Menata Ulang Budaya Tangguh Bencana Sebagai Sismfoni Indonesia

IVOOX.id – Di negara yang terbentang di atas sabuk gempa dan cincin api Pasifik seperti Indonesia, bencana dapat dikatakan sebagai keniscayaan geografis yang tidak dapat dihindari. Namun, yang bisa dan harus terus diupayakan adalah mengelola risiko bencana itu dengan cara yang lebih sistemik, adaptif, dan kolektif.
Bukan sekadar respons terhadap bencana, tetapi membangun sebuah ekosistem tangguh yang mampu memitigasi dampak, sebelum bencana itu terjadi.
Itulah semangat yang diusung bersama dalam ajang bertajuk "China-Indonesia Trade and Investment Forum" yang merupakan bagian dari rangkaian Emergency Disaster Reduction and Rescue (EDRR) Expo 2025 di Jakarta.
Acara ini menjadi ruang dialog yang penting mengenai penanganan bencana. Hadir berbagai pemangku kepentingan, di antaranya Duta Besar RI untuk Tiongkok Djauhari Oratmangun, Staf Khusus Menko Polhukam Imron Cotan, perwakilan Kedutaan Besar Tiongkok untuk Indonesia, komunitas pengusaha teknologi kebencanaan dari RRC, akademisi, serta delegasi dari Kemenko PMK.
Dalam sesi diskusi yang penulis hadiri sebagai narasumber, bersama Netty E. Komattu dari International Association of Emergency Managers dan Prof Dr Anugrah Widianto dari BRIN, penulis membahas arah baru penanggulangan bencana yang lebih terintegrasi dan berbasis pengetahuan.
Satu gagasan yang penulis angkat dalam forum tersebut adalah perlunya menggeser paradigma penanggulangan bencana dari ego-sistem menuju ekosistem. Bukan lagi bekerja dalam sekat-sekat sektoral, tetapi membangun koordinasi lintas lembaga, lintas sektor, dan lintas komunitas yang terorkestrasi.
Layaknya membangun simfoni, setiap aktor dalam sistem penanggulangan bencana harus memainkan peranannya dengan harmonis agar suara akhir yang terdengar bukan disonansi kebijakan, melainkan komposisi kebijakan yang menyelamatkan. Sebab bencana tidak mengenal batas administratif, maka mitigasinya pun tidak bisa dibatasi oleh struktur birokrasi.
Kolaborasi menjadi kata kunci. Indonesia bukan kekurangan aktor dalam penanggulangan bencana, tetapi masih sering terjebak dalam koordinasi yang bersifat reaktif, bukannya proaktif. Penguatan sinergi antarkementerian dan lembaga perlu disertai dengan mekanisme koordinasi yang lebih adaptif dan berbasis data.
Di titik inilah peran Kemenko PMK menjadi penting sebagai penguat orkestrasi agar setiap kementerian bekerja dalam satu irama kebijakan yang sinkron dan efisien.
Netty E Komattu, salah satu pembicara yang juga terlibat aktif dalam penanggulangan bencana lintas negara, menegaskan bahwa pengurangan risiko bencana tidak bisa dilakukan secara sepihak. Indonesia butuh jaringan yang melibatkan masyarakat sipil, lembaga swadaya, dunia usaha, perguruan tinggi, hingga komunitas lokal yang paling dekat dengan titik risiko.
Pendekatan berbasis komunitas, jika digerakkan secara inklusif, terbukti lebih cepat dalam memberikan respons awal serta menjaga keberlanjutan edukasi kesiapsiagaan bencana.
Kebudayaan publik
Sementara itu, Prof Anugrah, dari BRIN, menggarisbawahi pentingnya riset dan kajian ilmiah dalam mendasari pengambilan kebijakan kebencanaan. Ini adalah hal mendesak.
Di era disrupsi teknologi dan perubahan iklim yang semakin kompleks, intuisi atau pengalaman semata tak lagi cukup. Negeri ini membutuhkan basis data yang kuat, model simulasi risiko yang akurat, serta inovasi teknologi yang bisa mempercepat deteksi dini dan respons bencana.
BRIN telah menunjukkan komitmennya melalui berbagai riset dan hasil kebijakan yang secara resmi diserahkan kepada Kemenko PMK dalam forum ini.
Namun semua itu tidak akan cukup, tanpa pembangunan budaya sadar bencana. Kesadaran masyarakat tentang risiko, simulasi evakuasi berkala, kurikulum kebencanaan di sekolah, hingga bahasa sederhana dalam komunikasi risiko adalah elemen yang tak kalah penting.
Bangsa ini tidak sedang hanya membangun sistem, Indonesia sedang membentuk kebiasaan dan karakter kolektif yang tahan terhadap guncangan.
