Mengapa Banyak Korban Kekerasan Seksual tak Berani “Speak up”?

IVOOX.id – Pertanyaan ini seringkali muncul manakala penulis mendapatkan aduan dari masyarakat terkait kekerasan seksual yang kemudian memilih untuk tidak meneruskan laporannya lebih lanjut.
Bahkan hal ini juga dinyatakan juga oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di provinsi ataupun kabupaten/kota yang menemukan fakta di lapangan bahwa banyak korban dan keluarga korban kasus kekerasan seksual memilih tidak meneruskan laporan tersebut ke polisi. Hal ini lantas menjadi tanda tanya besar di benak kami semua, apa yang menyebabkan hal ini terjadi?
Pada April 2022 Pemerintah Indonesia secara resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Namun faktanya kehadiran UU TPKS tidak seketika menjamin bahwa masalah kekerasan seksual bisa terselesaikan begitu saja, ada banyak hal lain yang pada akhirnya menjadi pekerjaan rumah bersama.
Permasalahan akan semakin rumit manakala kasus kekerasan seksual ini terjadi kepada anak di bawah umur. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 pasal 1, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pada kasus kekerasan seksual yang menimpa anak, anak seringkali berada pada posisi rentan karena adanya relasi kuasa ketika anak masih bergantung pada orang dewasa atau kebergantungan mereka pada orang dewasa, kurangnya pengetahuan mereka tentang jenis-jenis kekerasan seksual, dan kesulitan mereka untuk melaporkan tindakan kekerasan yang mereka alami dikarenakan adanya relasi kuasa. Kejahatan seksual terhadap anak merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia yang berdampak panjang pada korban.
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melalui Layanan SAPA 129 telah mencatatkan data aduan yang masuk ke layanan Hotline SAPA 129. Jumlah laporan mengenai kasus kejahatan seksual ini terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dimiliki pada tahun 2024, terdapat 487 kasus aduan terkait kekerasan seksual yang masuk melalui layanan SAPA 129.
Data Nasional melalui SIMFONI PPA mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual, terdapat 10.932 kasus kekerasan seksual pada 2023 dan 11.770 kasus kekerasan seksual pada 2024. Peningkatan jumlah kasus ini dapat dimaknai sebagai hal yang positif karena masyarakat sudah semakin paham mengenai apa itu kekerasan seksual sehingga berani untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Alarm serius
Namun peningkatan jumlah yang dilaporkan itu menjadi alarm serius bagi semua bahwa banyak hal yang harus dibenahi dalam hal penanganan dan pencegahan kasus-kasus kekerasan seksual terutama terhadap anak.
Kekerasan seksual apapun bentuknya dan siapapun korbannya, pastinya akan meninggalkan luka mendalam, bukan hanya secara fisik, tetapi juga psikologis. Sayangnya, sering kali luka ini tersembunyi di balik ketakutan dan keraguan, sehingga membuat masih banyak korban enggan untuk mencari keadilan melalui jalur hukum atau meneruskan aduannya yang sudah masuk ke kepolisian. Mengapa demikian?
Salah satu alasan utama adalah trauma dan rasa malu yang mendalam. Proses pelaporan yang mengharuskan mereka menceritakan kembali pengalaman traumatis secara detail, berulang kali, dapat memperburuk kondisi psikologis korban dan juga keluarga korban.
Rasa malu dan takut akan stigma dari masyarakat juga menjadi penghalang besar. Korban sering kali merasa dirinya "kotor" atau "bersalah", alih-alih pelaku. Selain itu, muncul pula ketakutan akan reviktimisasi dikarenakan masih minimnya sensitifitas aparat penegak hukum dan minimnya keberpihakan kepada korban dapat membuat korban merasa dihakimi atau tidak dipercaya.
Pertanyaan-pertanyaan yang terkesan menyudutkan, pemeriksaan fisik yang tidak nyaman, atau bahkan anggapan miring dari aparat penegak hukum dapat melukai korban lebih dalam dan membuatnya enggan melanjutkan proses pelaporan.
Selain itu, di lapangan, hal lain yang seringkali penulis temui adalah terkait keterbatasan sumber daya manusia dan dukungan bagi korban. Korban mungkin tidak memiliki akses ke pendampingan psikologis, bantuan hukum, ataupun dukungan finansial untuk menjalani proses pelaporan yang panjang dan melelahkan. Hal-hal seperti ini sering penulis temui di daerah-daerah terpencil atau korban-korban yang berada di daerah yang mobilitasnya terbatas.
Minimnya personel
Faktor lain yang juga menjadi salah satu hal yang harus dibenahi adalah minimnya kemampuan dan jumlah personel dari penyedia layanan di daerah untuk memberikan pelayanan kepada korban ditambah dengan cakupan daerah yang luas. Seringkali tidak semua korban dapat terjangkau untuk mendapatkan layanan seperti bantuan hukum atau penguatan psikologis.
Penguatan psikologis kepada korban memang sangat dibutuhkan, namun, pada kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada anak, penguatan kepada keluarga korban seperti orang tua/wali juga tidak kalah penting untuk dilakukan.
Kenapa hal ini sangat diperlukan, karena seringkali rasa takut akan ancaman atau intimidasi dari pelaku atau lingkungannya juga dapat menghalangi korban untuk mencari keadilan. Terutama anak-anak yang menjadi korban seringkali diancam oleh pelaku, bahkan tidak jarang pelakunya adalah orang terdekat atau yang memiliki relasi kuasa.
Ancaman yang didapatkan karena adanya relasi kuasa ini bisa berupa intimidasi baik secara fisik/psikis atau bahkan ancaman terhadap anggota keluarga lainnya. Rasa takut akan hal tersebutlah yang mendorong para korban ataupun keluarga korban kekerasan seksual memilih untuk tidak meneruskan laporannya kepada pihak kepolisian dan memilih bungkam.
Pada akhirnya, keengganan korban kekerasan seksual untuk melapor ataupun meneruskan laporannya adalah cerminan dari kompleksitas permasalahan penanganan kasus kekerasan seksual di negara ini. Untuk itu dibutuhkan pendekatan yang lebih holistik dan berpusat pada korban. Selain itu, Sistem hukum perlu berbenah diri, memastikan adanya petugas yang terlatih dan sensitif dan berpihak kepada korban, proses pelaporan yang mudah dan aman, serta dukungan psikologis dan hukum yang memadai bagi korban dan juga keluarga korban.
Peran dari masyarakat atau komunitas juga sangat diperlukan di sini. Masyarakat dan komunitas perlu menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi para penyintas, tanpa adanya stigma, dan juga mendorong keberanian dari para korban untuk mencari keadilan.
Dengan dukungan dari keluarga dan masyarakat sekitarlah kita dapat membuka jalan bagi lebih banyak korban untuk keluar dari bayang-bayang ketakutan dan meraih keadilan yang seharusnya menjadi hak mereka.
Penulis: Elsa Restriana
Pekerja Sosial Muda pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Sumber: Antara

0 comments