Mengenal Kerawanan Pendakian Gunung Rinjani, Belajar dari Kecelakaan Juliana Marins

IVOOX.id - Juliana de Souza Pereira Marins (27), warga negara Brasil, dilaporkan jatuh ke jurang di sekitar titik Cemara Nunggal, jalur menuju puncak Gunung Rinjani, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Sabtu, 21 Juni 2025. Nyawa Juliana tak tertolong setelah tim evakuasi berusaha menyelamatkannya.
Sebelumnya, Jumat (20/6/2025), Juliana mendaki bersama rekannya yang berbeda kewarganegaraan mendaki dari Sembalun. Juliana terjatuh saat mendaki menuju puncak di Cemara Nunggal dan terperosok ke dalam jurang arah Danau Segara Anak.
Potensi Bahaya dan Kerawanan Jalur Rinjani
Gunung Rinjani, dengan ketinggian 3.726 mdpl, merupakan salah satu gunung api aktif tertinggi di Indonesia dan destinasi utama kegiatan pendakian. Namun, potensi bahayanya tidak dapat diabaikan.
Menurut Rinekso Soekmadi, EKS Harini, Eva Rachmawati, Ziyadatul Hikmah, dan Tri Rahayuningsih dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University, kawasan ini masuk dalam klasifikasi daerah rawan bencana.
Mengutip Nadhira (2018), jalur pendakian Gunung Rinjani via Sembalun memiliki beragam potensi bahaya seperti jurang, jalur terjal, kabut, suhu rendah, kebakaran, longsor, aktivitas vulkanik, gempa bumi, hingga gangguan dari satwa liar dan tumbuhan liar. Terbatasnya rambu-rambu keselamatan, papan interpretasi, dan fasilitas pendukung semakin memperparah kondisi di lapangan.
BTNGR mencatat sebanyak 159 kasus kecelakaan pendakian di Gunung Rinjani selama kurun 2016–2022. Penyebab utama meliputi kelalaian kondisi fisik, perlengkapan yang tidak memadai, dan tidak mengikuti jalur resmi. Penanganan kecelakaan masih dilakukan secara konvensional oleh porter atau pemandu wisata, dengan peralatan seadanya.
Kebutuhan Penguatan Manajemen Bahaya
Penilaian potensi bahaya di jalur pendakian Sembalun–Senaru maupun Torean, sebagaimana dikutip dari Aditya (2023) dan Jasthin (2023), menunjukkan bahwa jurang merupakan risiko paling tinggi. Sementara jalur licin atau terjal dikategorikan sebagai risiko sedang. Bahaya lain seperti suhu rendah, kabut, longsor, kebakaran, dan aktivitas vulkanik dinilai berisiko rendah, namun tetap harus diwaspadai.
Dalam jurnal Tata Kelola Bahaya Ekowisata di Kawasan Rawan Bencana di Taman Nasional Gunung Rinjani (Vol. 5 No. 3, 2023), disebutkan bahwa pengelolaan kawasan rawan bencana belum optimal. Evaluasi terhadap sistem manajemen BTNGR mencakup kurangnya rambu rawan bahaya, lemahnya kontrol terhadap kesiapan pendaki, serta perlunya penyusunan regulasi dan SOP pengelolaan bahaya wisata.
Gunung Rinjani memang menawan, namun keindahan itu datang dengan risiko yang perlu dikelola secara seksama. Kejadian yang menimpa Juliana de Souza Pereira Marins menjadi pengingat bahwa keselamatan adalah harga yang harus selalu diutamakan dalam kegiatan pendakian.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban, sekaligus menegaskan kembali komitmen pemerintah dalam menjaga keselamatan wisatawan. "Kami menyampaikan belasungkawa yang tulus kepada keluarga Juliana Marins atas kehilangan tragis ini," kata Menteri Widiyanti.
Menurut Widiyanti, insiden memilukan ini menjadi alarm keras bagi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Republik Indonesia untuk menyerukan pentingnya kepatuhan terhadap Prosedur Operasional Standar (SOP) pendakian yang telah diatur dalam SK Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Nomor 19 Tahun 2022.
Menteri Widiyanti menekankan, “Kepatuhan terhadap prosedur ini bukan sekadar formalitas, namun menjadi benteng utama dalam meminimalkan insiden fatal.”
Jenazah Juliana yang ditemukan setelah empat hari pencarian intensif di kedalaman 600 meter dan dievakuasi dalam kondisi medan ekstrem, semakin mempertegas urgensi penegakan SOP ini.
Menpar mengapresiasi kerja keras tim penyelamat dari Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, dan para relawan. Tetapi ia pun mengeluarkan peringatan keras, menuntut tanggung jawab lebih dari pengelola destinasi wisata ekstrem.
Pengawasan, audit menyeluruh, serta pelatihan ulang wajib yang mencakup teknik keselamatan dan evakuasi darurat bagi operator, "porter", dan pemandu, menjadi prioritas utama, menurut Widiyanti. Tujuannya, memastikan semua pihak memiliki sertifikasi sesuai standar otoritas terkait.
Edukasi publik, khususnya bagi wisatawan mancanegara, mengenai pentingnya menggunakan operator resmi dan kelengkapan keselamatan, dijanjikan terus digencarkan.
Kolaborasi lintas kementerian dan lembaga seperti Kementerian Kehutanan, Basarnas, TNI/Polri, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Balai Taman Nasional, dan Dinas Pariwisata Daerah, terus diperkuat demi memastikan efektivitas SOP di lapangan.
Masyarakat dan wisatawan juga diimbau untuk berperan aktif: pilih operator bersertifikat, patuhi semua protokol keselamatan, dan laporkan setiap pelanggaran Prosedur Operasional Standar (SOP) pendakian melalui nomor WhatsApp 0811-895-6767.
"Insiden ini mengingatkan kita bahwa setiap destinasi wisata ekstrem mengandung risiko serius," kata Widiyanti.
Kepatuhan SOP pendakian harus menjadi panggilan jiwa setiap pihak untuk memperkuat budaya keselamatan secara nasional, memastikan keindahan alam Indonesia dapat terus dinikmati dengan aman dan bertanggung jawab.
Penulis: Diana
Kontributor

0 comments