem’s Toren III berdiri bukan hanya sebagai bangunan bersejarah, tetapi sebagai simbol ketangguhan dan penerang peradaban di ujung barat Nusantara. Di bawah langit biru dan deburan ombak Samudra Hindia, menara ini terus menyalakan cahayanya, mengingatkan bahwa meski zaman berubah, cahaya dari masa lalu tetap menjadi penuntun bagi masa depan Indonesia.


0 comments