Pengalaman negara-negara, seperti Jepang, menunjukkan bahwa kesiapsiagaan bukan sekadar urusan pemerintah, tapi bagian dari kebudayaan publik. Setiap warga tahu harus ke mana saat gempa, setiap sekolah rutin menggelar simulasi evakuasi, dan media massa tahu bagaimana menyampaikan informasi, tanpa menimbulkan kepanikan.
Budaya tangguh bencana bukan sekadar kebijakan teknokratis, tapi nilai sosial yang tumbuh dalam keseharian masyarakat.
Di titik inilah peran dialog internasional, seperti EDRR Expo, menjadi sangat strategis. Ini bukan hanya forum pertukaran pengetahuan teknologi antara Indonesia dan Tiongkok, tetapi juga ruang untuk menyamakan visi lintas negara bahwa dalam dunia yang penuh ketidakpastian, solidaritas dan kerja sama menjadi benteng pertama kita bersama.
Indonesia juga perlu belajar dari pengalaman Tiongkok dalam mengintegrasikan sistem digital dalam penanggulangan bencana, baik untuk sistem peringatan dini, pendataan korban, hingga sistem logistik bantuan yang terkonsolidasi.
Namun, adaptasi ini tetap harus dilakukan dengan kehati-hatian, sesuai konteks lokal, budaya masyarakat, dan karakter geografis Indonesia yang sangat majemuk.
Masyarakat juga bisa belajar dari pengalaman beberapa daerah di tanah air yang telah memulai inisiatif kolaboratif berbasis lokal dalam membangun kesadaran kebencanaan.
Di Lombok, misalnya, setelah gempa besar tahun 2018, masyarakat desa membentuk kelompok siaga bencana yang melibatkan tokoh adat, guru, dan pemuda. Mereka rutin melakukan pelatihan evakuasi dan menjadikan masjid serta balai desa sebagai titik kumpul evakuasi.
Pendekatan ini menggabungkan nilai-nilai lokal dan pengetahuan kebencanaan modern dan hasilnya, respons masyarakat menjadi lebih cepat dan terarah ketika bencana kembali datang.
Pendidikan kebencanaan sejak usia dini juga menjadi aspek penting yang tidak boleh luput dari strategi nasional. Anak-anak yang diajarkan sejak kecil bagaimana bereaksi saat gempa, banjir, atau kebakaran cenderung lebih siap dan tidak panik.
Kurikulum Merdeka membuka ruang untuk integrasi materi kebencanaan ke dalam pelajaran IPS, IPA, bahkan seni budaya dan olahraga. Hal yang diperlukan adalah panduan praktis, kegiatan tematik, dan dukungan pelatihan guru agar pesan-pesan ini sampai secara menyenangkan dan aplikatif.
Berperan aktif
Konteks regional juga tidak kalah penting, dalam lingkup ASEAN, Indonesia telah berperan aktif dalam kerangka ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER) dan ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance (AHA Centre). Melalui forum ini, Indonesia bukan hanya penerima bantuan, tetapi juga pemberi bantuan dan pengetahuan bagi negara lain di kawasan.
Solidaritas regional ini memperkuat posisi Indonesia sebagai bangsa yang bukan hanya belajar dari bencana, tetapi juga tumbuh sebagai pemimpin kawasan dalam pengurangan risiko bencana.
Jika seluruh elemen ini terus diperkuat kebijakan berbasis riset, kolaborasi multi-pihak, pendidikan sejak dini, serta diplomasi kebencanaan regional, maka Indonesia tidak hanya sedang membangun ketangguhan infrastruktur, tetapi juga ketangguhan karakter.
Karena bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu menyatu dalam kepedulian, bersiap dalam ketenangan, dan bangkit dalam keteraturan. Ini bukan hanya kerja teknis, ini adalah bagian dari investasi peradaban jangka panjang. Dan untuk itu, tidak boleh ada kata terlambat.
Ke depan, Kemenko PMK akan terus mendorong penyelarasan kebijakan lintas sektor agar penanggulangan bencana menjadi bagian dari pembangunan yang berkelanjutan. Ini bukan pilihan, tetapi keharusan. Bangsa ini tidak bisa mencegah gempa bumi, tsunami, atau letusan gunung berapi.
Meskipun demikian, bangsa ini bisa membangun masyarakat yang tahu bagaimana menyelamatkan diri, bagaimana bersiap menghadapi bencana, dan bagaimana bangkit, setelahnya. Semua percaya bahwa bangsa yang tangguh bukan bangsa yang bebas dari bencana, melainkan bangsa yang mampu merespons dengan cerdas, cepat, dan bersatu.
Membangun ekosistem penanggulangan bencana adalah bagian dari membangun peradaban. Dan hari ini, semua sedang memainkan peran di dalamnya, sebagai penyusun nada dalam simfoni besar yang bernama Indonesia tangguh.
Penulis: Andre Notohamijoyo
Asisten Deputi Pengurangan Risiko Bencana Kemenko PMK
Sumber: Antara

0 comments